Rumahku ini terdiri dari 3 petak yang berjejer menyamping. Paling timur untuk tempat bapak mengajar ngaji sekaligus kamar tidurku dan dua adikku, ditengah adalah toko kelontong dan kamar tidur orang tuaku, dan paling barat digunakan untuk warung nasi mama sekaligus dapur. Ketiganya dihubungkan lorong di bagian belakan dengan dua kamar mandi, satu di pojok barat dan satu lagi di tengah. Jadi kamar mandi di tengah ini punya dua pintu yang jika dibuka keduanya bisa jadi jalan pintas dari toko ke warung nasi jika malas lewat depan saat ramai pembeli. Hampir di ujung barat lorong ada pintu belakang yang tepat berada di depan rumah tetangga yang ada di belakang rumah. Dan model pintunya atas bawah gitu gan.
Setelah makin sepinya pembeli baik di toko bapak atau warung nasi mama makin banyak hal-hal yang tidak masuk akal yang sering terjadi. Seperti kejadian-kejadian ini.
Saat itu bapak hendak makan, tak seperti biasanya yang menunggu makanan disiapkan mama, bapak mengambil makanannya sendiri. Setelah mengambil nasi bapak menuju etalase kaca tempat memajang lauk pauk dan sayuran. Saat menyendok ikan pindang kesukaannya bapak kaget dan langsung memanggil mama.
"Maahh.. Maahhh... sini..!!!"
Mama yang sedang masak di dapur buru-buru menghampiri bapak.
"Kenapa pak?"
"Ini kamu gimana? Masa yang kaya gini dijual. Emang ini masakan kapan?" Tegur bapak pelan sambil menyodorkan piring yang berisi ikan pindang yang ditumis.
"Baru masak kok tadi pak. Emang kenapa?" Mama bingung dengan pertanyaan bapak sambil melihat piring yang bapak sodorkan
"Ya Allah..!!!" mama setengah menjerit kaget, melihat ikan di piring dipenuhi ulat yang yang menjalar ke sana sini.
"Kok bisa gini pak?" mama benar-benar bingung.
"Coba kamu masak lagi, klo ulat beneran biarpun mati dimasak pasti masih ada." Ujar bapak
Mama pun menuju ke dapur sambil membawa ikan itu, dinyalakannya kompor dan menaruh wajan di atasnya. Dengan kesal mama menuang ikan ke dalam wajan yang panas beserta ulat-ulatnya sambil mengomel sendiri.
" Ya Allaaahh... Salah saya apa sama kamu?! Ngapain kamu nemplok sembarangan di masakan saya hah?!"
Mungkin orang akan berpikir mama gila karena berbicara dengan masakan yang sedang diaduknya. Selang beberapa saat mama mematikan kompor dan melihat ke dalam wajan.
Benar-benar aneh, ulat yang tadi begitu banyaknya tidak tersisa sama sekali bahkan seekorpun tidak ada. Seolah-olah hilang begitu saja.
Lain hari saat mama memasak sayur nangka dan begitu matang dia bawa ke depan. Asap pun masih mengebul dari sayur itu. Kemudian datang pembeli. Membeli nasi dan beberapa lauk.
"Wah sayur nangkanya enak kayanya bu. Tambah sayurnya juga bu."
Mama senang karena pembeli ini belanja lumayan banyak. Namun saat menyendok sayur dan hendak memasukkan ke dalam plastik mama kaget karena kuah santannya sudah berlendir, padahal uap panas nya masih belum hilang. Untung saja ibu pembeli tidak melihat. Mama langsung berpura-pura..
"Duh kayanya sayurnya belum mateng bener deh bu saya masaknya."
"Yah.. Masa si bu? Padahal saya kepengen banget." ujar pembeli kecewa
"iya bu maaf, kalo nunggu saya matengin lama, soalnya kompor lagi dipake buat masak nasi," mama kembali berbohong karena kompor sedang nganggur.
"yaudah deh besok aja kali saya belinya." setelah pembeli membayar dan pergi mama langsung membawa sayur itu kebelakang. Sambil menangis mama membuang sepanci sayur nangkanya ke saluran pembuangan di dapur.
Kejadian demi kejadian pun seringkali dialami. Seperti jatuhnya mobil pickup yang membawa barang belanjaan toko bapak ke kali depan rumah dan banyak lagi.
Suatu hari Babeh datang berkunjung ke rumah (orang yang sudah membantu menyembuhkan bapak saat peristiwa siluman ular)
"Ji (maksudnya haji) rumahmu kok gelap banget, hawa nya juga ga enak" ujar babeh begitu di dalam rumah.
"Gelap gimana?" bapak bingung karena saat itu siang hari dan rumah terang benderang.
"kayanya kamu ada yang ngerjain ini ji," kemudian Babeh keluar mengelilingi rumah seperti mencari sesuatu.
Saat kembali ke dalam rumah Babeh pun mulai berbicara, "ini usahamu ada yang ngerjain, buhulnya ditanem depan rumahmu. Tapi ga jelas di sebelah mananya. Cuma yang pasti di bawah pohon depan itu" sambil menunjuk pohon jarak yang ada persis di depan rumah.
"Yang dikirim bentuknya ular makanya hawanya panas. Tapi untungnya keluargamu rajin shalat juga ngaji, jadi gak terlalu berpengaruh sama keluargamu. Udah lama kayanya dikirim soalnya udah beranak dia di rumahmu. Kalo kamu bisa lihat udah penuh itu rumahmu sama ular"
Bapak langsung teringat dengan mimpiku soal ular besar di dalam rumah.
Setelah mengobrol Babeh pun pamit pulang dan bersedia membantu bapak untuk membersihkan pengaruh sihir yang dikirim ke rumah ini.
Setelah beberapa waktu berkat pertolongan Allah melalui Babeh sedikit demi sedikit usaha bapak dan mama mengalami peningkatan meski tidak bisa kembali seperti dulu.
Tapi itu tidak bertahan lama, keadaan memburuk kembali bahkan lebih dari sebelumnya. Saking sepinya toko dan warung nasi kadang kami hanya bersantai seharian duduk-duduk di warung.
Kadang bapak melayani pembeli di warung nasi karena toko juga sepi pembeli. Beberapa kali ada seorang ibu-ibu yang membeli nasi yang selalu menanyakan mama. Namun ibu itu selalu bertemu dengan bapak saja. Sampai akhirnya ibu itu menitip pesan kepada tetangga yang dekat dengan mama agar datang ke rumahnya.
Karena penasaran mama akhirnya mendatangi rumah ibu bernama Dede itu meskipun mama tidak mengenalnya. Setelah mencari alamatnya yang dekat dengan rumah akhirnya mama bertemu dengan bu Dede. Wanita berumur 40an awal, memakai daster dan kerudung lebar berperawakan tinggi agak gemuk dan berkulit putih, parasnya cantik umumnya wanita cantik sunda.
"Ohh jadi ini ibunya, ya ampun ibu dari kemaren saya pengen ketemu tapi ga bisa terus ya," bu Dede menyapa dengan ramahnya.
Namun mama masih bingung karena sama sekali tidak mengenal bu Dede ini "eh iya bu. Tapi ibu ada perlu apa ya sama saya? Apa ada masalah bu?" mama sedikit hawatir jika dipanggilnya mama karena ada kesalahan yang tidak sengaja dilakukan.
"Bukan bu, saya ini cuma pengen bantu ibu. Setiap saya lewat rumah ibu itu gelaapp banget. Kaya ada yang nutupin, kalo orang lewat mungkin ga akan sadar kalo ada warung ibu di situ."
Mama terdiam karena sudah paham maksud bu Dede.
Bu Dede : D
Mama : M
D: " ibu anak bungsu ya? "
M : iya teteh (beliau minta dipanggil begitu)
D : kalau suaminya anak pertama dari 5 bersaudara ya, meski 4 saudaranya beda bapak dengan suami ibu ya?
M : hanya mengangguk dengan rasa bingung campur heran
D : anak kedua laki", sayang banget sama anak" ibu, terus yang bungsu perempuan meskipun keras kepala tapi paling menghormati suami ibu dan paling mengutamakan saudara. Bener bu?
Lagi lagi mama hanya mengangguk
D : yang ketiga perempuan dan yang keempat laki laki. Dari kedua orang ini salah satunya ada yang sifatnya agak licik dan sering berbohong. Nah dia ini yang ingin membuat keluarga ibu susah dan sengsara. Ibu pasti tau yang mana diantara kedua ini yang saya maksud.
Mama pun menunduk dan meneteskan air mata, merasa sedih sekaligus tidak percaya.
D: saya di sini ikhlas mau bantu keluarga ibu karena saya sendiri ga tega liatnya. Satu lagi bu orang yang ingin menyusahkan keluarga ibu. Kalo ibu mau tau, nanti jam 2 malam ibu lihat keluar rumah. Kalo ada orang yang datang dan menaruh sesuatu didepan rumah ibu itulah orangnya.
Agak lama mengobrol akhirnya mama pulang membawa air doa yang diberikan Teh Dede. Mulai nanti malam Teh Dede akan memulai rencananya untuk membantu keluarga kami.
Sesuai perkataan Teh Dede, jam 2 malam dari dalam rumah kami mengintip keluar. Benar saja ada seorang wanita paruh baya yang datang dan menaburkan sesuatu kemudian menyiramkan air depan rumah kami.
"itu siapa ma?" bisikku
"itu yang punya warteg di timur situ"
"oohhh jadi itu yang ngerjain warung nasi mama" aku menatap wanita itu yang berbalik pulang dengan perasaan benci.
Setelah itu mama seringkali bolak balik ke rumah Teh Dede dan rutin menyiramkan air yang diberikan teh Dede ke depan rumah. Tak lama setelah itu kami mendengar kabar suami pemilik warteg itu sakit dan dibawa pulang ke kampung. Karena semakin parahnya sakit yang dideritanya maka istrinya pun menetap dikampung untuk merawatnya sehingga warteg itu pun tutup. Satu kali saat kami berkunjung ke rumah teh Dede...
D : ibu maaf saya ga bisa sepenuhnya ngebersihin apa yang dikirim ke rumah ibu. Meskipun sebelumnya juga sudah ada yang membersihkan dan saya hanya melanjutkan sisa sisanya. Istilahnya paku yang sudah karat kalu dicabut pasti ada bekasnya, meskipun digosok terus pasti masih ada yang sisa
M : gak papa teh, alhamdulillah usahanya juga udah membaik
D : memang bu, tapi ga bisa kaya sebelumnya. Saya ga kuat kayanya bu, ini badan saya aja udah kena efeknya.
Saat itu teh Dede menggulung lengan dasternya ke atas dan nampak lah lebam lebam biru yang cukup banyak.
D : sebenernya bukan cuma di tangan tapi sebadan saya juga penuh kaya gini bu.
M : ya Allah teh sampe begitu. Saya dibantu gini juga udah makasiihhh banget sama teteh.
D : kalau saya saranin rumah ibu ga usah dipake lagi buat usaha, jadi ibu cari tempat lain bu.
Tak lama rumah kami yang paling timur kena gusur untuk pembangunan jalan menuju sekolah di belakang rumah kami. Setelah itu toko yang tadinya di tengah dipindah ke barat menggantikan warung nasi, yang akhirnya dijual oleh bapak demi melunasi hutang-hutang di bank untuk biaya kelulusan sekolahku dari pesantren emoticon-Frown
Tanpa sengaja mama bertemu dengan istri pemilik warteg yang sudah lama tidak buka. Dan dia beserta anak-anaknya mulai berjualan kembali meski tidak bertahan lama karena sepi pembeli sehingga mereka kembali ke kampung. Kabar terakhir yang kami dengar, setelah lama menderita sakit yang tak kunjung sembuh akhirnya suaminya meninggal. Dan meskipun bapak tidak menaruh dendam apapun pada adik yang sudah menyusahkannya tetap saja kehidupannya saat ini selalu mendapat kesulitan.
Mama mulai berjualan nasi uduk di pasar dekat rumah dan bapak berjualan es balok menggunakan becak untuk mengantarnya. Meskipun begitu kehidupan kami bisa lebih baik sampai mama bisa membiayai kuliahku sampai selesai dari hasil berjualan nasi uduknya.
Dari sekian banyak hal yang kami lewati aku belajar, tak perlu membalaskan dendam karena hanya akan membuat hatimu tak tenang. Biarkanlah karma yang membayarnya. Tuhan tak pernah tidur. Apa yang kau perbuat itulah yang akan kau terima.
*Side story - end-