Tersesat di Jalur Pantai Selatan
Kami hanya bisa terdiam di warung itu dan mendengarkan suara keramaian tanpa wujud di sekitar kami..
Selamat malam, ijin share sebuah cerita yang baru aja diceritain sama teman saya yang baru aja liburan dari Yogyakarta. Jujur, pas denger cerita ini saya langsung merinding.
Sebelumnya saya infokan cerita ini tidak bertujuan untuk menjatuhkan pihak manapun dan murni pengalaman dari teman saya sendiri.
Selamat membaca
Sebut saja namanya Luki, Fajar, dan Dani. Beberapa hari lalu mereka memanfaatkan tanggal merah dan hari kejepit untuk ambil cuti dan pergi berlibur di ke kota Jogja.
Sesuai harapan mereka, kota Jogja tak pernah gagal membuat mereka melupakan penat selama bekerja dan sejenak melupakan semua beban di pikiran mereka.
Angkringan kopi jos, malioboro, dan beberapa café estetik menjadi tujuan wajib mereka selama berada di sana.
Alunan musik dari pengamen yang merdu hingga mulai menjengkelkan karena tak henti-hentinya berdatangan setiap lima menit sekali menjadi oleh-oleh cerita yang cukup unik soal jogja. Namun apa yang menjadi ini cerita ini, bukan terjadi di sana.
Melainkan dari tujuan mereka berikutnya di salah satu pantai di wilayah Gunungkidul.
Ketika itu mereka berangkat saat selesai makan siang di salah satu rumah makan di jogja.
Memang ada beberapa tempat yang mereka sambangi setelahnya, tapi menurut perhitungan mereka seharusnya mereka sampai di pantai yang mereka tuju saat sore hari sehingga masih cukup waktu untuk mengejar sunset.
Setelahnya mereka berniat menginap di rumah eyangnya Fajar yang berharak tidak sampai satu jam dari pantai itu.
Waktu itu Luki yang kebagian nyetir untuk kesana. Dengan bermodalkan google maps dan arahan dari situs-situs rekomendasi wisata, mereka menuju ke lokasi.
Tapi sampai di wilayah Gunung kidul dan mulai masuk ke jalur pantai sinyal mulai ada gangguan. Nggak tahu gimana ceritanya, mereka pun masuk ke jalan-jalan yang menurut mereka nggak wajar.
Yang membuat mereka khawatir, kontur jalanan cukup curam naik dan turun dengan jalur aspal yang kecil. Terlebih tanpa sadar hari sudah hampir maghrib, dan jarang terlihat rumah-rumah warga.
“Gimana, lanjut nggak nih?” Tanya Luki yang mulai ragu.
“Itu lautnya udah keliatan, paling nggak liat laut dulu deh baru balik,” Kata Fajar.
Anak-anak pun setuju dan melanjutkan perjalanan.
Langitpun mulai gelap, hanya cahaya dari lampu mobil yang menerangi jalanan yang mereka lalui.
Di sekitar mereka hanya hutan-hutan bukit kecil dan terkadang terdapat kebun-kebun milik warga. Yang mereka ingat, waktu itu bulan purnama benar benar terlihat bulat dan terang. Cahayanya sedikit membantu penglihatan mereka.
“Luk.. itu apaan Luk?”
Fajar yang duduk di samping Luki tiba-tiba sadar dengan pemandangan aneh yang tak jauh ada di depanya. “ Anak kecil?”
Luki dan Dani memperhatikan apa yang ditunjukkan oleh Fajar. Dan benar, beberapa ratus meter di depan mereka ada anak kecil yang berdiri di sudut tikungan.
“Ngapain anak kecil sendirian malem-malem gini? Nggak pake baju lagi..” Bales Luki.
Cukup aneh, tapi mereka masih menganggap anak itu adalah warga lokal dan berniat melewatinya begitu saja.
Tapi sewaktu mobil mereka mendekat, tiba-tiba anak kecil itu menari-nari tanpa sebab. Anak itu ketawa-tawa menertawakan sesuatu yang tidak jelas. Saat itu seketika mereka bertiga pun merinding.
Luki tidak ingin mencari tahu apa pun tentang anak itu dan ingin melewatinya begitu saja. Tapi saat mobil itu melintas wajah Dani tiba-tiba pucat.
“Luk.. Mukanya luk! Muka anak kecilnya rusak sebelah! Item berdarah-darah!”
Dani melihat dengan jelas wajah anak kecil itu dari jendela penumpang saat mobil mereka melintasinya. Mendengar itu sudah jelas Luki dan Fajar ikut merinding. Tapi mereka tidak menjawab sepatah katapun.
“Luk! Serius gua Luk!” ucap Dani.
Dani mencoba menepuk Luki dan Fajar, tapi mereka malah diam saja dan fokus pada jalan di depannya.
“Udah diem dulu, Dan! Pliss!” ucap Fajar.
“Tapi…”
“Udah diem, itu bocah ngejar kita di belakang!” Teriak Luki memotong ucapan Dani.
Dani pun menoleh, dan benar sosok anak kecil itu berlari dengan cepat mengikuti mobil yang mereka naiki. Luki berusaha untuk fokus namun mempercepat laju mobilnya. Berbagai macam doa mereka baca di dalam batin sampai akhirnya sosok itu tidak terlihat lagi.
Hanya selang beberapa menit setelah itu mereka pun tiba di salah satu pantai.
Ada plang nama pantai itu di sana yang hanya ditulis di papan kayu. Nama pantai itu beda dengan yang mereka tuju.
Sekilas pentai itu terlihat cukup kecil dengan tebing-tebing besar yang berbatasan dengan laut secara langsung. Awalnya mereka cemas, namu saat mereka melihat ada juga beberapa kios-kios warung yang sudah tutup.
Mereka menganggap pantai itu juga pantai komersil yang seharusnya aman untuk didatangi.
“Sebentar aja ya jangan lama-lama, udah nggak enak nih feeling gua.” Kata Luki yang selesai memarkirkan mobilnya.
“Iya, karna udah terlanjur aja ini. Lagian apaan sih tadi, kalo sendirian udah pingsan kali gua,” balas Dani.
“Dah, jangan dibahas.. jalan dulu aja,” Tambah Fajar.
Ada beberapa orang yang masih berada di pantai walau tanpa penerangan.
Tapi yang mereka bingung, di parkiran hanya ada mobil mereka. Lantas dimana pengunjung-pengunjung itu parkir?
Ada salah satu warung yang masih buka, Mereka cukup senang saat itu. Setidaknya mereka bisa menikmati segelas kopi dulu sebelum kembali.
Terlebih mereka juga ingin menanyakan apa mungkin ada jalur lain selain yang mereka lewati tadi?
“Bu, kopi hitamnya tiga,” ucap luki pada seorang ibu yang terduduk diam di warung itu seorang diri.
Mereka bertiga pun mengambil posisi duduk yang nyaman sembari menyalakan rokok.
Ibu itu tidak menyahut, namun ia segera membuatkan kopi untuk mereka bertiga.
Dani yang masih trauma dengan kejadian anak kecil tadi pun memperhatikan ibu itu. Ia curiga karena hanya warung inilah satu-satunya yang masih buka di pantai ini.
Namun saat tidak menemukan hal aneh pada ibu itu Dani pun tenang.
“Biasa buka sampai malam bu? Warung lain sudah pada tutup?” tanya Dani.
“Iyo, le.. takut masih ada orang yang dateng,” jawabnya.
Mendapat jawaban itu Dani pun tenang dan yakin bahwa ibu itu adalah manusia.
Tapi saat ibu itu mengatar kopi, barulah mereka merasa ada yang sedikit aneh.
Ibu itu membuatkan lima gelas kopi. Tiganya diantarkan ke mereka, dan dua gelas lainya diletakkan di meja yang berada di belakang Fajar dan Luki.
Tidak ada seorangpun di sana, tapi mereka mengambil kesimpulan bahwa Ibu itu membuatkan kopi itu untuk orang lain yang sudah memesan lebih dulu.
Ibu itu pun kembali duduk di sisi dalam warungnya dan melamun lagi.
Perbincangan-perbincangan singkat terjadi diantara mereka bertiga sembari menikmati kopi dan beberapa batang rokok. Setidaknya obrolan mereka bisa sedikit menenangkan pikiran mereka.
Srekkk… Srekkk… Srekkk..
Obrolan mereka terpotong dengan suara langkah kaki yang diseret dengan berat.
Srekkk… Srek…
Saat itu juga mereka bertiga kembali merasa merinding serasa hawa dingin menusuk tubuh mereka.
“Ben bocah-bocah iki ning kene sek..” (Biar anak-anak ini di sini dulu..)
Tiba-tiba ibu penjual warung itu bicara seorang diri. Mereka bertiga pun menoleh, tapi tak satupun dari mereka yang berani bertanya. Sekali lagi wajah Dani pucat, ia memberi isyarat pada Fajar dan Luki untuk menoleh ke belakang.
Dua gelas kopi yang diletakkan di meja di belakang mereka berdua, airnya sudah berkurang setengah. Mereka yakin sebelumnya gelas itu penuh, dan tidak ada orang lain selain mereka berempat di warung itu.
Fajar memberi isyarat pada Luki untuk segera pergi meninggalkan tempat itu dan pulang.
“Sudah , Bu. Jadi berapa?” Tanya Fajar.
“Nanti dulu, Le. sudah terlambat kalau mau pergi. Kalian di sini dulu, jangan kemana-mana..” Balas ibu itu.
“Ma—maksud ibu?”
Jelas Fajar tahu kata-kata ibu itu memiliki maksud tersembunyi.
“Sudah, nurut saja..”
Luki dan Dani juga mendengar perbincangan itu. Ia pun menyambut Fajar dengan wajah bingung.
Dan hanya beberapa saat setelah Fajar duduk, tiba-tiba mereka mendengar suara alunan gamelan dan keramaian orang-orang dari kejauhan. Suara itu sayup-sayup terdengar seperti tertiup angin.
“Denger nggak?” Tanya Luki memastikan.
“De—denger..” balas Dani.
Mereka mencoba menebak, nebak apa hal ini yang dimaksud oleh ibu penjaga warung itu. Dani pun menoleh ke arah ibu penjaga warung itu, dan wajah dani semakin pucat saat melihat wajah ibu penjaga warung itu tersenyum dengan mata melotot memandangi mereka bertiga.
Menyadari reaksi Dani, Fajar dan Luki pun ikut menoleh. Saat mendapati pemandangan yang sama mereka bertiga pun hanya bisa merunduk tanpa berani menoleh ke arah ibu itu lagi.
Pikiran mereka berkecamuk, suara-suara tidak wajar mulai terdengar di sekitar mereka.
Ada sura langkah kaki, suara benda di seret, suara tawa cekikikan terdengar di sekitar mereka. Sayangnya di luar warung hanya kegelapan malam yang sedikit diterangi cahaya bulan. Saat itu mereka hanya berkali-kali menyalakan rokok sambil sambil menahan rasa takut.
Entah sudah berapa batang rokok mereka habiskan dalam diam, mereka tidak berani berbicara banyak setiap menyadari ibu penjaga warung itu terus menatap mereka dengan senyuman dan tatapan mengerikan itu.
Sampai tiba-tiba suara alunan musik dan suara keramaian mulai berangsur-angsur menghilang.
“Uwis Le, kalau mau pergi bisa sekarang…”
Tiba-tiba ibu penjaga warung itu kembali berbicara. Mereka bertiga pun saling bertatapan dan bergegas meniggalkan kursinya.
“Be—berapa, Bu?” Tanya Fajar.
“Kopi tiga, lima belas ribu..”
“I—ini,” Fajar menyerahkan selembar uang dua puluh ribuan dengan tangan gemetar. Ibu itu menerimanya dan menyerahkan kembalian lima ribu rupiah.
Dani menyadari bahwa raut wajah ibu itu sudah tidak semenyeramkan tadi.
Ia pun memberanikan diri bertanya.
“Bu, apa ada jalur lain untuk ke jalan besar selain lewat jalur tadi?” Tanya Dani.
Ibu itu menunjuk ke arah berlawanan dari arah kami datang.
“Lewat situ, ada gapura besar. Dari situ paling sepuluh menit sudah ketemu desa.
Jangan lewat jalur tadi, warga sini saja sudah jarang ada yang mau lewat sana malam-malam,” Jawabnya.
Benar-benar berbeda. Ekspresi ibu penjaga warung itu saat ini seperti ibu-ibu biasa, tidak semengerikan sebelumnya.
“Ba—baik, Bu. Terima kasih..” Balas Dani.
“Cepetan Yo, Le! Semoga kalian selamet,” ucapnya.
Mereka bertiga merasa aneh dengan kalimat terakhir dari ibu itu. Namun tidak ada waktu untuk berpikir. Mereka memutuskan untuk bergegas menaiki mobil dan meninggalkan pantai itu sesuai arahan ibu penjaga warung.
Sepi.. benar-benar sepi. Mereka kebingungan, dimana pengunjung-pengunjung pantai yang sebelumnya ada di sana. Parkiran pun kosong dan tidak ada siapapun di sana. Sampai mereka melihat sesorang duduk di salah satu warung yang meja dan kursinya terlihat dari jauh.
Tapi mereka salah. Saat semakin dekat, terlihat jelas yang duduk ternyata sosok perempuan berambut panjang yang menutupi seluruh wajahnya dengan rambut. Ia hanya menunduk tanpa bergerak sedikitpun. Sontak rasa takut semakin menghantui mereka.
Tak jauh di depan mereka lagi Fajar berusaha membuang muka dari sosok yang memperhatikan mereka dari salah satu warung di sudut pantai.
Pocong…
Fajar melihat pocong itu menggoyangkan tubuhnya ke kiri dan kekanan dengan kepala yang berlahan menoleh mengikuti arah mereka.
Beruntung Dani menyadari keberadaan sosok itu saat mobil semakin mejauh. Tapi wajah Fajar yang terlihat paling pucat.
Saat itu ia mengumpulkan keberanianya sambil membaca-baca ayat kursi di mulutnya. Ia menyetir dengan hati-hati tanpa bercerita apapun pada Dan dan Fajar.
Barulah saat mereka sampai di desa yang diceritakan oleh penjaga warung itu, barulah Luki berni bercerita.
“Kapok! Kapok gua!! Ucap luki..”
“Gila, bisa nyasar sampe segininya.. lu liat kan yang di warung-warung tadi?” Ucap Fajar.
“Pocong kan? sama mbak-mbak? Apaan itu coba?!” Balas Dani.
“Nggak, yang aku lihat nggak cuman itu…” Ucap Luki dengan wajah yang masih pucat.
Dani dan Fajar yang penasaran memperhatikan apa yang akan diceritakan oleh Luki.
“Tadi, dari spion aku ngeliat di belakang kita ada setan kayak kuntilanak melayang layang megangin mobil kita. nggak cuman itu, di belakangnya kayak ada kakek-kakek, orang pake baju jawa, perempuan semuanya mukanya rusak ngeliatin kita. Kapok Gua!” Teriak Luki.
Mendengar cerita Luki dan Fajar kembali gemetar. Mereka pun menyetel musik keras-keras dan memutuskan untuk tidak membicarakan kejadian tadi sampai mereka tiba di rumah Eyangnya Fajar. Saat itu mereka baru sadar, waktu sudah menujukkan pukul satu pagi.
Entah bagaimana mereka bisa menghabiskan waktu selama itu.
Beruntung tidak ada kendala di perjalanan pulang mereka. Eyang dan kerabat Fajar sudah cemas saat mereka tidak sampai di waktu yang mereka janjikan. Terlebih mereka sampai dengan wajah yang lemas dan pucat.
Beberapa gelas teh hangan disajikan untuk mereka. Setelah menghabiskan beberapa teguk dan sedikit berbincang, mereka pun cukup tenang dan memutuskan untuk menceritakan tentang apa yang terjadi di pantai.
Mereka menduga bahwa Eyang Fajar dan Buleknya menceritakan bahwa pantai itu memang keramat dan memang sering terjadi kejadian aneh. Tapi ternyata tidak, menurut mereka pantai itu memang pantai komersil dan hampir tidak pernah terdengar hal-hal aneh.
Bahkan kalau weekend di siang hari, pantai itu selalu ramai pengunjung.
“Mungkin kalian aja lagi apes..” ucap Eyang Fajar Santai.
“Apesnya begini banget, Eyang..” sahut fajar.
Cerita mereka di pantai itu pun esoknya menjadi candaan diantara kerabat fajar di sana.
Mereka sadar bahwa candaan itu bermaksud agar mereka tidak terlalu khawatir. Setelah puas di sana dan membeli oleh-oleh di jogja, mereka pun kembali ke rumah. Beruntung semua kembali dengan selamat.
Hanya Dani yang merasa tidak enak badan yang mungkin disebabkan oleh angin pantai atau rasa lelah. Mereka berharap semoga kejadian malam itu hanya menjadi pengalaman saja dan tertinggal di sana.
-Selesai-