Langsung ke konten utama

TULAH - BAGIAN 10

 Kurang dari 48 jam setelah Sarah dijemput pulang oleh keluarganya, sebuah bus terlihat memasuki gerbang desa Jatiasih. Lajunya tampak perlahan-lahan saja. Karena selain jalanannya yang sempit, lubang yang banyak terdapat di sana-sini terlihat cukup merepotkan sang ahli kemudi.


Beberapa warga yang kebetulan sedang berada di luar rumah tampak nyalang menatap kendaraan besar itu, sambil sesekali saling berbisik satu dengan yang lain. Bukan karena mereka tidak pernah melihat sebuah bus sebelumnya, tapi lebih kepada tulisan yang terpampang jelas di sisi kanan dan kirinya.

UNIVERSITAS S***********.

Jadi benar rumor yang beredar, bahwa setelah kejadian itu kegiatan para mahasiswa di desa mereka akan dihentikan di tengah jalan? Ditambah lagi, untuk apa sebuah bus milik kampus datang kemari kalau bukan untuk menjemput anak-anak itu dari rumah Yusup?

Beberapa bocah-bocah yang kegirangan, beberapa dari mereka tidak memakai baju, berlari-lari membuntuti Bus itu sambil terus berteriak memanggil-manggil sang sopir agar berhenti dan ikut membawa mereka masuk ke dalam. Tapi sang sopir tidak terlalu peduli, dia hanya sekilas melirik kaca spion kemudian tersenyum sendiri. Bocah-bocah kampung ini seakan mengingatkan pada masa kecilnya sendiri waktu di desa dulu. Hanya bedanya, dulu yang dia kejar adalah delman yang ditarik seekor kuda.

"Di depan itu ya, pak? Rumah yang halamannya luas, ada pohon belimbing di depan..." Ucap seorang perempuan paruh baya berkacamata di belakang sana. Namanya Ibu Nur, seorang dosen senior dan salah satu penumpang bis ini. Tapi Ibu Nur tidak sendirian. Bersamanya, duduk dua orang lain di kursi belakang sopir. Yang satu adalah seorang Wakil Dekan dan satu lagi ketua panitia KKN dari Rektorat.

"Nggih, bu..." Pak Sopir mengangguk. Dia masih hafal betul jalan desa ini dan rumah yang akan mereka tuju. Baru dua minggu yang lalu dia mengantarkan rombongan itu berangkat dari kampus mereka di Kota S. Bedanya, hari itu hanya Bu Nur saja yang ikut mendampingi. Katanya, karena memang Ibu Nur-lah yang didapuk menjadi pembimbing KKN mereka. Dan menurut cerita Ibu Nur juga, mereka akan berada di desa ini selama dua bulan masa pengabdian.

Tapi kenapa sekarang Pak Sopir harus datang kembali sebelum dua bulan? Dan kenapa kali ini, Wakil Dekan dan orang Rektorat sampai harus ikut duduk di belakang? Masalah sebesar apa yang sudah mereka buat, sampai membuat ketiga orang di belakang nyaris tak saling bicara dan terus memasang wajah muram sepanjang perjalanan?

Rumah yang menjadi tujuan Bus ini sudah terlihat oleh pandangan. Pak Sopir melepas pedal gas dan menginjak rem dengan halus. Bus makin melambat, dan berhenti tepat di depan halaman rumah.

"Bapak parkir di lapangan bola di depan situ, ya? Seperti kemarin pas berangkat. Saya dengan yang lain turun dulu menjemput anak-anak." Perintah Ibu Nur sambil bersiap turun dari Bus.

Pak Sopir kembali mengangguk. Tapi diam-diam, matanya melirik ke arah rumah. Anak-anak mahasiswa itu duduk berjejer di teras depan, dengan deretan tas ransel yang tergeletak di sekitar mereka. Yang membuat heran adalah, wajah mereka juga terlihat muram. Bahkan jauh lebih muram daripada wajah Ibu Nur sendiri. Hingga kemudian, Pak Sopir menyadari sesuatu. Dia masih mengingatnya dengan jelas kalau dulu dia berangkat bersama tujuh mahasiswa.

Tapi kali ini, Pak Sopir menghitung ulang, dan yang dia temukan hanya tinggal lima anak yang menunggu jemputan.

Dua orang hilang, satu orang perempuan yang dia dengar sudah dijemput oleh keluarganya tempo hari dan...

...seorang lagi adalah anak lelaki berkacamata yang dua minggu lalu duduk tepat di samping kursi kemudi.

Dea duduk agak terpisah dari yang lain. Bukan karena dia menjaga jarak, tapi sebaliknya karena anak-anak yang lain yang seakan tak mau duduk dekat-dekat dengannya. Sebuah tas pinggang dipangku dan dipeluknya dengan erat, seakan dia menjaga sebuah barang berharga di dalamnya.

Dan sambil meletakkan dagu di atas tas itu, Dea memandang kedatangan Bu Nur dengan penuh ketenangan. Tidak ada yang mengejutkan dengan ini semua, karena ia sudah menduga semua ini akan terjadi. Apalagi tepat setelah Sarah dijemput oleh keluarganya, Pak Kusno langsung datang menghampiri mereka. Memberitahukan sesuatu dengan roman muka tegas dan dingin, bahwa beliau sudah menghubungi pihak kampus dan menyarankan agar anak-anak segera dijemput.

"Karena berbagai pertimbangan, saya sebagai kepala desa memutuskan bahwa kami sudah tidak memerlukan bantuan adik-adik mahasiswa ini lagi di desa ini. Saya mewakili warga desa lain mohon maaf dan terima kasih atas semuanya..."

Bagi yang lain, pengusiran dengan cara seperti itu jelas terasa menyakitkan hati. Siapa juga yang mau program KKN yang sudah disusun dan direncanakan sedemikian rupa, malah gagal total seperti ini. Tapi bagi Dea, semakin cepat mereka meninggalkan Jatiasih maka semakin baik pula baginya. Bukan karena takut, tapi dia sudah punya rencana sendiri. Dan rencana itu akan lebih efektif jika ia sudah kembali ke rumahnya tercinta.

"Bu Nuuuuuurrrr!!" Teriakan histeris yang terdengar lebay di telinga itu meluncur tiba-tiba dari mulut Poppy, yang langsung menghampiri Ibu Nur di depan teras. Dea sedikit melirik. Ibu Nur tampaknya juga tidak terlalu tertarik dengan drama yang disajikan Poppy. Mata beliau malah memandang ke arah lain. Ke arahnya, seakan bertanya sesuatu yang Dea tidak tahu itu tentang apa.

"Bu Nur, kemarin habis Sarah dijemput bapaknya, Gilang pamit ke Semani terus ndak balik-balik lagi!" Poppy belum menyerah untuk mencari perhatian. Kini dia berusaha sok memberikan informasi penting, dengan linangan air mata dan suara yang tersengal. Bodoh, pikir Dea. Semua orang di sini juga sudah tahu kemana si baik itu kabur.

"Gilang sudah sampai di rumah. Tadi pagi kakaknya menelepon, mengabari kalau Gilang pulang dengan naik bus."

Dea tersenyum sambil menggelengkan kepala. Heran bukan karena Gilang sebegitu pengecutnya dengan kabur terlebih dulu. Tapi Dea hanya tak habis pikir, bagaimana dia bisa nekat pergi tanpa mencoba mencari jurnal miliknya itu terlebih dulu. Apa Gilang sudah tidak peduli? Atau memang dia terlalu takut untuk sekadar menanyakan kepada Dea?

Dan yang kemudian membuat senyum Dea makin lebar adalah ketika ia mendengar sebuah desisan penuh dendam dan amarah yang berasal dari orang yang duduk tepat di sampingnya; Rafael.

"Tak goleki tenan, tak antemi nganti mati tenan!!" (Aku beneran bakal cari, aku beneran bakal pukulin sampai mati!!)

Dan sepertinya, Rafael tidak main-main dengan ucapannya. Gilang jelas berada dalam masalah besar. Tapi Dea sudah tak peduli. Dia anggap persahabatannya dengan Gilang telah berakhir hari ini. Pandangannya kemudian teralih jauh ke depan, ke ujung barat sana di mana sinar sang surya menguningkan langit Jatiasih dengan begitu anggunnya.

Dea memejamkan mata. Mencoba meresapi sore terakhirnya di Jatiasih. Rasanya hangat...hangat sekali.

"Sekarang kita pulang. Besok semuanya menghadap Pak Rusdi di gedung rektorat. Iwan, kamu panggil Pak Sopir untuk putar balik kesini." Perintah Ibu Nur, yang langsung disambut Iwan dengan beranjak cepat menuju lapangan di sebelah utara rumah ini tanpa berucap sepatah katapun.

Bus datang semenit kemudian. Dengan penuh keyakinan, Dea menapaki halaman depan rumah ini dan di saat tubuhnya masuk ke dalam Bus dia menyadari bahwa kisahnya dengan Jatiasih telah selesai. Sudah cukup semua kenangan buruk yang didapatkan di tempat ini. Tapi untuk urusan mencari jawaban tentang dusun laknat itu...

...Dea baru akan memulai petualangannya. Dan petualangan baru itu akan dia mulai dengan sebuah nama; Wahyu Dewanggara.

Roda-roda Bus perlahan mulai berputar ke depan. Membawa semua anak-anak KKN meninggalkan desa. Dan sebelum rumah markas kelompok mereka hilang dari pandang, Dea menyempatkan menoleh kesana sekali lagi. Di jendela, tampak bayangan dua orang yang menatap kepergian mereka dari kejauhan.

Mas Adil dan Mbak Melia...

Hehehehe, mereka baru akan mulai. Bisik Dea dalam hati.

"Teh opo kopi, le?" (Teh apa kopi, nak?)

Sarmin sebenarnya lebih memilih opsi yang kedua, karena secangkir kopi hitam yang diseduh dengan air mendidih selalu bisa mengusir rasa lelah yang sekarang sudah mulai terasa di tubuhnya. Tapi Sarmin tahu sopan santun, dia tahu dengan siapa dia sedang berbicara dan dimana posisinya berada. Jadi alih-alih berkata jujur, Sarmin hanya tersenyum segan menanggapi tawaran Pak Gunardi.

"Mboten usah, Pak. Kulo mung sekedap mawon, saestu..." (Tidak usah, Pak. Saya cuma sebentar saja...)

Ucapnya sambil mengambil duduk di teras depan rumah Sang Kepala Dusun. Tapi sepertinya sang tuan rumah tak terlalu memedulikan basa basi itu. Sambil menarik ikatan sarungnya lebih erat, Pak Gunardi ikut mengambil duduk di samping Sarmin kemudian menoleh dalam rumah.

"Astri, tulung digawekne kopi loro! Sing siji ora nganggo gula!!" (Astri, tolong dibuatkan kopi dua! Yang satu tidak pakai gula!!)

Sarmin sedikit terkejut ketika Pak Gunardi memanggil nama itu. Astria? Dia di rumah? Sejak kapan?

"Lagi tekan mau esuk bocahe. Sengojo tak dawuhi mulih." (Baru sampai tadi pagi anaknya. Memang sengaja aku suruh pulang.)

Pak Gunardi menjawab seakan ia tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Sarmin. Membuatnya jadi malu sendiri. Wajahnya memerah, yang berusaha dia tutupi dengan buru-buru mengutarakan apa maksud kedatangannya.

"Dados ngeten, Pak. Dinten niki wau tiyang-tiyang KKN dijemput wangsul sedoyo. Kulo angsal kabar yen wonten bus kampus mlebet menyang Jatiasih." (Jadi begini, Pak. Hari ini tadi, anak-anak KKN dijemput pulang semua. Saya dapat kabar kalau ada bus kampus masuk ke Jatiasih.)

Pak Gunardi diam sejenak. Matanya menerawang jauh ke depan. Seakan sedang mempertimbangkan sesuatu.

"Yakin, kabeh wis mulih?" (Yakin, semua sudah pulang?)

"Nggih, Pak. Kulo yakin." (Iya, Pak. Saya yakin.)

Pak Gunardi terlihat ingin melanjutkan pembicaraan, tapi terlanjur terpotong ketika seorang perempuan muda -mungkin beberapa tahun lebih muda dibandingkan Sarmin, tampak berjalan keluar sambil membawa nampan berisi dua gelas kopi.

Tanpa bisa dibendung lagi, kini Sarmin sepenuhnya tenggelam dalam keanggunan yang terpampang nyata di hadapannya. Astria, putri tunggal Pak Gunardi ini, sekarang telah tumbuh dewasa dan terlihat semakin ayu saja. Rambut pendek seleher itu begitu lurus, hitam berkilauan. Kulitnya halus bak pualam dan aroma tubuh yang sempat mampir ke hidung Sarmin itu benar-benar bisa membunuh kesadaran lelaki manapun.

Nampan berisi dua gelas kopi itu diletakkan di atas meja. Dan...duh Gusti!! Melihat bagaimana cara Astria menarik rambutnya ke belakang telinga sambil melemparkan lengkungan senyum manis kepadanya, membuat jantung Sarmin berdetak ugal-ugalan. Ini adalah pemandangan paling indah yang pernah ia lihat sepanjang hayatnya.

"Sarmin!" Sentakan itu seketika mengembalikan Sarmin ke kesadaran. Dia langsung salah tingkah sendiri. Matanya langsung terarah ke Pak Gunardi, walau sembunyi-sembunyi dia masih melirik ke arah Astri yang kemudian hilang masuk kembali ke dalam rumah.

"Rungokno, aku wegah kecolongan meneh koyo wingi. Saiki tulung dikabarne menyang kabeh wong dusun kabeh..." (Dengar, aku tidak mau kecolongan lagi seperti kemarin. Sekarang tolong dikabarkan kepada semua warga dusun...)

Sarmin berusaha keras mengais kembali kewarasannya yang sempat berantakan gara-gara Astria. Dia mencoba fokus, mendengarkan dengan seksama apa yang menjadi perintah dari Pak Gunardi.

Besok, akan diadakan kerja bakti untuk membuat pembatas jalan dari bambu yang di pasang melintang menutupi jalur masuk ke Srigati. Baik di sebelah utara maupun selatan. Setelah itu akan dilaksanakan ronda. Pak Gunardi butuh sepuluh orang bersiap setiap malam; dua orang di tapal masuk utara, dua di tapal masuk selatan, tiga berada di pos dan berkeliling tiap satu jam sekali dan tiga sisanya berjaga di sekitar kandang kambing. Semua yang mendapat jatah ronda diwajibkan membawa golok atau celurit milik pribadi. Akan lebih baik jika diasah terlebih dulu sore harinya.

Sarmin hanya mengangguk, walau dia masih belum mengerti kenapa keamanan harus diperketat padahal sumber masalah sudah pergi jauh dari tempat mereka. Tapi kalimat Pak Gunardi berikutnya, mungkin sedikit banyak menjawab semua pertanyaan yang ada di benak Sarmin. Baik itu tentang keamanan dusun, atau tentang kepulangan Astria yang bisa dibilang mendadak ini;

"Le, menurutmu piye yen Gelar Pendem dimajukne wae dadi sasi ngarep? Aku kok rodo samar yen kudu ngenteni telung sasi meneh." (Nak, menurutmu bagaimana kalau Gelar Pendem dimajukan saja jadi bulan depan? Sejujurnya aku agak khawatir kalau harus menunggu tiga bulan lagi.)

Postingan populer dari blog ini

Misteri Suara Tanpa Wujud

Malam itu pekat tak berbintang, hujan sejak sore sudah mulai sedikit reda, menyisakan gerimis halus ... membawa kesejukan. Namun, membuat sekujur tubuh merinding juga. Bagaimana tidak, aku hanya sendirian di rumah kala itu. Ayah dan ibu sedang ke luar kota menjenguk kakak yang habis lahiran. Kebetulan aku tak ikut, karena sering mabuk darat juga karena perjalanan ke rumah saudariku itu terbilang cukup memakan waktu lama. Bisa pegal pinggangku kelamaan duduk dalam mobil. Malam itu, lepas makan semangkuk indomie kaldu dicampur cabe lima biji plus perasan jeruk nipis sebelah, cukup membuat badan sedikit hangat. Makanan penggugah selera itu selalu menjadi makanan pengusir dingin kala malam tiba dengan segudang hawa dingin yang mencekam. Musim hujan selalu membawa berkah bagi Mpok Iin, penjual indomie langgananku di sudut jalan depan. Stok jualannya selalu laris olehku, pecinta mie kaldu. Setelah habis melahap semangkuk makanan andalan, segera bergegas ke ruang belakang rumah. Dapur maksudn...

Privacy Policy

  Narastudio built the app as a Free app. This SERVICE is provided by Narastudio at no cost and is intended for use as is. This page is used to inform visitors regarding our policies with the collection, use, and disclosure of Personal Information if anyone decided to use our Service. If you choose to use our Service, then you agree to the collection and use of information in relation to this policy. The Personal Information that we collect is used for providing and improving the Service. We will not use or share your information with anyone except as described in this Privacy Policy. Information Collection and Use For a better experience, while using our Service, I may require you to provide us with certain personally identifiable information. The information that I request will be retained on your device and is not collected by me in any way. The app does use third party services that may collect information used to identify you. Link to privacy policy of third party service prov...

Lexi Terkencing-kencing

Beberapa hari setelah mendengar melisa yang sudah tiada, kami pun mencoba mengikhlaskan dan cuman mengingat melisa sebagai bagian kenangan yang indah waktu sekolah. Tampaknya bekas trauma dan sedih tentang melisa ini membuat kami benar2 enggan buat membahas dan mengingat2 kejadian maupun kenangan bersama melisa. Bahkan beberapa cew famous yg pernah membully si melisa merasa bersalah dan menemui ane buat menyampaikan permohonan maaf ke melisa (dipikirnya ane dukun apa bisa ngirim salam ke arwah). Ane bahkan sempet candain mereka uda ane sampaikan nanti melisa langsung datang sendiri ngobrol langsung dengan mereka, yang diikuti rasa horor dan kepanikan dari wajah2 cew famous ini wakakakakka. "eh besok sabtu, kita bikin tenda sendiri aja", ajak lexi "emang lu ada tenda?", tanya ane "ada keknya, tapi lupa aku taruh dimana nanti aku cek dlu", jelas lexi. "gua ada, tenang aja nj*ng, tapi tenda ku ne gede banget", ujar mister "ah bagus kalau gede, ...

Teman Kelas Ane Meninggal Misterius (PART 4)

 Teman Kelas Ane Meninggal Misterius (PART 4) Sekitar jam 8an malam ane akhrinya sampai di rumah. Emak ane ternyata lagi nonton tivi barenga adik2 ane. Sembari melepas baju di dalam kamar ane, telpon rumah pun berdering. Kebetulan karena memang di renovasi rumah ane, dari ruang tamu jadi kamar ane, ne telpon diinapkan di kamar ane. Mungkin disengaja apa kagak, tapi memang ne telpon rata2 berbunyi nyariin ane. Setelah berganti pakaian seragam rumah ane, celana pendek dan singletan, ane pun mengangkat ne telpon. Ternyata si melissa yang nelpon. Dia menanyakan dari tadi sore nelpon ane masih belum balik darimana. Ane pun menjelaskan habis ngajak shopping si billy yang pengen berubah dari bujang band malaysia jadi bujang band punk rock skaters. Kami pun terbahak-bahak dan ane menceritakan ekspresi si Billy yg menghabiskan 2 juta rupiah cuman untuk 3 kaos, 1 celana panjang dan 1 celana pendek wakakkakaka. Padahal dia niatan juga mau beli tas dan sepatu buat ke sekolah seperti si lexi da...

Me #2 -DOPPELGANGER-

 Waktu saya masih sekolah sd dan toko bapak masih rame" nya, saya lebih sering belajar sendiri karena orang tua saya sibuk sama pembeli. Malam itu seperti biasa saya lagi ngerjain pr dari sekolah sendirian. Di toko ini ada rak untuk barang yang di taruh di tengah sekaligus jadi pembatas buat sedikit ruangan di belakang yang biasa dipake buat shalat sekaligus tempat tidur orang tuaku. Nah saya belajar di situ sambil menghadap lorong yang ada di belakang rumah. Ngerjain pr sambil tengkurap karena ga pake meja, cuma beralas bantal biar dada ga sakit. Lagi fokus" nya saya ngerjain pr (nunduk) sekilas saya lihat di depan saya bapak lewat di lorong dari arah warung nasi ke kamar saya di timur (posisi toko ada di tengah) pakai gamis putih yang biasa bapak pake kalo pergi shalat jum'at. Saya noleh sebentar "oh mungkin bapak mau shalat di sebelah" pikir saya. Gak lama sekitar 5 menit saya lihat lagi bayangan mama di lorong pergi ke kamar timur pake baju tidur warna ungu,...

Pengalaman Bertemu Hantu/Jin (Chapter Jogjakarta)

Selamat datang di Jogja, Kami (makhluk ghoib) bukan hanya gossip Sahabat-sahabat ane yg pernah ane sebutin di chapter Palembang, semua berdiskusi mengenai pilihan universitas sebagai pijakan lanjutan pendidikan yg lebih tinggi. rata-rata sahabat ane memilih melanjutkan ke Universitas yg ada di Sumsel pula. Sedang ane, sepakat dengan si babay untuk melanjutkan ke Jogjakarta di Universitas yg terkenal dengan jaket warna tanahnya itu. Untuk memuluskan persiapan kami supaya dapat lulus, si babay menyarankan untuk ambil lembaga kursus intensif untuk persiapan SPMB. Neu**n yg berada di nyutran menjadi pilihan kami berdua dan setelah melaporkan biaya ke emak ane. Alhamdulilah emak ane setuju dan ane pun terdaftar di kursus ini. Rupa2nya emak si babay daftarin dia bukan di kursus sini, malah di pesaingnya. ini pegimane cerite, yg nyaranin malah ke tempat laen wakakkakakkaa. dengan penuh rasa tidak enak dan kekecewaan dengan emaknya, si babay berulang kali meminta maaf ane gansis.  Ya sudah...

PEMBERANGKATAN TERAKHIR

“Aku yakin betul naik kereta malam itu, tapi orang-orang melihat aku jalan kaki di atas rel.” KERETA MALAM -PEMBERANGKATAN TERAKHIR- A THREAD Kisah ini terjadi pada 2006 silam, kala itu santer rumor beredar mengenai 'pemberangkatan terakhir ialah kereta gaib'. Sila tinggalkan jejak, RT, like atau tandai dulu judul utas di atas agar thread tidak hilang atau ketinggalan update. Maleman kita mulai.  Ini sepenggal kisah yang sampai sekarang membuatku parno naik kereta di jam malam. Peristiwa itu amat melekat diingatan bagaimana aku menempuh perjalanan tanpa sadar JKT-YK dalam waktu hampir 5 hari tapi rasanya waktu berhenti di satu malam pertama--  --Aku yakin betul kalau aku menaiki kereta malam itu, tapi orang-orang melihat aku berjalan kaki sepanjang rel yang entah muncul dari mana.  Senin malam, 2006. Aku hendak pulang ke Yogya karena mendapat kabar bapakku sakit. Kala itu aku masih kuliah di salah satu Universitas Negeri di pinggiran Ibu Kota.  Karena dapat kabar men...

”Aku bertarung melawan setan yang tertanam dalam susuk sendiri.”

 “Aku seorang penembang panggung dan aku memakai susuk. Keputusan mencabut susuk kukira hal yang mudah. Tapi sekarang, aku bertarung melawan setan yang tertanam dalam susuk sendiri.” Tengah malam, di satu rumah berbilik kayu, seorang wanita bernama Taya tersentak dari tidur lalu mengerang kesakitan. Urat-urat di wajahnya membiru menonjol keluar menegang. Napasnya tercekat, membuat suaranya berhenti di tenggorokan—  “Kak!! Kakak kenapa?!” Sani, adik Taya satu-satunya panik ketika mendapati kakaknya meringis kesakitan. Ada yang tak biasa dari wajah Taya—di sekujur pipi, dagu dan kening menonjol garis-garis keras serupa jarum-jarum halus.  Sani menyadari sesuatu, buru-buru dia membekap mulut sang kakak agar tak bersuara. “Ssssssttttt” isyarat Sani pelan sambil menangis tanpa suara  Taya mengatur napas, kedua tangannya menggenggam erat sprei dan matanya mendelik ke atas menahan sakit. “KRENGG!!” Suara lonceng terdengar mendekat.  “KREENGG!!” “KREEENGGG!” Lonceng ter...