Tau info mengenai Pasar Setan di gunung salak? …
Satu dari ke-lima pendaki ini seketika kejang-kejang. Saat mereka berupaya turun, mereka malah terjebak masuk ke pasar yg sebelumnya tak pernah mereka lihat.
-- Mari Kita Mulai--
2012,
Waktu itu, aku baru lulus SMA. Lagi masa tenang setelah UN. Salah satu juniorku minta diantar untuk 'nanjak' ke gunung salak.
Rombongan mereka tak banyak, hanya 4 orang : 2 perempuan, 2 laki-laki.
Awalnya aku nolak. Tapi karena satu dari mereka adalah sepupuku. Om-ku meminta langsung padaku untuk mendampingi anaknya yg perempuan.
Jadi, ya sejujurnya dengan setengah hati aku meng-iya-kan.
Kita berangkat dari Subang itu pagi hari. Berharap bisa sampai di bogor menjelang siang. Kami menghindari pendakian malam.
Cuma waktu itu, entah mengapa banyak drama di perjalanan, dari mulai kesasar, salah rute sampai satu dari kami (yg perempuan) tiba-tiba mens.
Di situ firasatku sebetulnya sudah tidak enak, cuma karena kita sudah terlanjur jalan. Rasanya berat untuk puter balik. Apalagi, effort di jalan udh lumayan.
Seingatku, kita tiba di kaki salak itu sekitar ashar. Aku menyarankan untuk naik besok pagi. Tapi tak ada satu pun yg pro dengan usulanku.
Alasannya, langit lagi cerah. Kita bisa camp di sekitar pos.
Awalnya gak ada halangan yg berarti, sampai cuaca yg tadinya sangat mendukung. Tiba-tiba turun kabut pekat yang menghalangi jarak pandang.
Aku meminta mereka untuk tetap berdempetan. Bahkan jika memungkinkan terus berpegangan tangan.
Kita menyusuri jalan setapak.
Medannya yg licin membuat kita sesekali harus bertumpu pada batu atau dahan pohon yg memaksa kita melepas gandengan tangan teman yg di bawah.
Aku tadinya di paling belakang, cuma tali sepatu Lani putus, yg tanpa sengaja jadi tersalip olehku.
Ketika aku mendengar suara langkah kaki di belakangku. Aku pun lanjut berjalan.
Kami melewati tanah licin lagi yg membuat kami harus berpegangan satu sama lain.
Satu tanganku berpegangan dengan Yudi yg ada di depanku. Namun saat aku menjulurkan satu tanganku ke bawah.
Aku merasakan telapak tangan besar dan berbulu yg meraih tanganku-- Jelas itu bukan tangan Lani.
Aku kaget.
Aku nengok ke belakang kehalang kabut yg makin pekat, yang aku lihat cuma bayang hitam besar di balik kabut.
Aku refleks melepas tanganku, dan tiba-tiba kami dengar suara Lani menjerit dari bawah.
Kita semua panik .
Mereka sama-sama mengira Lani aman di belakangku.
Kami langsung pelan-pelan turun lagi mencari Lani.
Sampai kita menemukan Lani meringkuk pucat sambil gemetar ketakutan.
Namun Lani seperti orang linglung yang sulit diajak bicara.
Aku khawatir Lani hipo yang buat dia halusinasi. Badannya dingin banget, dia cuma gemetar. Bahkan pertama kali kita mendekat, Lani seperti ketakutan.
Yuna melihat darah mens Lani tembus. Dia refleks mengambil jaket lalu membalut celana Lani.
Sumpah, waktu itu pikiranku kemana-mana. Takut juga, soalnya Lani ini sepupuku.
Aku gendong Lani, aku langsung minta semua turun. Pikiranku harus buru-buru sampai bawah sebelum gelap.
Kami yakin betul bahwa kami turun mengikuti rute yg sama saat kami nanjak.
Tapi entah mengapa rasanya kok lebih jauh. Semula aku berpikir mungkin karena situasinya lagi panik jadi rasanya beda.
Aku memperingati yang lainnya untuk tetap melangkah hati-hati dan saling menjaga, jangan sampai ada yang terpisah lagi.
Aku merasakan tubuh Lani makin dingin seperti membeku. Lani lemas, dan ngomongnya meracau--
Lani seperti membisik namun tak jelas apa yang ia bicarakan. Makin jauh kami jalan, aku merasa kita seperti berputar di tempat yang sama.
Yang lainnya pun juga mengeluh begitu.
Sampai kita tiba di persimpangan. Aku melihat di ujung simpang sebelah kanan itu ada serupa tanah lapang yang samar-samar kelihatan seperti banyak keramaian--dari jauh gak begitu jelas, karena masih ketutup kabut.
Aku gak menemukan itu pas kita nanjak--
tapi kala itu, aku merasa lega menemukan keramaian untuk bertanya dan rehat sejenak sembari memeriksa kondisi Lani.
Aku yang berjalan di depan langsung menuju ke arah lapang tersebut
Semakin dekat, kian jelas di lapang tersebut seperti ada pasar rakyat dengan banyaknya pelapak. Yang aneh, seluruh pedagang di sana bertelanjang kaki dan hanya berbusana kain seperti jarik.
Saat kami tiba, kami mendadak menjadi pusat perhatian. Namun yang mengejutkan ialah, ketika 'orang-orang' itu melihat satu arah serempak ke arah kami.
Tatapannya tajam seperti mengintimidasi.
Kami sempat berhenti yang merasa kehadiran kami tak disukai. Baru akan mendekat lagi untuk minta permisi, tiba-tiba dari arah belakang kami datang kakek-kakek bungkuk memegang kayu berlari ke arah kami berteriak
"INDIT SIA!!" (pergi kalian)
sambil mengacungkan kayunya
Kami seketika panik dan entah mengapa malah lari, karena kakek itu seperti orang gila yang hendak menyakiti kami.
Kita dikejar-kejar, dan lari ke arah manapun kaki melangkah menemukan jalan.
Di sini kami terpisah dengan Dika. Menurut Yuna, Dika lari ke arah berlawanan dengan kita. Padahal dari tadi aku cuma melihat satu jalan di depanku.
Kita balik dong, nyari Dika. Takut banget terjadi apa-apa sama dia.
Rasanya belum lama kita jalan balik arah yang sama.
Kita malah ketemu sama pemakaman yang berantakan dan kalian tahu?
Semua pemakaman itu masih terbuka, belum ketutup tanah!
Jadi kami melihat pocong-pocong yang terbaring di liang masing-masing.
Gila, waktu itu kita gemetar bukan main. Kebayang pocong-pocong itu tiba-tiba pada bangun.
Aku hampir kepleset masuk ke salah satu liang lahat, karena emang jalan tanah itu licin banget.
Kita mutusin buat lanjut cari jalan turun. Dengan harapan Dika sudah lebih dulu turun ke bawah.
Sampai ada beberapa warung berjajar mirip warung-warung di gunung pada umumnya gitu. jejeran warung itu terrbuat dari kayu dan anyaman bambu.
Kita haus banget, udah lemas kehabisan tenaga. Ngeliat warung itu seneng banget dong. Tapi, baru mau jajan , tiba-tiba kakek-kakek bawa kayu runcing tadi datang lagi ngejar kita sambil teriak
"INDITT!!! NYI SALAMAH!"
Udah pasti diteriakin gitu dan di kejar-kejar pake kayu kita langsung lari sekencang mungkin.
itu udah gak liat-liat lagi ke belakang, karena rasanya kakek-kakek itu terus ngejar kita.
Tapi habis itu, aku ingat sama jalan yang lagi kita turuni--ini jalur persis pas kita naik.
Aku yakin betul, rasanya waktu itu seneng banget.
Kita buru-buru turun.
Pas di bawah, kita ketemu sama beberapa Warga yang lagi patroli katanya nyari kita soalnya kita dilaporkan udah hilang 4 hari.
Aku kaget dong, rasanya kita baru naik beberapa jam. Tapi waktu itu kami lemes semua, pas ditemui warga entah kenapa badan rasanya mau ambruk gitu
Kita dibawa ke salah satu rumah warga. Aku sempat pingsan, pas bangun aku lihat Lani lagi di ruqyah sama kuncen. Dia katanya ketempelan.
Aku bahkan baru ingat, kalau ada tegar yg ikut kita naik pas awal.
Cuma tegar tiba-tiba gak ada pas kabut, dan kita semua seketika juga lupa
benar-benar gak sadar kalau kita naik sama tegar pas kabut turun pekat itu, mendadak kayak lupa gitu aja.
Gaktaunya, kata tegar, dia terpisah dari kita saat mau sampai ke pos satu. Tegar sempat nunggu sampai malam, sampai akhirnya dia lapor ke warga untuk minta bantuan
terakhir yang bikin Syok ialah, ketika aku tahu bahwa Dhika yang terpisah dari kami juga belum ketemu dan masih dinyatakan hilang.
Konon, kata kuncen itu, kita masuk ke pasar setan. Salah satu dari kita melakukan transaksi.
Ada sosok yang dikenal bernama 'Nyi Salamah' itu yang meminta tukar dengan nyawa salah satu dari kita.
Kata kuncen, besar kemungkinan teman kita, Dhika tertahan oleh Nyi Salamah itu.
salah satu caranya, ialah dengan melakukan transaksi lagi. Menukar Dhika dengan persembahan yang dinegosiasikan melalui ritual.
Biasanya ditukar kambing, atau kerbau.
atas persetujuan keluarga Dhika. Para warga melakukan ritual itu. Di salah satu sungai yang mengalir membelah Gunung Salak.
Kepala kerbau ditanam dan diritualkan oleh kuncen.
2 hari berselang, Dhika ditemukan di tepi jurang dangkal dalam keadaan sudah meninggal 😭