Langsung ke konten utama

TULAH - BAGIAN 2

Hujan turun untuk kedua kalinya.


Jam dinding di sudut sana menunjukkan pukul tujuh lebih lima menit.

Jari-jari Adil lincang menaik-turunkan layar ponselnya. Mencari-cari nama seseorang yang dia kenal, yang memungkinkan untuk dimintai bantuan di deretan daftar kontaknya. Jantungnya berdegup kencang akibat adrenalin yang bergejolak. Bagaimana bisa di jam sekarang ini, masih ada orang yang memperlakukan ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa) dengan cara yang tidak beradab seperti itu? Apalagi korbannya adalah seorang perempuan. Fakta itu menambah kegusaran yang dirasakan Adil.

Tak lebih dari dua menit, Adil menemukan nama yang dia cari. Seorang kawan sekaligus rekan sesama organisasi, dan kebetulan lokasi tempat tinggalnya paling dekat dengan lokasi Dea menjalankan program KKN-nya.

Tanpa menunggu lebih lama lagi, dia segera memencet tombol PANGGIL. "Halo, Eko? Lagi neng ngendi Ko? (Lagi dimana Ko?)"

"Halo, Adil. Piye Kabarmu, Dil? Biasa, aku masih di kota Y*******. Gimana, gimana?" Suara serak itu terdengar begitu ramah. Suara milik Eko, seseorang yang dia kenal ketika gathering organisasi setengah tahun lalu.

"Baik, Ko. Dadi ngene (Jadi begini) Ko, aku butuh bantuan evakuasi. Bisa? Tadi temen adikku telepon, katanya butuh bantuan evakuasi ODGJ yang dipasung. Lokasinya masih satu daerah sama tempatmu."

Eko terdengar antusias. Sama antusiasnya dengan Adil sendiri ketika pertama mendengar kabar itu dari Dea. "Boleh, boleh! Ini aku juga lagi ndak ada kegiatan. Kirimin saja nama lokasinya sama kontak temennya adikmu itu. Nanti biar aku follow-up..."

"Namanya Dea. Nomornya nanti aku kirim lewat BBM wae. Lokasinya di Kabupaten G*********. Nama desanya Srigati..."

"Kosek, kosek (bentar, bentar)! Desa mana??"

Adil kaget omongannya dipotong seperti itu, apalagi dengan nada yang seperti kaget dan tak menduga. "Desa Srigati. Ngopo emangnya?"

"Sepurane, Dil. Aku ndak bisa kesana."

Dan panggilan diputus begitu saja.

Adil termangu di tempatnya duduk. Dia bingung setengah mati dan butuh waktu baginya untuk mencerna apa yang barusan terjadi. Adil mencari-cari jawaban, kenapa nada bicara Eko langsung berubah ketika mendengar nama desa itu. Apa yang salah? Apa yang membuat Eko begitu tiba-tiba keras menolak untuk memberi bantuan ketika mendengar nama desanya?

Tapi belum juga dia mendapat jawaban, ponselnya kembali berdering. Ada pesan BBM masuk. Dari Eko.

"Aku ndak mau ikut campur kalau udah menyangkut desa itu, Dil. Maaf."

BBM kedua masuk sepuluh detik kemudian.

"Lagian, ngopo kancane adikmu pecicilan tekan kono? Aku ra percoyo yen mereka mung KKN thok neng desa kui! (Lagian, kenapa teman adikmu itu pecicilan sampai ke sana? Aku tidak percaya kalau mereka cuma KKN di desa itu!) Dan saranku, kamu mending ndak usah ikut-ikut campur...”

Belum juga dia menemukan jawaban atas kebingungan-kebingungan sebelumnya, kini ada pertanyaan lain yang menghantam kepala Adil...

ADA APA SEBENARNYA DENGAN DESA ITU?

Karena memang pada awalnya, nama desa Srigati bahkan tidak disebut dalam proposal KKN mereka. Program kegiatan hanya meliputi tiga desa, dan untuk tempat tinggal dan program utama mereka dipusatkan di satu desa yang paling besar yaitu desa Jatiasih (bukan nama sebenarnya).

Dua desa lain yang lebih kecil, yaitu dusun Waru dan Giriwatu (bukan nama sebenarnya) hanya mendapatkan program minor karena dua daerah itu secara lokasi dianggap sebagai daerah satelit dan tak bisa dipisahkan dari Jatiasih itu sendiri.

Selain itu, ketiga desa tersebut memiliki kesamaan. Secara kontur, tanah di sana adalah tanah karst yang kering dan tandus. Setiap musim kemarau datang, dapat dipastikan para warga mengalami kesulitan air bersih.

Begitupun di bidang pertanian, tak banyak yang bisa diharapkan. Mereka hanya bisa menggarap tanah ketika musim penghujan tiba, itupun hanya beberapa komoditas seperti jagung, ubi atau singkong. Selain itu tak ada yang bisa mereka lakukan. Para orang tua memilih mengurus ternak, yang muda nekat merantau ke kota.

Dari hasil observasi awal, ternyata sudah ada tiga kali KKN yang dilakukan di Jatiasih. Dua yang awal bahkan dari kampus yang sama dengan kampus Dea. Jadi, otomatis mereka tinggal melanjutkan program-program yang dulu sudah dijalankan. Seperti perbaikan saluran air yang diambil dari sumur-sumur yang ada serta edukasi tentang pertanian di tanah kapur kepada para petani.

Dua minggu berlalu, semuanya berjalan sesuai rencana. Warga dan Pak Kusno, Kepala Desa Jatiasih, begitu ramah dan kooperatif. Lalu hari itu tiba...

Malam dimana Gilang menarik tangan Dea. Mengajaknya menyingkir sejenak dari anak-anak yang lain. Menuju ke halaman belakang rumah salah satu warga yang mereka tumpangi. Ada yang ingin dia bicarakan kepada Dea secara pribadi, karena dia pikir cuma Dea-lah yang bisa diajak diskusi soal ini.

"Di sebelah selatan desa ini ada satu Dusun. Kemarin aku ndak sengaja kesana pas jalan-jalan. Aku lihat dusun itu sepertinya lebih butuh bantuan."

Dea sedikit kaget. Baginya ini terasa begitu tiba-tiba. "Dusun apa sih, Gil? Kemarin pas diantar keliling Pak Kusno, seingatku di selatan Jatiasih cuma ada Dusun Waru dan abis itu hutan."

Gilang menelan ludah. Dia tampak ragu melanjutkan kalimat berikutnya. "Habis hutan itu, De. Kan ada jalan itu, jalan kecil yang diplester semen. Ingat, kan?"

"Maksudnya jalan masuk hutan?? Dusun itu masuk hutan??"

Gilang jadi tambah ragu. "I..Iya. Tapi ndak jauh kok. Masuknya paling dua kilometer aja. Habis itu udah ketemu sama gerbang dusunnya."

Kamu juga ngapain jalan-jalan sampai sana sih, Gil? Batin Dea. Tapi itu tak ditanyakannya langsung.

"Besok kamu lihat sendiri deh, De. Tapi berdua aja. Jangan bilang anak-anak yang lain dulu. Pak Kusno juga."

Dahi Dea berkerut. Dan sepertinya Gilang paham kalau lawan bicaranya itu curiga kepadanya.

"Ora-ora yen kowe tak rudapaksa! (Enggak-enggak kalau kamu aku rudapaksa!) Kamu tahu sendiri kan aku udah punya pacar!"

Dea menyeringai. "Tapi pacarmu ndak ada disini, kan?" Ucapnya sambil berbalik badan dan masuk kembali ke dalam rumah.

Dan entah apa yang merasuki Dea, besoknya, di sore setelah mereka kabur sembunyi-sembunyi dari kegiatan kerja bakti bersama warga Jatiasih, dia sudah duduk di jok belakang motor Gilang.

"Udah? Ayo berangkat..." Gilang menoleh ke belakang sambil melempar senyum. Tampaknya anak ini sudah siap membawanya pergi ke dusun antah berantah itu.

Dea hanya menjawab dengan anggukan kepala, dan motor Gilang melaju meninggalkan markas KKN. Walau pikiran-pikiran jelek itu masih nongkrong di kepala, tapi setidak-tidaknya Dea sudah pasang tameng untuk kemungkinan-kemungkinan terburuk.

Dan terlepas dari itu, semalaman tadi Dea terus berpikir; kenapa Gilang begitu tertarik dengan dusun itu, dan kenapa tak boleh ada orang lain yang tahu? Bahkan Pak Kusno kepala desa...

Dan tak lebih dari sepuluh menit perjalanan melewati Jatiasih dan Waru, Gilang menghentikan tarikan gasnya tepat di depan sebuah hutan jati yang terakhir kali Dea lihat di hari pertama mereka datang ke Jatiasih. Ketika itu Pak Kusno mengajak seluruh anak-anak KKN berkeliling sambil memberikan penjelasan singkat tentang keterkaitan antara Jatiasih dan dua dusun di sekelilingnya. Kalau mau pengabdian di Jatiasih, maka otomatis Waru dan Giriwatu juga harus masuk dalam proker mereka. Begitu kata Pak Kusno dulu.

Dan dari apa yang masih diingat Dea, tur singkat itu berakhir di sini. Tepat di tempat dimana saat ini motor Gilang berhenti.

"Kenapa berhenti, Gil?"

Di hadapan Dea kini terbentang sebuah hutan yang dipenuhi deretan pohon-pohon jati raksasa yang nyaris semuanya meranggas. Hanya ada beberapa daun yang masih bertahan, seolah menolak gugur di tengah gersangnya tanah ini. Dahan-dahannya meliuk, menyeramkan, seakan tampak seperti figur ratusan manusia raksasa yang sedang menari. Dan di antara rapatnya deretan pohon-pohon itu, nampak satu jalan kecil yang diplester dengan semen membelah lebatnya hutan.

Memori-memori di hari pertama itu terputar kembali di kepala Dea. Bagaimana di tempat ini dulu, Pak Kusno menghentikan langkahnya. Mengehela nafas panjang sambil membenarkan posisi kopiah warna hitam yang selalu dipakainya itu.

“Ini adalah batas dusun Waru. Saya harap adik-adik ini mampu memaksimalkan program kerja dan selalu ingat untuk menjaga diri dan lingkungan. Tetap fokus dan jangan aneh-aneh. Batas kalian di sebelah selatan adalah hutan ini. Jadi saya ingatkan sekali lagi...”

Butuh beberapa saat bagi Dea untuk mengingat utuh kalimat terakhir dari Pak Kusno.

“...jangan melewati batas!”

Sekarang, Dea benar-benar menyesali pilihannya. Tak ada hal lain yang dia inginkan kecuali segera berbalik ke Jatiasih. Bulu kuduknya meremang. Tapi belum juga sempat ia mengutarakan niatnya, Gilang lebih dulu angkat bicara.

"Jalan aspalnya cuma sampai sini, De. Habis ini kita masuk ke dalam sana..."

"Bentar, Gil! Aku ingat Pak Kusno pernah..."

"Wis, to! (Sudahlah!)" Gilang memotong omongan Dea, dan entah kenapa Dea tak memprotes sedikitpun. Sepertinya rasa takut itu lebih menguasai dirinya. "Pokoknya nanti di sana, bilang saja kita mau memeriksa sumber air untuk dialirkan ke Waru, Giriwatu dan Jatiasih. Bicara saja seperlunya."

"Gil, aku gak mau kalau..."

Terlambat. Gilang menarik kembali gas motornya kencang-kencang. Membiarkan mereka berdua ditelan hutan Jati yang bagi Dea seakan begitu luas dan tak memiliki ujung ini.

Postingan populer dari blog ini

Misteri Suara Tanpa Wujud

Malam itu pekat tak berbintang, hujan sejak sore sudah mulai sedikit reda, menyisakan gerimis halus ... membawa kesejukan. Namun, membuat sekujur tubuh merinding juga. Bagaimana tidak, aku hanya sendirian di rumah kala itu. Ayah dan ibu sedang ke luar kota menjenguk kakak yang habis lahiran. Kebetulan aku tak ikut, karena sering mabuk darat juga karena perjalanan ke rumah saudariku itu terbilang cukup memakan waktu lama. Bisa pegal pinggangku kelamaan duduk dalam mobil. Malam itu, lepas makan semangkuk indomie kaldu dicampur cabe lima biji plus perasan jeruk nipis sebelah, cukup membuat badan sedikit hangat. Makanan penggugah selera itu selalu menjadi makanan pengusir dingin kala malam tiba dengan segudang hawa dingin yang mencekam. Musim hujan selalu membawa berkah bagi Mpok Iin, penjual indomie langgananku di sudut jalan depan. Stok jualannya selalu laris olehku, pecinta mie kaldu. Setelah habis melahap semangkuk makanan andalan, segera bergegas ke ruang belakang rumah. Dapur maksudn...

Privacy Policy

  Narastudio built the app as a Free app. This SERVICE is provided by Narastudio at no cost and is intended for use as is. This page is used to inform visitors regarding our policies with the collection, use, and disclosure of Personal Information if anyone decided to use our Service. If you choose to use our Service, then you agree to the collection and use of information in relation to this policy. The Personal Information that we collect is used for providing and improving the Service. We will not use or share your information with anyone except as described in this Privacy Policy. Information Collection and Use For a better experience, while using our Service, I may require you to provide us with certain personally identifiable information. The information that I request will be retained on your device and is not collected by me in any way. The app does use third party services that may collect information used to identify you. Link to privacy policy of third party service prov...

Lexi Terkencing-kencing

Beberapa hari setelah mendengar melisa yang sudah tiada, kami pun mencoba mengikhlaskan dan cuman mengingat melisa sebagai bagian kenangan yang indah waktu sekolah. Tampaknya bekas trauma dan sedih tentang melisa ini membuat kami benar2 enggan buat membahas dan mengingat2 kejadian maupun kenangan bersama melisa. Bahkan beberapa cew famous yg pernah membully si melisa merasa bersalah dan menemui ane buat menyampaikan permohonan maaf ke melisa (dipikirnya ane dukun apa bisa ngirim salam ke arwah). Ane bahkan sempet candain mereka uda ane sampaikan nanti melisa langsung datang sendiri ngobrol langsung dengan mereka, yang diikuti rasa horor dan kepanikan dari wajah2 cew famous ini wakakakakka. "eh besok sabtu, kita bikin tenda sendiri aja", ajak lexi "emang lu ada tenda?", tanya ane "ada keknya, tapi lupa aku taruh dimana nanti aku cek dlu", jelas lexi. "gua ada, tenang aja nj*ng, tapi tenda ku ne gede banget", ujar mister "ah bagus kalau gede, ...

Teman Kelas Ane Meninggal Misterius (PART 4)

 Teman Kelas Ane Meninggal Misterius (PART 4) Sekitar jam 8an malam ane akhrinya sampai di rumah. Emak ane ternyata lagi nonton tivi barenga adik2 ane. Sembari melepas baju di dalam kamar ane, telpon rumah pun berdering. Kebetulan karena memang di renovasi rumah ane, dari ruang tamu jadi kamar ane, ne telpon diinapkan di kamar ane. Mungkin disengaja apa kagak, tapi memang ne telpon rata2 berbunyi nyariin ane. Setelah berganti pakaian seragam rumah ane, celana pendek dan singletan, ane pun mengangkat ne telpon. Ternyata si melissa yang nelpon. Dia menanyakan dari tadi sore nelpon ane masih belum balik darimana. Ane pun menjelaskan habis ngajak shopping si billy yang pengen berubah dari bujang band malaysia jadi bujang band punk rock skaters. Kami pun terbahak-bahak dan ane menceritakan ekspresi si Billy yg menghabiskan 2 juta rupiah cuman untuk 3 kaos, 1 celana panjang dan 1 celana pendek wakakkakaka. Padahal dia niatan juga mau beli tas dan sepatu buat ke sekolah seperti si lexi da...

Me #2 -DOPPELGANGER-

 Waktu saya masih sekolah sd dan toko bapak masih rame" nya, saya lebih sering belajar sendiri karena orang tua saya sibuk sama pembeli. Malam itu seperti biasa saya lagi ngerjain pr dari sekolah sendirian. Di toko ini ada rak untuk barang yang di taruh di tengah sekaligus jadi pembatas buat sedikit ruangan di belakang yang biasa dipake buat shalat sekaligus tempat tidur orang tuaku. Nah saya belajar di situ sambil menghadap lorong yang ada di belakang rumah. Ngerjain pr sambil tengkurap karena ga pake meja, cuma beralas bantal biar dada ga sakit. Lagi fokus" nya saya ngerjain pr (nunduk) sekilas saya lihat di depan saya bapak lewat di lorong dari arah warung nasi ke kamar saya di timur (posisi toko ada di tengah) pakai gamis putih yang biasa bapak pake kalo pergi shalat jum'at. Saya noleh sebentar "oh mungkin bapak mau shalat di sebelah" pikir saya. Gak lama sekitar 5 menit saya lihat lagi bayangan mama di lorong pergi ke kamar timur pake baju tidur warna ungu,...

Pengalaman Bertemu Hantu/Jin (Chapter Jogjakarta)

Selamat datang di Jogja, Kami (makhluk ghoib) bukan hanya gossip Sahabat-sahabat ane yg pernah ane sebutin di chapter Palembang, semua berdiskusi mengenai pilihan universitas sebagai pijakan lanjutan pendidikan yg lebih tinggi. rata-rata sahabat ane memilih melanjutkan ke Universitas yg ada di Sumsel pula. Sedang ane, sepakat dengan si babay untuk melanjutkan ke Jogjakarta di Universitas yg terkenal dengan jaket warna tanahnya itu. Untuk memuluskan persiapan kami supaya dapat lulus, si babay menyarankan untuk ambil lembaga kursus intensif untuk persiapan SPMB. Neu**n yg berada di nyutran menjadi pilihan kami berdua dan setelah melaporkan biaya ke emak ane. Alhamdulilah emak ane setuju dan ane pun terdaftar di kursus ini. Rupa2nya emak si babay daftarin dia bukan di kursus sini, malah di pesaingnya. ini pegimane cerite, yg nyaranin malah ke tempat laen wakakkakakkaa. dengan penuh rasa tidak enak dan kekecewaan dengan emaknya, si babay berulang kali meminta maaf ane gansis.  Ya sudah...

PEMBERANGKATAN TERAKHIR

“Aku yakin betul naik kereta malam itu, tapi orang-orang melihat aku jalan kaki di atas rel.” KERETA MALAM -PEMBERANGKATAN TERAKHIR- A THREAD Kisah ini terjadi pada 2006 silam, kala itu santer rumor beredar mengenai 'pemberangkatan terakhir ialah kereta gaib'. Sila tinggalkan jejak, RT, like atau tandai dulu judul utas di atas agar thread tidak hilang atau ketinggalan update. Maleman kita mulai.  Ini sepenggal kisah yang sampai sekarang membuatku parno naik kereta di jam malam. Peristiwa itu amat melekat diingatan bagaimana aku menempuh perjalanan tanpa sadar JKT-YK dalam waktu hampir 5 hari tapi rasanya waktu berhenti di satu malam pertama--  --Aku yakin betul kalau aku menaiki kereta malam itu, tapi orang-orang melihat aku berjalan kaki sepanjang rel yang entah muncul dari mana.  Senin malam, 2006. Aku hendak pulang ke Yogya karena mendapat kabar bapakku sakit. Kala itu aku masih kuliah di salah satu Universitas Negeri di pinggiran Ibu Kota.  Karena dapat kabar men...

”Aku bertarung melawan setan yang tertanam dalam susuk sendiri.”

 “Aku seorang penembang panggung dan aku memakai susuk. Keputusan mencabut susuk kukira hal yang mudah. Tapi sekarang, aku bertarung melawan setan yang tertanam dalam susuk sendiri.” Tengah malam, di satu rumah berbilik kayu, seorang wanita bernama Taya tersentak dari tidur lalu mengerang kesakitan. Urat-urat di wajahnya membiru menonjol keluar menegang. Napasnya tercekat, membuat suaranya berhenti di tenggorokan—  “Kak!! Kakak kenapa?!” Sani, adik Taya satu-satunya panik ketika mendapati kakaknya meringis kesakitan. Ada yang tak biasa dari wajah Taya—di sekujur pipi, dagu dan kening menonjol garis-garis keras serupa jarum-jarum halus.  Sani menyadari sesuatu, buru-buru dia membekap mulut sang kakak agar tak bersuara. “Ssssssttttt” isyarat Sani pelan sambil menangis tanpa suara  Taya mengatur napas, kedua tangannya menggenggam erat sprei dan matanya mendelik ke atas menahan sakit. “KRENGG!!” Suara lonceng terdengar mendekat.  “KREENGG!!” “KREEENGGG!” Lonceng ter...