Bapak ku lahir dan tinggal di pulau kecil yang termasuk ke dalam kepulauan yang ada di sekitar pulau Madura. Jika setelah menyebrangi Surabaya menuju Madura kami masih harus menempuh perjalan sekitar 5 jam (tanpa macet) kemudian menyebrang lagi selama 40 menit untuk sampai di pulau tempat tinggal bapak ini. Sampai saya sekolah SMA (sekitar tahun 2007) dan pulang ke kampung bapak, pulau ini masih belum diterangi listrik yang memadai, listrik hanya menyala sekitar 6 jam perharinya (desa kami mendapat jatah pasokan listrik siang hari), itu pun masih sering terkena pemadaman bergilir karna pembangkit listrik yang tua dan tidak mampu menopang kebutuhan listrik di pulau itu, sehingga banyak warga yang memakai mesin diesel untuk pasokan listrik di malam hari. Namun banyak juga yang tidak mampu membeli mesin dan hanya mengandalkan lampu minyak atau petromax sehingga saat matahari terbenam jalanan sangat gelap terutama karena banyaknya kebun dan jarak rumah warga yang berjauhan.
Bapak tinggal bersama bibinya yang mengasuhnya dari kecil. Karena bapak yatim sejak lahir dan nenek saya pergi ke luar pulau untuk bekerja selama beberapa tahun. Saat itu bapak masih di sekolah dasar, setelah nenek saya kembali ke kampung setiap sore bapak pergi ke rumah nenek saya (bapak saya tetap tinggal dengan bibinya) kemudian pergi mengaji di surau. Karena bapak pergi sebelum maghrib maka jalanan mulai gelap dan sepi, maka bapak selalu menunggu orang lewat untuk pergi bareng karena takut. Di sepanjang jalan banyak sekali pohon bambu yang tumbuh yang berbunyi saat terkena angin.
"Krriiieeettttt... Krriiieeettttt..."
Bunyi batang batang bambu yang bergesekan setiap terkena angin memang lumayan bikin merinding saat harus jalan sendirian.
Ditambah lagi di tikungan jalan yang kanan kirinya diapit rumpun pohon bambu dan kuburan di sebelah kanannya. Karena itu bapak sangat senang karena menjelang maghrib selalu ada laki-laki paruh baya yang berperawakan tinggi yang lewat searah dengan bapak. Karena itu bapak selalu menunggu orang itu agar tidak takut jalan sendirian. Bapak selalu mengikuti orang itu di belakangnya. Tapi orang itu selalu berjalan tanpa menghiraukan bapak, bahkan tiap kali bapak mengejar jarak antara bapak dan orang itu tidak pernah berubah. Dan orang itu selalu berbelok dan menghilang masuk halaman rumah di tikungan pohon bambu itu, bapak berpikir orang itu memang tinggal di rumah yang berada di tikungan itu. Setelah dari tikungan itu bapak pun berlari sampai rumah nenek karena takut sendirian. Kejadian itu terus berulang setiap harinya sampai akhirnya bapak pergi berlayar meninggalkan kampung.
Sampai akhirnya setelah bapak kembali ke kampung dan bertemu teman-teman lamanya bapak baru tahu kalau tikungan itu ada penunggunya berupa sosok laki-laki paruh baya yang tinggi dan selalu menghilang di tikungan tersebut. Saat itu bapak sadar bahwa penunggu yang diceritakan temannya itu sama persis dengan laki-laki yang selalu bapak ikuti. Jadi selama ini orang yang selalu menemani bapak di jalan menuju rumah ibunya ternyata bukanlah manusia.