Langsung ke konten utama

GUNUNG PUTRI

 




Namaku Norman (bukan nama sebenarnya. Penulis). Aku akan menceritakan pengalaman

mendaki gunungku di tahun 2006. Waktu itu aku masih kuliah di semester 7. Aku menyukai

kegiatan mendaki gunung. 

Meskipun belum bisa juga dikategorikan sebagai “Anak Pecinta

Alam” yang kegiatannya rutin mendaki berbagai gunung. Mendaki gunung kulakukan semata-mata karena aku menyukai dan mengagumi keindahan

gunung dengan hutan rimbanya, hawanya yang sejuk, dan udaranya yang menyegarkan. 

Saat itu adalah pengalaman pertamaku ke Gunung Gede yang berada di Jawa Barat, tepatnya di antara Kabupaten Bogor, Kabupaten Cianjur, dan Kabupaten Sukabumi. 

Dahulu ketika masih di bangku sekolah dasar aku sudah sering mendengar cerita-cerita tentang Gunung Gede, tapi seputar kisah-kisah kejadian mistisnya. 

Aku ingat pernah membaca berita di koran sekelompok anak muda yang sedang berwisata ke daerah Kebun Raya Cibodas yang

merupakan bagian dari kawasan Gunung Gede, saat mereka berfoto pada sebuah air terjun

mereka terkejut melihat hasil fotonya. 

Di antara tirai air terjun yang menjadi latar foto nampak kepala manusia yang sangat besar.

Apabila ditegasi itu merupakan kepala sosok raksasa. Entah bagaimana penjelasannya akan

fenomena tersebut mengingat kala itu belum ada aplikasi foto editor. 

Bahkan belumlah era

telepon genggam seperti sekarang.

Namun demikian jika sudah berada di gunung aku sedikit melupakan hal-hal yang mistis dan

menyeramkannya. 

Pesona dan keindahan pegunungan mampu mengalihkan semua hal itu. Paling tidak bagiku. Tapi tetap saja doa dan kewaspadaan selalu mengiringi langkahnya saat mendaki gunung. 

Baiklah, kembali ke kisah pendakianku. Aku mendaki Gunung Gede bersama teman-teman kuliahku. Salah satu teman kuliahku mengajak teman-teman alumni SMA-nya. Jadilah total

pesertanya 9 orang. 

Titik awal pendakian kami dari Cibodas, dan rencananya turun dari Gunung Putri. Kami

merencanakan pula berapa lama kami mendaki. Dikarenakan kami semua kuliah dan saat itu

sedang masa liburan maka ditetapkan pendakian itu akan berlangsung selama 3 hari 2 malam. 

Itu merupakan pendakian yang santai, kami memang hendak menikmati semaksimal mungkin. Sebenarnya sih malam pertama kami bermalam di camp 2. Itu dikarenakan memang kami tiba

di Cibodas saat hari sudah malam pukul 8. Paginya setelah sarapan barulah kami melanjutkan perjalanan. 

Saat menyusuri jalur pendakian suasananya begitu ceria. Terkadang keluar juga bercandaan

dengan kata-kata makian kasar bahkan menyerempet porno. Lalu tawa yang lepas

membahana. Ya maklumlah, namanya juga anak muda, seringnya sembrono dan tidak berpikir

panjang. 

Akhirnya pada sore hari kami tiba di camp yang bernama Kandang Badak. Camp Kandang

Badak merupakan camp terakhir rute Cibodas sebelum mencapai puncak Gunung Gede. Camp

itu juga merupakan persimpangan apabila hendak menuju ke puncak Gunung Pangrango. 

Di Kandang Badak kami mendirikan tenda. Rencananya kami akan melakukan pendakian ke

puncak pada waktu dini hari pukul 3 untuk dapat menikmati matahari terbit dari puncak Gunung Gede. Istilah yang dikenal di kalangan pendaki adalah Summit Attack. 

Malam hari itu diisi dengan keceriaan bahkan kehebohan, atau malahan kegaduhan.

Bayangkan, di camp Kandang Badak bukan kami saja rombongan pendaki, banyak juga

rombongan lainnya. 

Meski tidak seramai jika pendakian di bulan Agustus yang biasanya digelar

seremonial upacara 17 Agustus di lapangan Surya Kencana. 

Di antara rombonganku saja sudah ramai dan seru dengan candaan, saat itu kepada “tetangga”

tenda-tenda dari rombongan pendaki lainnya juga kami saling bergurau, melemparkan candaan

dan celaan-celaan. 

Tentu saja tanpa maksud menghina, namun agar menghangatkan suasana

malam yang sangat dingin. 

Gelak tawa para pendaki memecah kesunyian rimba di sekitar camp Kandang Badak. Bahkan

ada kelompok pendaki yang bernyanyi seperti layaknya paduan suara meskipun tanpa diiringi

instrumen musik 

yang memang merupakan salah barang yang tidak diizinkan dibawa ke dalam

lingkungan Gunung Gede yang juga merupakan cagar Taman Nasional.

Malam semakin larut, kantuk pun mulai menghinggapi mataku. Tubuh juga rasanya cukup letih

setelah berjalan sedari pagi dan siangnya. 

Lagi pula kami memang harus segera beristirahat

karena rencana dini hari nanti akan Summit Attack ke puncak. 

Salah seorang teman mendakiku berteriak dari dalam tenda ditujukan ke seluruh pendaki yang malam itu bermalam di camp Kandang Badak; “SELAMAT MALAM PARA BADAK !!” Derai tawa kembali terdengar pecah. Rencana tinggal rencana, kami semua bangun kesiangan. 

Rencana pukul 3 dini hari berangkat

menuju puncak namun anggota rombonganku yang paling awal bangun saja pukul 6 pagi. Kami hanya tertawa-tawa saja akan kenyataan itu.

Saat bangun tidur aku merasa bagian belakang pahaku pegal-pegal. 

Sebenarnya wajar-wajar

saja jika mendaki bagian kakilah yang paling terasa pegal. Karena berjalan cukup jauh, menanjak pula, ditambah lagi dengan beban bawaan dalam tas carrier. 

Untuk mengurangi rasa pegal itu dan agar siap kembali berjalan melanjutkan perjalanan maka

aku terpikir hendak mengolesi paha bagian belakangku dengan krim pereda nyeri. Untuk itu aku

perlu membuka celanaku. 

Dikarenakan di dalam tenda ada teman-temanku dan aku merasa risih jika harus membuka

celana di hadapan mereka, maka terpikir pula olehku melakukannya di luar tepatnya di

belakang tenda. 

Di belakang tenda aku menurunkan celanaku hingga hanya celana dalam saja yang kukenakan. Pantatku (maaf) menghadap ke arah lebatnya pepohonon rimba. 

Baru beberapa oles krim ke

bagian belakang paha tiba-tiba terdengar ada benda yang jatuh, seperti ada yang melempar

sesuatu ke arahku namun lebih tepatnya ke atas dedaunan pada pohon di posisiku berdiri. 

Kemudian, “BUGG!!”, terdengar seperti ada yang jatuh ke permukaan tanah. Saat itu aku membayangkan sesuatu yang jatuh itu adalah batu yang cukup besar jika diterka dari bunyinya

saat menghantam permukaan tanah. Lalu dedaunan dari atas pohon berguguran. 

Beberapa

ranting kecil juga turut luruh. Aku terkejut, lalu menoleh ke belakang, kemudian ke sekeliling.

Aku tidak melihat seseorang, atau hewan liar misalnya. Bahkan, bunyi berdebam yang ku kira

batupun tidak ku lihat sama sekali. 

Karena logikanya jika itu batu pastilah masih akan terlihat

menggelinding pada permukaan tanah yang tidak terlalu rata. Aku benar-benar tidak bisa memastikan asal suara dan apakah itu. 

Beberapa teman-temanku keluar dari tenda bertanya-tanya, “Apaan tuh Man?”


“Ga tau,”

jawabku. Bahkan pendaki dari rombongan lain yang tendanya didirikan tidak jauh dari tenda

kami mendengar juga, lalu bertanya hal yang sama. Aku jawab juga tidak tahu kepada mereka. 

Aku merasa ada yang tidak beres, kemudian aku berkata lirih, “maap, maap”, entah kepada

siapa. Segera saja aku menyudahi mengolesi pahaku dengan krim dan bergabung kembali ke

teman-temanku lainnya yang sedang bersiap-siap sarapan. 

##


Pukul 10 menjelang siang kami melanjutkan perjalanan menuju puncak Gunung Gede.

Keceriaan bersama teman-teman saat berjalan membuatku lupa atas kejadian tadi pagi. 

Semakin dekat ke puncak tibalah kami pada satu titik pendakian yang paling menantang

adrenalin para pendaki. Sebuah tanjakan yang dinamai “Tanjakan Setan”. 

Tanjakan itu memang tidak terlalu tinggi, sekitar 10 sampai 15 meter, namun tingkat

kemiringannya nyaris 90°. 

Untuk dapat melewatinya para pendaki harus berpegang pada tali kuat yang tersedia, dan posisi pijakan kaki harus benar-benar dipastikan bertumpu pada permukaan yang kokoh. 

Apabila pegangan tali terlepas atau pijakan longsor dapat dipastikan pendaki akan menderita

cedera yang cukup serius jika sampai terjatuh. Maka dari itu konsentrasi dan kehati-hatian tetap

diperlukan. 

Rombongan kami berhasil melewati Tanjakan Setan tanpa halangan berarti. Sesampai di

atasnya kami tidak langsung melanjutkan perjalanan dikarenakan melihat lanskap

pemandangan yang indah. 

Pemandangan sekitar Tanjakan Setan adalah bukit-bukit dengan hamparan lautan hijau rimba belantara diselimuti kabut putih pada beberapa bagian. Kita mendapatkan pemandangan “penglihatan burung” dikarenakan posisinya berada pada ketinggian. 

Tak dinyana salah seorang temanku tiba-tiba berteriak, “ANYAAA!!”, kemudian terdengar gema; “NYA..NYA..NYA..”


Entah siapa Anya, mungkin pacarnya. Kami jadi tertawa dibuatnya. Aku

pun berpikir seru juga mendengar gema yang kita teriakkan. 

Lalu hal yang sama diikuti oleh

lainnya termasuk diriku. Memanggil nama-nama pujaannya masing-masing.

Hingga akhirnya nama-nama yang tidak jelas siapa, “MUNAROH!!, ROH..ROH..ROH”, “QIWW!!..QIW..QIW..QIW”, “WOY!..WOY..WOY..WOY”, “ANYBODY HOME?!!..HOM..HOM..HOM..”. 

Semakin ngaco. Lalu temanku kepikiran usil, dia berteriak, “BANG! Bang…Bang..Bang... ABANG BAKSO! So..So..So.. SINI BANG! Bang..Bang..Bang..” Derai tawapun pecah.

Bercandaan berlanjut, seseorang menyeletuk, “Lo tau ga ini kan tanjakan… nah elo pada

setannya!” 

Hahahaha, tawa kembali pecah. Tidak lama kemudian tiba juga kami di puncak Gunung Gede. Lantas kami berfoto-foto di

puncak teratas Gunung Gede, berlanjut berfoto dengan latar kaldera Gunung Gede. 

Lubang

kawah berdiameter sangat lebar dan dalam, terihat kepulan asap seperti awan yang besarnya tidak seberapa menyempul dari bawahnya.. Sungguh pemandangan yang luar biasa indah dan

membuat takjub.. 

Setelah bersantap siang lanjut beristirahat sebentar, kamipun melanjutkan perjalanan ke alun-alun Surya Kencana.


*Aku (sebelah kanan) bersama temanku di Alun-alun Surya Kencana.


Tiba di lapangan atau alun-alun Surya Kencana hari sudah menjelang

sore. Saat itu suasananya sudah temaram, meskipun masih sekitar pukul 5 sore. Hal itu

disebabkan juga oleh kabut.

Alun-alun Surya Kencana merupakan sebuah lahan yang sangat lapang bagaikan sabana. 

Letaknya tidak jauh dari puncak Gunung Gede. Di sana terdapat hamparan bunga Edelweis, si

bunga abadi yang tidak akan layu dan hanya dapat tumbuh di dataran tinggi pegunungan. 

Di Surya Kencana juga merupakan titik temu pendaki yang hendak menuju puncak Gunung

Gede atau Pangrango yang berangkat dari basecamp Gunung Putri ataupun Salabintana,

Sukabumi. Sebagaimana telah direncanakan, kami hendak turun melalui jalur Gunung Putri. 

Hari sudah

semakin sore, sebentar lagi masuk waktu maghrib. Saat berjalan menyusuri jalan setapak yang

menuju gerbang Gunung Putri suasananya hening dan sepi. 

Aku merasa aneh juga, semalam di camp Kandang Badak suasananya tidak ubahnya seperti

pasar malam saja, ramai sekali. Mengapa saat hendak turun lewat Gunung Putri hanya ada

rombongan kami. 

Tapi ku pikir kebanyakan pendaki pasti sudah terlebih dahulu turun karena berhasil Summit

Attack menyaksikan matahari terbit dari puncak Gunung Gede pada subuh hari lalu turun di

siang harinya. Sedangkan rombonganku bangun kesiangan. 

Atau boleh jadi juga rombongan pendaki lainnya setelah berhasil menuju puncak Gunung Gede kemudian turun kembali mengambil rute yang sama dengan saat berangkat yakni lewat

basecamp Cibodas, istilahnya disebut Tektok. 

Benar-benar hanya kami bersembilan berjalan di lapang yang luas diantara sabana bunga Edelweis. Batas alun-alun Surya Kencana adalah hutan rimba. Suasananya terasa syahdu sekaligus mistis.

Kali ini aku dan rombongan tidak banyak bersenda gurau, suasana sedikit muram. 

Mungkin

faktor kami sudah cukup kelelahan. Atau bisa jadi juga sebagaimana yang aku rasa, teman-

temanku juga merasa diantara rimbunan lebatnya pepohonan yang menghitam ada yang

sedang memperhatikan kami. Entahlah. 

Langkah kami mengantar pada gerbang masuk menuju hutan rimba Gunung Putri. Waktu

menunjukan pukul 6 sore, sudah masuk waktu maghrib. 

Karena pertimbangan kami sudah terlalu banyak istirahat maka diputuskan melanjutkan perjalanan. Rencananya untuk istirahat

nanti saja sekalian jika sudah tiba di desa di kaki Gunung Putri. 

Saat memasuki gerbang Gunung Putri yang saat itu hanya terbuat dari kayu, aku merasa

seperti masuk ke dimensi lain. Suasananya berubah lebih gelap dikarenakan vegetasi pohon-

pohon besar mulai rapat. 

Kami pun berjalan dengan menyalakan senter genggam, beberapa

temanku memakai senter kepala.

Oh iya, aku lupa menyampaikan di awal. Salah seorang peserta pendakian kami adalah

perempuan, bahkan dia satu-satunya peserta perempuan. Namanya Tami (bukan nama

sebenarnya). 

Meskipun perempuan dia cukup tangguh. Selama pendakian dia tidak

ingin dimanjakan, meskipun kami semua yang laki-laki melindunginya semaksimal mungkin. 

Namun semenjak di Surya Kencana kondisi tubuh Tami menurun, dia sangat kelelahan. Maka

dari itulah saat berjalan menapaki hutan rimba gelap pekat Gunung Putri kami tidak dapat

berjalan bergegas. Meskipun sebenarnya kami dapat melakukannya. 

Perjalanan turun gunung

selalu lebih cepat daripada saat mendaki, dikarenakan tidak melawan gravitasi. Bahkan

beberapa pendaki saat turun gunung ada yang mampu sambil setengah berlari. 

Kami jadi lebih sering berhenti sejenak untuk memastikan Tami baik-baik saja. Saat

pemberhentian kedua, atau kira-kira setengah jam berjalan sejak dari gerbang masuk Gunung

Putri, aku menyapu pandanganku ke sekeliling. 

Saat menengok ke arah kananku, di antara

celah-celah pepohonan aku melihat ada cahaya-cahaya. Tadinya aku pikir itu adalah cahaya lampu-lampu rumah dari desa yang ada di kaki Gunung

Putri nun jauh di bawah sana. 

Tapi kemudian aku berpikir bahwa kami belumlah terlalu jauh dari

Surya Kencana yang masih terbilang puncak Gunung Gede, apakah memang desa sudah bisa

terlihat. 

Apa yang ku lihat dan pertanyaan dalam benakku kusimpan sendiri saja. Karena suasana saat

itu sudah terasa tidak enak, berbeda 180° dengan suasana di awal pendakian yang ceria.

Perasaanku tidak enak, aku hanya hanya ingin segera sampai di basecamp Gunung Putri. 

Tidak ada lagi canda pada perjalanan turun kali ini, kami semua seperti terhanyut dalam pikiran

masing-masing. Paling-paling komunikasi antar kami adalah saling mengingatkan agar berhati-

hati melangkah jika ada yang melihat seperti akar misalnya, agar jangan sampai tersandung. 

Ketika sekitar hampir satu jam berjalan kepalaku terasa berat, bahkan sampai aku merasa kesadaranku seperti semakin menurun. Tubuhku terasa panas padahal kami masih di atas

gunung pada malam hari pula yang semestinya hawanya sejuk. Peluhku membasahi pakaian. 

Aku paksakan saja berjalan mengabaikan rasa berat di kepala, tapi entah mengapa aku ingin berteriak. Aku mencoba menjernihkan pikiranku meski sambil berjalan terhuyung. 

Aku berpikir

seperti ada sesuatu yang ingin merebut sukmaku, dan kemudian aku merasa ingin tertawa terbahak-bahak. Benakku berpikir, apakah aku ini akan kerasukan? 

“Tidak! tidak! itu tidak boleh terjadi. Lagi pula ini masih di tengah hutan belantara, mana sudah malam juga. Jika terjadi apa-apa dengan rombonganku sepertinya bantuan dari orang lain akan

sulit,” kataku membatin. 

Aku meminta teman-temanku berhenti sebentar untuk beristirahat, kepalaku terasa semakin

berat. Lantas aku panggil temanku Chafid, “Fid, tolong gue. Tolong baca-bacain gue doa di punuk gue. Doa apa aja yang lo bisa.” Chafid langsung saja melakukan yang aku pinta. 

Dia tidak bertanya mengapa atau kenapa atau ada apa.

Teman-teman yang lain juga demikian, tidak bertanya. Tak salah lagi, kami semua sedang

berpikir hal yang sama, ada yang tidak beres. Kami sedang diganggu oleh makhluk halus

penghuni Gunung Putri. 

Aku mendengar Chafid sedang membacakan doa-doa, di belakang punukku. Aku sendiri tak

tahu doa apa yang dibacakannya. Kemudian dia meniup punukku. Setelah dibacakan doa rasa

berat di kepalaku berkurang dan kesadaranku seolah semakin penuh. Aku bersyukur. 

Lalu aku diberi minum air putih. “Yuk cepet yuk jalan lagi,” kata temanku yang lain. Kamipun melanjutkan perjalanan lagi.

Hingga di satu lokasi, aku melihat vegetasi pepohonan terdapat pohon yang batangnya

berdiameter besar-besar. 

Saat aku menyorot cahaya senterku ke bagian atas pohon yang berdiri di sisi kiri dan kanan

jalan kami bagaikan pilar gapura besar aku melihat 2 sosok perempuan mengenakan gaun

putih sedang terbang saling bertukar posisi dahan pohon. Itu adalah Kuntilanak. 

Aku terkejut setengah mati. Tak percaya dengan apa yang kulihat. Lagi-lagi aku berusaha

menguasai diriku. Tidak memberitahu teman-teman yang lain atas apa yang ku lihat. Namun

demikian aku berseru, “jangan nyenter ke atas ya! jangan nyenter ke atas!” 

Chafid yang sejak membacakan doa-doa kepadaku berjalannya berdekatan denganku

mengulagi seruanku kepada teman lainnya, seolah menegaskan. Lagi-lagi teman-temanku tidak

ada yang bertanya mengapa atau bergurau. Semua diam sambil tetap berjalan dan

menuruti saranku. 

Akhirnya setelah perjalanan yang menegangkan kami mulai melihat perkebunan. Itu adalah

tanda kami sudah dekat dengan desa. Dan benar saja, rumah yang dijadikan pos jaga oleh

petugas basecamp Gunung Putri sudah di depan mata. Bukan main aku merasa lega dan bersyukur. 

Di pos basecamp Gunung Putri kami menyelesaikan semua keperluan administrasi kepada petugas. Setelah segala urusan beres kamipun menuju salah satu warung milik penduduk untuk beristirahat, mengisi perut dan bebersih badan di kamar mandi mushola. 

Saat sedang duduk-duduk di warung badan dan pikiran sudah lebih segar, barulah semuanya berani berbicara menceritakan apa yang dirasakan saat perjalanan turun gunung di Gunung

Putri. Semua dari kami memang merasakan merasakan hal yang ganjil di sana. 

Apakah setelah pendakian ke Gunung Gede saat itu dengan semua yang aku alami lantas membuatku kapok ke Gunung Gede? jawabannya adalah tidak. 

Beberapa tahun kemudian aku kembali mendaki ke sana, kembali melewati rute Gunung Putri, kembali mengagumi keindahan

alun-alun Surya Kencana dengan padang bunga Edelweisnya. 

Namun aku belajar agar lebih menjaga sikap dimanapun aku berada, terlebih di gunung.

Karena pada hakikatnya sebagai pengunjung kita adalah tamu, dan tamu sudah sepantasnya

bersikap sopan kepada tuan rumah. 

Pelajaran lainnya adalah, aku tidak mau lagi berjalan mendaki gunung dan memasuki hutan di

kala waktu maghrib. Konon di waktu itulah semua makhluk gaib penghuni gunung keluar dari persembunyiannya.


- S E L E S A I - 


Postingan populer dari blog ini

Misteri Suara Tanpa Wujud

Malam itu pekat tak berbintang, hujan sejak sore sudah mulai sedikit reda, menyisakan gerimis halus ... membawa kesejukan. Namun, membuat sekujur tubuh merinding juga. Bagaimana tidak, aku hanya sendirian di rumah kala itu. Ayah dan ibu sedang ke luar kota menjenguk kakak yang habis lahiran. Kebetulan aku tak ikut, karena sering mabuk darat juga karena perjalanan ke rumah saudariku itu terbilang cukup memakan waktu lama. Bisa pegal pinggangku kelamaan duduk dalam mobil. Malam itu, lepas makan semangkuk indomie kaldu dicampur cabe lima biji plus perasan jeruk nipis sebelah, cukup membuat badan sedikit hangat. Makanan penggugah selera itu selalu menjadi makanan pengusir dingin kala malam tiba dengan segudang hawa dingin yang mencekam. Musim hujan selalu membawa berkah bagi Mpok Iin, penjual indomie langgananku di sudut jalan depan. Stok jualannya selalu laris olehku, pecinta mie kaldu. Setelah habis melahap semangkuk makanan andalan, segera bergegas ke ruang belakang rumah. Dapur maksudn...

Privacy Policy

  Narastudio built the app as a Free app. This SERVICE is provided by Narastudio at no cost and is intended for use as is. This page is used to inform visitors regarding our policies with the collection, use, and disclosure of Personal Information if anyone decided to use our Service. If you choose to use our Service, then you agree to the collection and use of information in relation to this policy. The Personal Information that we collect is used for providing and improving the Service. We will not use or share your information with anyone except as described in this Privacy Policy. Information Collection and Use For a better experience, while using our Service, I may require you to provide us with certain personally identifiable information. The information that I request will be retained on your device and is not collected by me in any way. The app does use third party services that may collect information used to identify you. Link to privacy policy of third party service prov...

Lexi Terkencing-kencing

Beberapa hari setelah mendengar melisa yang sudah tiada, kami pun mencoba mengikhlaskan dan cuman mengingat melisa sebagai bagian kenangan yang indah waktu sekolah. Tampaknya bekas trauma dan sedih tentang melisa ini membuat kami benar2 enggan buat membahas dan mengingat2 kejadian maupun kenangan bersama melisa. Bahkan beberapa cew famous yg pernah membully si melisa merasa bersalah dan menemui ane buat menyampaikan permohonan maaf ke melisa (dipikirnya ane dukun apa bisa ngirim salam ke arwah). Ane bahkan sempet candain mereka uda ane sampaikan nanti melisa langsung datang sendiri ngobrol langsung dengan mereka, yang diikuti rasa horor dan kepanikan dari wajah2 cew famous ini wakakakakka. "eh besok sabtu, kita bikin tenda sendiri aja", ajak lexi "emang lu ada tenda?", tanya ane "ada keknya, tapi lupa aku taruh dimana nanti aku cek dlu", jelas lexi. "gua ada, tenang aja nj*ng, tapi tenda ku ne gede banget", ujar mister "ah bagus kalau gede, ...

Teman Kelas Ane Meninggal Misterius (PART 4)

 Teman Kelas Ane Meninggal Misterius (PART 4) Sekitar jam 8an malam ane akhrinya sampai di rumah. Emak ane ternyata lagi nonton tivi barenga adik2 ane. Sembari melepas baju di dalam kamar ane, telpon rumah pun berdering. Kebetulan karena memang di renovasi rumah ane, dari ruang tamu jadi kamar ane, ne telpon diinapkan di kamar ane. Mungkin disengaja apa kagak, tapi memang ne telpon rata2 berbunyi nyariin ane. Setelah berganti pakaian seragam rumah ane, celana pendek dan singletan, ane pun mengangkat ne telpon. Ternyata si melissa yang nelpon. Dia menanyakan dari tadi sore nelpon ane masih belum balik darimana. Ane pun menjelaskan habis ngajak shopping si billy yang pengen berubah dari bujang band malaysia jadi bujang band punk rock skaters. Kami pun terbahak-bahak dan ane menceritakan ekspresi si Billy yg menghabiskan 2 juta rupiah cuman untuk 3 kaos, 1 celana panjang dan 1 celana pendek wakakkakaka. Padahal dia niatan juga mau beli tas dan sepatu buat ke sekolah seperti si lexi da...

Me #2 -DOPPELGANGER-

 Waktu saya masih sekolah sd dan toko bapak masih rame" nya, saya lebih sering belajar sendiri karena orang tua saya sibuk sama pembeli. Malam itu seperti biasa saya lagi ngerjain pr dari sekolah sendirian. Di toko ini ada rak untuk barang yang di taruh di tengah sekaligus jadi pembatas buat sedikit ruangan di belakang yang biasa dipake buat shalat sekaligus tempat tidur orang tuaku. Nah saya belajar di situ sambil menghadap lorong yang ada di belakang rumah. Ngerjain pr sambil tengkurap karena ga pake meja, cuma beralas bantal biar dada ga sakit. Lagi fokus" nya saya ngerjain pr (nunduk) sekilas saya lihat di depan saya bapak lewat di lorong dari arah warung nasi ke kamar saya di timur (posisi toko ada di tengah) pakai gamis putih yang biasa bapak pake kalo pergi shalat jum'at. Saya noleh sebentar "oh mungkin bapak mau shalat di sebelah" pikir saya. Gak lama sekitar 5 menit saya lihat lagi bayangan mama di lorong pergi ke kamar timur pake baju tidur warna ungu,...

Pengalaman Bertemu Hantu/Jin (Chapter Jogjakarta)

Selamat datang di Jogja, Kami (makhluk ghoib) bukan hanya gossip Sahabat-sahabat ane yg pernah ane sebutin di chapter Palembang, semua berdiskusi mengenai pilihan universitas sebagai pijakan lanjutan pendidikan yg lebih tinggi. rata-rata sahabat ane memilih melanjutkan ke Universitas yg ada di Sumsel pula. Sedang ane, sepakat dengan si babay untuk melanjutkan ke Jogjakarta di Universitas yg terkenal dengan jaket warna tanahnya itu. Untuk memuluskan persiapan kami supaya dapat lulus, si babay menyarankan untuk ambil lembaga kursus intensif untuk persiapan SPMB. Neu**n yg berada di nyutran menjadi pilihan kami berdua dan setelah melaporkan biaya ke emak ane. Alhamdulilah emak ane setuju dan ane pun terdaftar di kursus ini. Rupa2nya emak si babay daftarin dia bukan di kursus sini, malah di pesaingnya. ini pegimane cerite, yg nyaranin malah ke tempat laen wakakkakakkaa. dengan penuh rasa tidak enak dan kekecewaan dengan emaknya, si babay berulang kali meminta maaf ane gansis.  Ya sudah...

PEMBERANGKATAN TERAKHIR

“Aku yakin betul naik kereta malam itu, tapi orang-orang melihat aku jalan kaki di atas rel.” KERETA MALAM -PEMBERANGKATAN TERAKHIR- A THREAD Kisah ini terjadi pada 2006 silam, kala itu santer rumor beredar mengenai 'pemberangkatan terakhir ialah kereta gaib'. Sila tinggalkan jejak, RT, like atau tandai dulu judul utas di atas agar thread tidak hilang atau ketinggalan update. Maleman kita mulai.  Ini sepenggal kisah yang sampai sekarang membuatku parno naik kereta di jam malam. Peristiwa itu amat melekat diingatan bagaimana aku menempuh perjalanan tanpa sadar JKT-YK dalam waktu hampir 5 hari tapi rasanya waktu berhenti di satu malam pertama--  --Aku yakin betul kalau aku menaiki kereta malam itu, tapi orang-orang melihat aku berjalan kaki sepanjang rel yang entah muncul dari mana.  Senin malam, 2006. Aku hendak pulang ke Yogya karena mendapat kabar bapakku sakit. Kala itu aku masih kuliah di salah satu Universitas Negeri di pinggiran Ibu Kota.  Karena dapat kabar men...

”Aku bertarung melawan setan yang tertanam dalam susuk sendiri.”

 “Aku seorang penembang panggung dan aku memakai susuk. Keputusan mencabut susuk kukira hal yang mudah. Tapi sekarang, aku bertarung melawan setan yang tertanam dalam susuk sendiri.” Tengah malam, di satu rumah berbilik kayu, seorang wanita bernama Taya tersentak dari tidur lalu mengerang kesakitan. Urat-urat di wajahnya membiru menonjol keluar menegang. Napasnya tercekat, membuat suaranya berhenti di tenggorokan—  “Kak!! Kakak kenapa?!” Sani, adik Taya satu-satunya panik ketika mendapati kakaknya meringis kesakitan. Ada yang tak biasa dari wajah Taya—di sekujur pipi, dagu dan kening menonjol garis-garis keras serupa jarum-jarum halus.  Sani menyadari sesuatu, buru-buru dia membekap mulut sang kakak agar tak bersuara. “Ssssssttttt” isyarat Sani pelan sambil menangis tanpa suara  Taya mengatur napas, kedua tangannya menggenggam erat sprei dan matanya mendelik ke atas menahan sakit. “KRENGG!!” Suara lonceng terdengar mendekat.  “KREENGG!!” “KREEENGGG!” Lonceng ter...