"BEDHESSS...!! CEPET DIGACAR!!”
Teriakan Pak Gunardi itu setidaknya memiliku dua arti bagi Sarmin; pertama bahwa dia memang harus menangkap dua penguntit itu bagaimanpun caranya. Yang kedua adalah, ada sesuatu yang gawat baru saja terjadi.
Karena seingatnya, Pak Gunardi nyaris tak pernah memerintah orang dengan nada dan amarah sebesar ini. Dia, sebagai kepala dusun, dikenal sebagai sosok yang kharismatik, ngayomi dan kebapakan layaknya seorang pamong. Bahkan Pak Gunardi selalu memanggil Sarmin dengan kata ganti seperti 'Le', 'Cah Bagus' atau 'Nang' seperti ia memanggil anak lelakinya sendiri.
Tapi malam ini, untuk pertama kalinya, Sarmin dihardik dengan sebutan bedhes. Monyet. Telinga dan hatinya langsung panas di waktu bersamaan. Andai saja orang lain yang memanggilnya seperti itu, Sarmin tak terlalu ambil pikir. Dia bisa langsung menghajar orang itu sampai mampus, dengan lengan kekar nan legam yang terbentuk karena pekerjaan kerasnya keluar masuk hutan dan kadang membawa sebalok kayu jati seorang diri.
Tapi kali ini, Pak Gunardi-lah yang melakukannya. Seorang lelaki yang begitu dihormati, bukan cuma oleh Sarmin semata, tapi juga oleh nyaris semua orang Srigati. Termasuk juga bapak dan ibunya.
"Pak Gunardi kui pahlawan dusun e dewe, Sar. Priyayine kui wis ngelakoni opo wae dinggo nyelametake Srigati soko balak..." (Lek Gunardi itu pahlawan desa. Beliaunya sudah melakukan apa saja untuk menyelamatkan Srigati dari bala bencana...)
Tutur sang ibu pada suatu hari. Jadi sejak saat itu, di kepala Sarmin sudah tertanam bahwa Pak Gunardi adalah seseorang yang harus dan pantas untuk diberi hormat. Beliau adalah seorang priyayi, kepala dusun dan pahlawan Srigati. Walau sejujurnya, Sarmin juga tak tahu apa yang telah dilakukan Pak Gunardi sampai semua orang tua menyebutnya pahlawan.
"Sarmin, ngopo meneng wae?! Cepet Gunardi kae disusul!!" (Sarmin, kenapa diam saja?! Cepet susul Gunardi!!)
Suara itu membuyarkan lamunan Sarmin. Kali ini bukan dari mulut Pak Gunardi, tapi dari sesosok figur kakek sepuh dengan blangkon hitam dan pakaian Surjan serta tongkat teken kayu yang dia kenal dengan panggilan Mbah Gondo. Seorang kakek yang tadi siang dia jemput di rumahnya dan dia antar ke rumah Pak Gunardi. Seorang yang sudah dianggap sesepuh di desa ini...
Kakek-kakek ini, ah...walaupun hidup bersama di satu Dusun, Sarmin tak pernah benar-benar mengenalnya. Mbah Gondo penuh dengan misteri. Ada yang bilang dia hanyalah seorang sesepuh, ada juga yang bilang dia adalah dukun. Sakti mandraguna dan bisa bicara dengan arwah-arwah yang sudah mati. Tapi semua itu hanyalah omongan orang. Satu-satunya yang bisa Sarmin pastikan kebenarannya hanyalah, Mbah Gondo bisa membuat orang seterhormat Pak Gunardi sampai harus sedikit membungkukkan badan dan menundukkan pandangan setiap kali berbicara dengannya.
"CEPET!!"
Perintah Mbah Gondo yang kedua kali membuat Sarmin segera bereaksi. Dia naik ke sepeda motornya dan kemudian menyalakan mesin.
"Cah gemblung, kok malah numpak motor?!" (Orang gila, kok malah naik motor?!)
"Ben cepet Mbah!!" (Biar cepet, Mbah!!)
Gas langsung ditarik sekencangnya, kembali ke perempatan desa dan berbelok ke arah kebun jagung. Kali ini Sarmin benar-benar harus menangkap siapapun penguntit yang telah menyaksikan apa yang seharusnya tidak mereka saksikan. Tak peduli entah mereka maling, bocah-bocah kampung sebelah yang main dan nyasar sampai kesini...
...atau bahkan anak-anak kota yang sudah beberapa minggu terakhir ini ia dengar sedang melakukan KKN di Jatiasih.
Intinya, mereka telah mengusik ketentraman Dusun tercintanya. Dusun yang selama ini begitu tenang, damai dan sekaligus menyimpan rahasia-rahasia yang harus dijaga dari orang-orang asing.
Terutama lagi, tentang rahasia kandang kambing itu. Tentang apa...
...dan siapa yang tersimpan di dalam sana.
Sembilan tahun lalu,
Pada satu malam paling kelam yang tak akan pernah bisa Sarmin lupakan sampai kapanpun, pintu rumahnya digedor-gedor oleh seseorang dari luar. Kala itu sudah lewat tengah malam, Sarmin yang setengah tertidur di atas tikar di ruang tengah, nyaris terlompat kaget mendengar ribut-ribut di luar sana.
Rasa kantuknya hilang tak tersisa. Langsung ia bangkit dan berlari ke arah pintu depan. Di belakang, bapak dan ibunya menyusul, juga dengan setengah berlari dan wajah yang tampak sangat panik.
Pintu semakin keras dan semakin sering digedor, seakan siapapun yang ada di sana juga tak kalah panik dan terburu-buru. Tangan Sarmin langsung menggeser balok kayu penahan pintu dan membukanya dengan segera. Bersamaan, sosok yang begitu familiar segera menghambur masuk ke dalam. Keringat membasahi seluruh tubuhnya, nafasnya pun tersengal-sengal.
Namanya Mardi, tetangga sebelah sekaligus teman sebaya Sarmin. Nyaris saja dia melayangkan pukulan ke wajah si brengsek itu sebagai pelampiasan rasa kesalnya. Namun niat itu tertahan ketika dia mendengar kabar yang dibawa Mardi.
"Sepurane, Sar...iki enek rajapati! Lek Kasnyoto karo bojone pejah..." (Maaf sekali, Sar...ini ada kabar duka! Lek Kasnyoto dan istrinya meninggal...)
Mardi kemudian menoleh ke belakang, seakan memberi tahu Sarmin bahwa di luar sana, keaadan sudah ramai riuh oleh para warga Dusun yang berkumpul membentuk beberapa titik di berbagai sudut jalan. Suara kentongan bertalu-talu, dipukul sekali demi sekali. Menyebarkan tanda rajapati; yang berarti bahwa ada seseorang yang baru saja mati.
Sarmin langsung keluar dari rumah diikuti oleh Mardi dan kedua orang tuanya. Bergabung dengan warga yang kemudian bergerak berbondong-bondong menuju rumah Lek Kasnyoto yang letaknya berada di ujung barat Dusun. Beberapa dari mereka membawa obor di tangan untuk penerangan, karena memang pada saat itu listrik belum masuk di Srigati.
Di sepanjang perjalanan, Sarmin berkutat dengan isi kepalanya sendiri. Pikirannya dipenuhi prasangka-prasangka buruk. Ini pasti bukan kejadian biasa! Selain karena yang meninggal adalah sepasang suami istri sekaligus, tadi sore dia masih melihat Lek Kasnyoto berjalan dengan goloknya dan keluar dari kebun. Bahkan mereka berdua masih sempat bertegur sapa.
Orang itu terlihat benar-benar sehat dan bugar seperti biasanya. Tidak tampak sakit sama sekali.
Iring-iringan warga akhirnya berhenti tepat di depan rumah Lek Kasnyoto, dimana di sana Pak Gunardi, Mbah Gondo dan seorang lelaki yang tidak dikenal sudah berdiri di depan pintu yang separuh terbuka. Wajah ketiganya kelihatan begitu tegang. Apalagi ketika melihat semua orang sudah berkumpul di tempat ini.
"Wonten nopo niki, Pak Gunardi?" (Ada apa ini, Pak Gunardi?)
Salah seorang warga melempar pertanyaan, yang diikuti riuh rendah suara yang lainnya. Mbah Gondo lantas membisikkan sesuatu di telinga Pak Gunardi, yang dibalas dengan sebuah anggukan kecil.
"Sabar, bapak-bapak dan ibu-ibu!" Pak Gunardi mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Semua orang, seperti biasa dan seharusnya, menuruti perintahnya. "Tetangga kita, Lek Kasnyoto dan istrinya telah meninggal dunia malam ini..."
Keriuhan kembali terjadi, para warga saling bicara satu sama lain. Bahkan beberapa orang berusaha untuk mendekat ke dalam, sebelum Pak Gunardi menahan langkah mereka untuk masuk lebih jauh lagi.
"Sepurane (mohon maaf), tapi demi keamanan dan kenyaman semuanya, saya tidak bisa mengijinkan semua orang untuk masuk!"
Pak Gunardi kemudian melirik ke arah beberapa orang, dan salah satunya adalah Sarmin. "Mardi, Bowo, Mas Husni sama Sarmin! Kalian ikut saya masuk. Yang lain tunggu di luar!"
Sarmin sebenarnya ragu. Tapi, dia tahu dia tak punya pilihan lain. Apalagi disitu ada Mbah Gondo juga. Dua orang paling disegani di Srigati sudah memberi perintah. Sarmin lantas maju ke depan bersama tiga nama lainnya yang tadi dipanggil. Bahkan Sarmin tidak bertanya sepatah katapun ketika Pak Gunardi memimpin mereka untuk masuk ke dalam rumah. Menyusuri ruang tengah menuju arah dapur yang ada di bagian paling belakang.
Dan di saat kakinya menginjak lantai tanah dapur Lek Kasnyoto, Sarmin langsung menyesali keputusan untuk menuruti perintah Pak Gunardi. Matanya terbelalak dan perutnya seketika bergejolak, ketika dia mendapati jasad Lek Kasnyoto dan istrinya tergeletak di tanah, tepat di samping pawon yang masih tampak berkobar apinya.
Sarmin masih belum yakin dengan penglihatannya. Dia kemudian mendekat, maju dua langkah ke arah jenazah. Dan di bawah temaram lampu sentir yang di gantung di langit-langit, jelas terlihat bahwa sepasang tubuh tak bernyawa itu...
...terbujur tanpa kepala.
"Ayo, maju!" Pak Gunardi berbisik, tapi tak ada satupun dari mereka berempat yang melangkah satu jengkalpun. Begitupun Sarmin, yang nyalinya langsung menciut melihat bagaimana naasnya kondisi kedua suami istri itu.
Tapi malam ini, nasib sial memang sedang menjadi milik Sarmin. Posisinya yang berada paling depan dan paling dekat dengan Pak Gunardi, membuatnya jadi orang pertama yang menjadi sasaran untuk ditarik lengannya dan dipaksa untuk maju ke depan oleh Kepala Dusun itu..
"Sarmin, buka dandangnya!" Pak Gunardi menunjuk ke arah dandang tanah liat, di atas pawon yang masih menyala.
Sarmin menurut, dia hanya ingin semuanya cepat selesai. Tangannya cepat bergerak membuka tutup dandang tersebut.
Dan di dalam sana, Sarmin menemukan bagian yang hilang dari jasad Lek Kasnyoto dan istrinya; dua buah kepala dengan kulit yang mulai mengelupas, tampak mengambang di air mendidih. Di detik itu juga, Sarmin menjatuhkan tutup dandang dan memuntahkan keluar sayur lodeh dan ikan asin yang ia santap tadi sore.
Pak Gunardi tidak peduli. Jarinya langsung menunjuk ke satu arah. Ke sudut dapur yang gelap dan tak terkena cahaya lampu sentir.
"Bocah iki sing mateni Lek Kasnyoto karo bojone!" (Anak ini yang membunuh Lek Kasnyoto dan istrinya)
Sesosok anak perempuan, seumuran Sarmin dan Mardi, meringkuk bersandar di tembok bambu dapur, dengan rambut acak-acakan dan tubuhnya telanjang bulat tanpa sehelai benangpun. Pandangannya kosong jauh ke depan, dan mulutnya terkatup rapat. Sedang tepat di sampingnya, sebilah golok yang tadi sore Sarmin lihat dipakai Lek Kasnyoto untuk membabat rumput, tergeletak di bawah simbahan darah segar berwarna merah.
Sarmin mengenalnya. Dia sangat mengenalnya.
Itu adalah Yuli, putri tunggal Lek Kasnyoto dan istrinya.
"Yuli edane soyo ndadi! Iki bahaya, dadi awakedewe ora nduwe pilihan lain!" (Yuli gilanya semakin menjadi! Ini berbahaya, jadi kita tidak punya pilihan lain!)
Pak Gunardi memandang Sarmin dan tiga orang lainnya, satu persatu. Seakan berusaha meyakinkan mereka bahwa hanya inilah satu-satunya cara...
"Saiki ayo Yuli digowo menyang gubuk bekas kandang wedhus cedak alas Jati kae. Aku wegah njipuk resiko, Bocah iki kudu dipasung! mergane yen deweke tego ngelakoni iki nyang wong tuane dewe, sesuk-sesuk iso awakedewe sing dibabat sirahe nganggo golok!"
(Ayo, Yuli dibawa ke gubuk bekas kandang kambing dekat hutan Jati. Aku tidak mau ambil resiko, anak ini harus dipasung! Karena kalau dia tega melakukan ini ke orang tuanya, besok-besok bisa kita yang dipenggal kepalanya pakai golok!)
Tenaga Sarmin sudah terlanjur habis. Lututnya kehilangan daya topang, dan terjatuh ke lantai tanah. Yang bisa dia lakukan hanyalah memandang Yuli, yang ternyata juga balas memandangnya. Mulutnya bergetar ketika ia mendesis...
"Aku luwe..." (Aku lapar...)
Pada satu malam paling kelam yang tak akan pernah bisa Sarmin lupakan sampai kapanpun, pintu rumahnya digedor-gedor oleh seseorang dari luar. Kala itu sudah lewat tengah malam, Sarmin yang setengah tertidur di atas tikar di ruang tengah, nyaris terlompat kaget mendengar ribut-ribut di luar sana.
Rasa kantuknya hilang tak tersisa. Langsung ia bangkit dan berlari ke arah pintu depan. Di belakang, bapak dan ibunya menyusul, juga dengan setengah berlari dan wajah yang tampak sangat panik.
Pintu semakin keras dan semakin sering digedor, seakan siapapun yang ada di sana juga tak kalah panik dan terburu-buru. Tangan Sarmin langsung menggeser balok kayu penahan pintu dan membukanya dengan segera. Bersamaan, sosok yang begitu familiar segera menghambur masuk ke dalam. Keringat membasahi seluruh tubuhnya, nafasnya pun tersengal-sengal.
Namanya Mardi, tetangga sebelah sekaligus teman sebaya Sarmin. Nyaris saja dia melayangkan pukulan ke wajah si brengsek itu sebagai pelampiasan rasa kesalnya. Namun niat itu tertahan ketika dia mendengar kabar yang dibawa Mardi.
"Sepurane, Sar...iki enek rajapati! Lek Kasnyoto karo bojone pejah..." (Maaf sekali, Sar...ini ada kabar duka! Lek Kasnyoto dan istrinya meninggal...)
Mardi kemudian menoleh ke belakang, seakan memberi tahu Sarmin bahwa di luar sana, keaadan sudah ramai riuh oleh para warga Dusun yang berkumpul membentuk beberapa titik di berbagai sudut jalan. Suara kentongan bertalu-talu, dipukul sekali demi sekali. Menyebarkan tanda rajapati; yang berarti bahwa ada seseorang yang baru saja mati.
Sarmin langsung keluar dari rumah diikuti oleh Mardi dan kedua orang tuanya. Bergabung dengan warga yang kemudian bergerak berbondong-bondong menuju rumah Lek Kasnyoto yang letaknya berada di ujung barat Dusun. Beberapa dari mereka membawa obor di tangan untuk penerangan, karena memang pada saat itu listrik belum masuk di Srigati.
Di sepanjang perjalanan, Sarmin berkutat dengan isi kepalanya sendiri. Pikirannya dipenuhi prasangka-prasangka buruk. Ini pasti bukan kejadian biasa! Selain karena yang meninggal adalah sepasang suami istri sekaligus, tadi sore dia masih melihat Lek Kasnyoto berjalan dengan goloknya dan keluar dari kebun. Bahkan mereka berdua masih sempat bertegur sapa.
Orang itu terlihat benar-benar sehat dan bugar seperti biasanya. Tidak tampak sakit sama sekali.
Iring-iringan warga akhirnya berhenti tepat di depan rumah Lek Kasnyoto, dimana di sana Pak Gunardi, Mbah Gondo dan seorang lelaki yang tidak dikenal sudah berdiri di depan pintu yang separuh terbuka. Wajah ketiganya kelihatan begitu tegang. Apalagi ketika melihat semua orang sudah berkumpul di tempat ini.
"Wonten nopo niki, Pak Gunardi?" (Ada apa ini, Pak Gunardi?)
Salah seorang warga melempar pertanyaan, yang diikuti riuh rendah suara yang lainnya. Mbah Gondo lantas membisikkan sesuatu di telinga Pak Gunardi, yang dibalas dengan sebuah anggukan kecil.
"Sabar, bapak-bapak dan ibu-ibu!" Pak Gunardi mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Semua orang, seperti biasa dan seharusnya, menuruti perintahnya. "Tetangga kita, Lek Kasnyoto dan istrinya telah meninggal dunia malam ini..."
Keriuhan kembali terjadi, para warga saling bicara satu sama lain. Bahkan beberapa orang berusaha untuk mendekat ke dalam, sebelum Pak Gunardi menahan langkah mereka untuk masuk lebih jauh lagi.
"Sepurane (mohon maaf), tapi demi keamanan dan kenyaman semuanya, saya tidak bisa mengijinkan semua orang untuk masuk!"
Pak Gunardi kemudian melirik ke arah beberapa orang, dan salah satunya adalah Sarmin. "Mardi, Bowo, Mas Husni sama Sarmin! Kalian ikut saya masuk. Yang lain tunggu di luar!"
Sarmin sebenarnya ragu. Tapi, dia tahu dia tak punya pilihan lain. Apalagi disitu ada Mbah Gondo juga. Dua orang paling disegani di Srigati sudah memberi perintah. Sarmin lantas maju ke depan bersama tiga nama lainnya yang tadi dipanggil. Bahkan Sarmin tidak bertanya sepatah katapun ketika Pak Gunardi memimpin mereka untuk masuk ke dalam rumah. Menyusuri ruang tengah menuju arah dapur yang ada di bagian paling belakang.
Dan di saat kakinya menginjak lantai tanah dapur Lek Kasnyoto, Sarmin langsung menyesali keputusan untuk menuruti perintah Pak Gunardi. Matanya terbelalak dan perutnya seketika bergejolak, ketika dia mendapati jasad Lek Kasnyoto dan istrinya tergeletak di tanah, tepat di samping pawon yang masih tampak berkobar apinya.
Sarmin masih belum yakin dengan penglihatannya. Dia kemudian mendekat, maju dua langkah ke arah jenazah. Dan di bawah temaram lampu sentir yang di gantung di langit-langit, jelas terlihat bahwa sepasang tubuh tak bernyawa itu...
...terbujur tanpa kepala.
"Ayo, maju!" Pak Gunardi berbisik, tapi tak ada satupun dari mereka berempat yang melangkah satu jengkalpun. Begitupun Sarmin, yang nyalinya langsung menciut melihat bagaimana naasnya kondisi kedua suami istri itu.
Tapi malam ini, nasib sial memang sedang menjadi milik Sarmin. Posisinya yang berada paling depan dan paling dekat dengan Pak Gunardi, membuatnya jadi orang pertama yang menjadi sasaran untuk ditarik lengannya dan dipaksa untuk maju ke depan oleh Kepala Dusun itu..
"Sarmin, buka dandangnya!" Pak Gunardi menunjuk ke arah dandang tanah liat, di atas pawon yang masih menyala.
Sarmin menurut, dia hanya ingin semuanya cepat selesai. Tangannya cepat bergerak membuka tutup dandang tersebut.
Dan di dalam sana, Sarmin menemukan bagian yang hilang dari jasad Lek Kasnyoto dan istrinya; dua buah kepala dengan kulit yang mulai mengelupas, tampak mengambang di air mendidih. Di detik itu juga, Sarmin menjatuhkan tutup dandang dan memuntahkan keluar sayur lodeh dan ikan asin yang ia santap tadi sore.
Pak Gunardi tidak peduli. Jarinya langsung menunjuk ke satu arah. Ke sudut dapur yang gelap dan tak terkena cahaya lampu sentir.
"Bocah iki sing mateni Lek Kasnyoto karo bojone!" (Anak ini yang membunuh Lek Kasnyoto dan istrinya)
Sesosok anak perempuan, seumuran Sarmin dan Mardi, meringkuk bersandar di tembok bambu dapur, dengan rambut acak-acakan dan tubuhnya telanjang bulat tanpa sehelai benangpun. Pandangannya kosong jauh ke depan, dan mulutnya terkatup rapat. Sedang tepat di sampingnya, sebilah golok yang tadi sore Sarmin lihat dipakai Lek Kasnyoto untuk membabat rumput, tergeletak di bawah simbahan darah segar berwarna merah.
Sarmin mengenalnya. Dia sangat mengenalnya.
Itu adalah Yuli, putri tunggal Lek Kasnyoto dan istrinya.
"Yuli edane soyo ndadi! Iki bahaya, dadi awakedewe ora nduwe pilihan lain!" (Yuli gilanya semakin menjadi! Ini berbahaya, jadi kita tidak punya pilihan lain!)
Pak Gunardi memandang Sarmin dan tiga orang lainnya, satu persatu. Seakan berusaha meyakinkan mereka bahwa hanya inilah satu-satunya cara...
"Saiki ayo Yuli digowo menyang gubuk bekas kandang wedhus cedak alas Jati kae. Aku wegah njipuk resiko, Bocah iki kudu dipasung! mergane yen deweke tego ngelakoni iki nyang wong tuane dewe, sesuk-sesuk iso awakedewe sing dibabat sirahe nganggo golok!"
(Ayo, Yuli dibawa ke gubuk bekas kandang kambing dekat hutan Jati. Aku tidak mau ambil resiko, anak ini harus dipasung! Karena kalau dia tega melakukan ini ke orang tuanya, besok-besok bisa kita yang dipenggal kepalanya pakai golok!)
Tenaga Sarmin sudah terlanjur habis. Lututnya kehilangan daya topang, dan terjatuh ke lantai tanah. Yang bisa dia lakukan hanyalah memandang Yuli, yang ternyata juga balas memandangnya. Mulutnya bergetar ketika ia mendesis...
"Aku luwe..." (Aku lapar...)
"Dulu Yuli ndak seperti ini..." Entah mengapa hati Sarmin rasanya seperti diiris-iris, ketika ia melihat tubuh perempuan itu diarak warga menuju gubuk bekas kandang sapi milik salah seorang warga yang letaknya berada di batas wilayah antara Srigati dengan hutan jati.
Tapi dia tidak ingat sejak kapan Yuli mulai kehilangan kewarasan. Yang pasti, ketika masih bocah, Yuli tak ada bedanya dengan dirinya, Mardi dan anak-anak dusun yang lain. Mereka bermain bersama-sama dengan riang gembira. Petak umpet, gobak sodor dan apapun yang membahagiakan mereka sampai senja tiba dan para ibu datang bersama sebatang rotan untuk memaksa anak-anaknya yang bandel itu untuk segera pulang pulang.
Tapi menurut Mardi, sejak Yuli pergi merantau ketika umurnya menginjak enam belas dan kembali pulang ke Srigati setahun kemudian, dia tak pernah lagi keluar dari rumah. Beberapa warga sempat bertanya kepada Lek Kasnyoto maupun istrinya, tapi keduanya kompak memasang wajah tersinggung dan tak memberikan sepatah katapun tentang apa yang sebenarnya terjadi kepada putri semata wayangnya itu.
Beberapa dugaan kemudian mulai muncul dari mulut para warga. Ada yang bilang kalau dia hamil, sebagian lainnya bilang kalau dia menjadi gila. Dugaan yang kedua kemudian menguat ketika beberapa warga mengaku memergoki Yuli berkeliaran di sekitar rumahnya sendiri dan berkelakuan seperti orang yang tidak waras.
Bahkan Mardi sendiri sampai bersumpah-sumpah di depan Sarmin. Dia mengaku melihat dengan mata kepalanya sendiri, Yuli berada dalam posisi berjongkok seperti orang sedang buang air besar di kebun singkong di belakang rumahnya sendiri. Rambutnya acak-acakan tidak karuan, dan tubuhnya telanjang bulat tanpa sehelai benangpun menutupi.
Mardi nyaris mendekat, bermaksud memastikan bahwa dia tidak salah lihat. Tapi apa yang dia saksikan berikutnya, langsung membuat nyali dan keberaniannya runtuh tak bersisa.
Walau saat itu gelap, tapi Mardi berani memastikan bahwa masih dalam keadaan jongkok, tangan kanan Yuli seperti meraup sesuatu dari pantatnya sendiri, sebelum ia memasukkan (entah cairan apa yang ada di tangannya kala itu, Mardi tak mau tahu) ke dalam mulut. Yuli kemudian mengunyah dengan lahap, menelan, lalu berdiri dan menari-nari sambil berdendang gembira dengan dihujani cahaya pucat rembulan.
"Yuli mangan taine dewe!" (Yuli makan kotorannya sendiri!)
Mardi memang pemuda brengsek yang sok petentang petenteng dan hobi berkelahi. Tapi Sarmin tahu, temannya itu bukanlah seorang pembohong.
Yang kemudian membuat Sarmin semakin yakin bahwa Yuli benar-benar gila adalah, beberapa hari setelah dia mendengar cerita Mardi tersebut, Lek Kasnyoto pulang ke rumah bersama Mbah Gondo di sore hari. Timbul dugaan bahwa Mbah Gondo bertandang kesana atas permintaan Lek Kasnyoto demi kesembuhan putri semata wayangnya itu. Hingga malam menjelang, Mbah Gondo baru keluar dari rumah Yuli. Dan sejak saat itu Sarmin tak pernah lagi mendengar cerita warga tentang Yuli. Dia benar-benar tak pernah lagi keluar dari rumahnya.
Sampai malam ini...
Sampai di malam paling laknat ini...
Yuli mencapai puncak kegilaannya. Dia menggorok kepala kedua orang tuanya dan merebusnya di dalam dandang berisi air mendidih.
"Dulu Yuli adalah adalah gadis dan teman yang manis..." Sarmin kembali membatin. Sarmin kembali mencoba memutar memorinya ke belakang. Ke masa-masa dimana semuanya masih begitu indah dan riang. "Dia dulu suka menirukan suara kambing dengan cara yang lucu dan semua orang tertawa melihatnya."
Dan kini, di depan matanya, sahabat masa kecilnya itu digelandang, diludahi, dihujani caci maki, dan dipaksa masuk ke dalam kandang kambing yang bau tainya menyengat minta ampun. Air matanya jatuh berlinang tanpa ia sendiri sadari, ketika kedua kaki Yuli ditarik paksa saling menjauh satu sama lain, dan dimasukkan ke dua buah lubang di kedua sisi ujung kayu besar yang digunakan sebagai alat pasung.
Tapi Yuli tidak memberontak, dia tidak memberi perlawanan. Dia hanya diam, menatap kosong jauh ke depan.
"Mulai sekarang, ndak ada yang boleh mendekat ke tempat ini kecuali atas seijin saya dan Mbah Gondo, demi keamanan dusun kita bersama!" Pak Gunardi mengeluarkan maklumat. Semua warga mengangguk setuju.
Dengan lengannya yang kekar, Sarmin menghapus air matanya sendiri. Dia menatap tajam ke arah Pak Gunardi, Mbah Gondo dan satu lelaki asing yang sedari tadi tidak bicara sepatah katapun.
Mungkin memang sudah saatnya menerima kenyataan bahwa Yuli yang dulu tak lagi sama dengan Yuli yang sekarang. Bukan hanya tidak waras, kini ia juga adalah seorang pembunuh. Seorang yang tega membabat leher bapak dan ibunya sendiri.
Pintu gubuk ditutup perlahan. Dan sebelum rantai besi yang dipasang melingkari gubuk ini dikunci oleh Pak Gunardi, Sarmin masih sempat melihat wajah Yuli.
Dia menatap Sarmin untuk kedua kalinya. Tapi sekarang, sepasang mata itu bukanlah milik Yuli lagi. Sepasang mata itu kini sepenuhnya berwarna putih. Bibirnya perlahan menyunggingkan senyum mengerikan, sebelum akhirnya kembali bergerak seperti berusaha mengucapkan sesuatu. Sesuatu yang tak bersuara namun ajaibnya mampu menggema di balik dada Sarmin.
"Sarmin, aku luwe..."
Tapi dia tidak ingat sejak kapan Yuli mulai kehilangan kewarasan. Yang pasti, ketika masih bocah, Yuli tak ada bedanya dengan dirinya, Mardi dan anak-anak dusun yang lain. Mereka bermain bersama-sama dengan riang gembira. Petak umpet, gobak sodor dan apapun yang membahagiakan mereka sampai senja tiba dan para ibu datang bersama sebatang rotan untuk memaksa anak-anaknya yang bandel itu untuk segera pulang pulang.
Tapi menurut Mardi, sejak Yuli pergi merantau ketika umurnya menginjak enam belas dan kembali pulang ke Srigati setahun kemudian, dia tak pernah lagi keluar dari rumah. Beberapa warga sempat bertanya kepada Lek Kasnyoto maupun istrinya, tapi keduanya kompak memasang wajah tersinggung dan tak memberikan sepatah katapun tentang apa yang sebenarnya terjadi kepada putri semata wayangnya itu.
Beberapa dugaan kemudian mulai muncul dari mulut para warga. Ada yang bilang kalau dia hamil, sebagian lainnya bilang kalau dia menjadi gila. Dugaan yang kedua kemudian menguat ketika beberapa warga mengaku memergoki Yuli berkeliaran di sekitar rumahnya sendiri dan berkelakuan seperti orang yang tidak waras.
Bahkan Mardi sendiri sampai bersumpah-sumpah di depan Sarmin. Dia mengaku melihat dengan mata kepalanya sendiri, Yuli berada dalam posisi berjongkok seperti orang sedang buang air besar di kebun singkong di belakang rumahnya sendiri. Rambutnya acak-acakan tidak karuan, dan tubuhnya telanjang bulat tanpa sehelai benangpun menutupi.
Mardi nyaris mendekat, bermaksud memastikan bahwa dia tidak salah lihat. Tapi apa yang dia saksikan berikutnya, langsung membuat nyali dan keberaniannya runtuh tak bersisa.
Walau saat itu gelap, tapi Mardi berani memastikan bahwa masih dalam keadaan jongkok, tangan kanan Yuli seperti meraup sesuatu dari pantatnya sendiri, sebelum ia memasukkan (entah cairan apa yang ada di tangannya kala itu, Mardi tak mau tahu) ke dalam mulut. Yuli kemudian mengunyah dengan lahap, menelan, lalu berdiri dan menari-nari sambil berdendang gembira dengan dihujani cahaya pucat rembulan.
"Yuli mangan taine dewe!" (Yuli makan kotorannya sendiri!)
Mardi memang pemuda brengsek yang sok petentang petenteng dan hobi berkelahi. Tapi Sarmin tahu, temannya itu bukanlah seorang pembohong.
Yang kemudian membuat Sarmin semakin yakin bahwa Yuli benar-benar gila adalah, beberapa hari setelah dia mendengar cerita Mardi tersebut, Lek Kasnyoto pulang ke rumah bersama Mbah Gondo di sore hari. Timbul dugaan bahwa Mbah Gondo bertandang kesana atas permintaan Lek Kasnyoto demi kesembuhan putri semata wayangnya itu. Hingga malam menjelang, Mbah Gondo baru keluar dari rumah Yuli. Dan sejak saat itu Sarmin tak pernah lagi mendengar cerita warga tentang Yuli. Dia benar-benar tak pernah lagi keluar dari rumahnya.
Sampai malam ini...
Sampai di malam paling laknat ini...
Yuli mencapai puncak kegilaannya. Dia menggorok kepala kedua orang tuanya dan merebusnya di dalam dandang berisi air mendidih.
"Dulu Yuli adalah adalah gadis dan teman yang manis..." Sarmin kembali membatin. Sarmin kembali mencoba memutar memorinya ke belakang. Ke masa-masa dimana semuanya masih begitu indah dan riang. "Dia dulu suka menirukan suara kambing dengan cara yang lucu dan semua orang tertawa melihatnya."
Dan kini, di depan matanya, sahabat masa kecilnya itu digelandang, diludahi, dihujani caci maki, dan dipaksa masuk ke dalam kandang kambing yang bau tainya menyengat minta ampun. Air matanya jatuh berlinang tanpa ia sendiri sadari, ketika kedua kaki Yuli ditarik paksa saling menjauh satu sama lain, dan dimasukkan ke dua buah lubang di kedua sisi ujung kayu besar yang digunakan sebagai alat pasung.
Tapi Yuli tidak memberontak, dia tidak memberi perlawanan. Dia hanya diam, menatap kosong jauh ke depan.
"Mulai sekarang, ndak ada yang boleh mendekat ke tempat ini kecuali atas seijin saya dan Mbah Gondo, demi keamanan dusun kita bersama!" Pak Gunardi mengeluarkan maklumat. Semua warga mengangguk setuju.
Dengan lengannya yang kekar, Sarmin menghapus air matanya sendiri. Dia menatap tajam ke arah Pak Gunardi, Mbah Gondo dan satu lelaki asing yang sedari tadi tidak bicara sepatah katapun.
Mungkin memang sudah saatnya menerima kenyataan bahwa Yuli yang dulu tak lagi sama dengan Yuli yang sekarang. Bukan hanya tidak waras, kini ia juga adalah seorang pembunuh. Seorang yang tega membabat leher bapak dan ibunya sendiri.
Pintu gubuk ditutup perlahan. Dan sebelum rantai besi yang dipasang melingkari gubuk ini dikunci oleh Pak Gunardi, Sarmin masih sempat melihat wajah Yuli.
Dia menatap Sarmin untuk kedua kalinya. Tapi sekarang, sepasang mata itu bukanlah milik Yuli lagi. Sepasang mata itu kini sepenuhnya berwarna putih. Bibirnya perlahan menyunggingkan senyum mengerikan, sebelum akhirnya kembali bergerak seperti berusaha mengucapkan sesuatu. Sesuatu yang tak bersuara namun ajaibnya mampu menggema di balik dada Sarmin.
"Sarmin, aku luwe..."