Langsung ke konten utama

TULAH - BAGIAN 7

 "Opo ora iso diganti panggon liyane to nduk? Kabupaten G********** kui adoh, tur okeh alase. Neg iso sing cedhak omah ngono wae pengene Ibu ki!" (Apa enggak bisa diganti tempat yang lain sih, nak? Kabupaten G********** itu jauh dan banyak hutannya. Kalau bisa malah yang deket rumah kita saja pengennya ibu tuh!)


Dea masih ingat jelas bagaimana sang ibu langsung bereaksi, ketika dia memberi kabar tentang dimana dia akan melaksanakan program KKN-nya lewat sebuah pesan singkat. Begitupun ayahnya, yang bahkan langsung menelepon lima menit kemudian. Berusaha merayu Dea agar mencari kelompok lain atau mengajukan ulang lokasi KKN.

Tapi Dea tahu dia bukan pengambil keputusan. Suaranya tak cukup dominan di kelompoknya sendiri. Sudah ada Gilang di sana, sebagai ketua yang sejak awal sudah mengatur semuanya. Dea bahkan baru masuk kelompok itu setelah Gilang menawarinya. Dia adalah anggota terakhir yang masuk, menggenapi kelompok KKN Jatiasih yang awalnya enam menjadi tujuh orang.

Lagipula, akan terdengar sangat konyol kalau dia mengusulkan pergantian lokasi hanya karena ayah dan ibunya khawatir. Dan pada akhirnya, alih-alih mengusulkan, Dea bahkan tak menceritakan peringatan dari kedua orang tuanya itu kepada siapapun. Tidak kepada Gilang, tidak pula kepada yang lainnya.

Sampai di hari keberangkatan, Dea yang baru melangkah masuk ke dalam bus travel sewaan yang akan membawanya dan enam anak yang lain, menerima sebuah pesan singkat. Lagi-lagi dari sang Ibu.

"Mau bengi, ono manuk gagak tibo ning latar ngarepan omah. Awakmu sing ngati-ati yo, nduk? Bapak karo Ibu ndongakne Dea terus soko ngomah..." (Semalam ada burung gagak yang tiba-tiba jatuh dan mati di halaman depan rumah. Hati-hati ya, nak? Bapak dan Ibu selalu mendoakan Dea dari rumah...)

Entah mengapa, Dea jadi kepikiran tentang firasat ibunya. Sekeras apapun dia menolak dan berusaha berpikir positif, hatinya seakan susah sekali ditenangkan. Di sepanjang perjalanan, dia lebih banyak diam. Memandang kosong ke luar jendela bus travel sambil berkutat dengan isi pikirannya sendiri.

Tapi insting seorang ibu memang jarang salahnya. Benar saja, Dea yang awalnya berpikir bahwa KKN di Jatiasih ini akan menyenangkan sambil sekaligus hitung-hitung liburan, berubah menjadi kacau balau. Dia terjebak dalam masalah pelik yang bahkan bukan karena perbuatannya sendiri. Atas dasar persahabatan yang telah terjalin dengan sedemikian erat, dia mau-mau saja menuruti ajakan Gilang untuk pergi ke Dusun terlaknat itu. Sebuah keputusan yang kemudian membuatnya sadar, bahwa Gilang sudah berubah. Anak ini punya agenda sendiri, sebuah rencana rahasia yang hanya Tuhan dan Gilang yang tahu.

Sebuah jurnal, dan kenyataan bahwa Gilang sudah tahu Srigati sebelumnya; adalah dua hal yang sudah lebih dari cukup untuk dijadikan dasar atas prasangka buruk Dea. Atau jangan jangan...malah Gilang sudah tahu tentang Dusun Srigati jauh sebelum KKN ini dimulai.

Tapi kini, Dea tahu dimana dia harus mencari jawaban atas semua pertanyaannya. Tentang Srigati dan tentang apa yang sebenarnya Gilang cari di tempat itu. Jurnal itu, pasti ada di suatu tempat di markas KKN mereka. Gilang pasti membawanya kemari.

"Masih untung kalian bisa lolos dari kejaran orang-orang Dusun sana!"

Suara Mbak Melia kemudian menyadarkan Dea dari lamunan. Menariknya kembali ke saat ini, dimana dia, Gilang, Mas Adil dan Mbak Melia duduk melingkar di atas sebuah tikar di sebuah warung kopi dekat gerbang masuk Desa Jatiasih.

"Iya, bener. Dadi saiki, kita tinggal mikir gimana caranya evakuasi gadis yang dipasung itu keluar dari Srigati." Giliran Mas Adil yang ikut berdiskusi. Mengingatkan kembali tujuan awalnya kenapa dia dan Mbak Melia datang jauh-jauh ke tempat ini.

"Tapi kita mesti ekstra hati-hati. Aku yakin mas-mas yang kemarin ngejar saya sama Gilang itu, pasti disuruh Pak Gunardi buat nyariin kita dan lagipula..."

Dea tak meneruskan kalimatnya hingga selesai, ketika dia melihat Mbak Melia tiba-tiba bangkit dari duduknya dengan wajah yang tiba-tiba berubah tegang. Dia pandangi Dea dan Gilang silih berganti, seakan dia baru menyadari sesuatu dari ucapan Dea barusan.

"Siapa anak KKN lain yang tahu soal ini??"

Dea dan Gilang menggeleng bersamaan. "Ndak ada, Mbak..."

"Dimana kalian tinggal di Jatiasih selama KKN??"

"Di rumah kosong milik warga Jatiasih yang pergi merantau. Kenapa sih, mbak?"

"Kita harus cepet-cepet kesana sekarang!"

"Gilang ki pancen asu, kok! Ketua lho padahal, tapi ora ono tanggung jawabe. Gaweane ngilang terus!" (Gilang emang brengsek! Dia padahal ketua, tapi gak punya tanggung jawab. Kerjaannya ngilang mulu!)

"Iyo, bener! Nganti ditakonke Pak Kusno. Sedino iki mau nganti pindo lho takon nyang aku..." (Bener! Sampai ditanyain Pak Kusno. Sehari ini tadi sampai dua kali beliau nanya ke aku...)

"Alaaaah, kalian berdua ki sok ra ngerti. Saiki pikiren, bocahe ngalor ngidul karo sopo? Karo Dea, to! Masuk akal opo ora, mengingat Dea kui soko fakultas liyo. Mlebu kelompok kita yo keri dewe, itupun aku krungu-krungu sing ngajak yo si monyet Gilang kae!" (Alah, kalian berdua tuh sok enggak tahu. Sekarang pikir deh, anaknya kesana kemari sama siapa? Sama Dea, kan! Masuk akal enggak, mengingat Dea tuh anak fakultas lain. Masuk kelompok kita juga paling belakangan, itupun aku denger-denger yang ngajak ya si monyet Gilang itu!)

"Nah, aku paham saiki! Maksudmu Gilang enek opo-opo to karo Dea? Masuk akal banget, sih!" (Nah, paham aku sekarang! Maksudmu Gilang ada apa-apa kan sama Dea?)

"Yo wis bar iki, yen bocah loro kui teko kene langsung disidang wae! Saiki proker okeh sing terbengkalai, aku rapopo yen Gilang karo Dea ditendang terus ketuane ganti Sarah..." (Yaudah habis ini, kalau mereka berdua balik kesini langsung disidang aja! Sekarang proker kita banyak yang terbengkalai, aku enggak masalah kalau Gilang sama Dea ditendang terus ketuanya diganti Sarah...)

"Iyo, mending wong limo tapi produktif daripada wong pitu tapi enek skandal!" (Iya, mending berlima tapi produktif daripada bertujuh tapi ada skandal!)

Sambil mencoba menulis laporan perkembangan program kerja KKN kelompok di ruang tengah, Sarah mencuri dengar obrolan tiga orang cowok di teras depan; Rafael, Iwan dan Simon. Mereka ini benar-benar seperti ibu-ibu yang sedang asyik ghibah di tukang sayur pagi-pagi. Sarah jadi dibuat geli sendiri. Cowok kalau sudah gabut dan ketemu sama partner ngobrol yang pas, ngegosipnya bisa lebih parah daripada para cewe.

Tapi mungkin mereka benar juga, dan rasa jengkel mereka sangat beralasan. Gilang, yang seharusnya mengatur semua kegiatan KKN, malah semakin jarang terlihat di rumah ini. Di rumah kosong yang dijadikan markas kelompok KKN mereka. Bahkan Pak Kusno, kepala desa Jatiasih yang sudah berbaik hati mau menerima mereka dan menjadi tour guide di hari pertama, sampai menanyakan eksistensi Gilang sebagai nama yang paling bertanggung jawab atas kelompok ini.

Itu jelas sudah sangat parah. Bahkan Sarah sempat tertarik ikut menimbrung bersama di teras depan. Tapi ketika mendengar namanya disebut, muka Sarah langsung berubah masam. Males banget jadi ketua, batinnya ikut-ikutan sebal. Dan makin sebal lagi ketika matanya menatap lembaran kertas penuh dengan tulisan tangan yang berserak di tikar yang digelar di atas lantai tanah rumah ini. Laporan perkembangan Proker...ditulis oleh Sarah. Sebuah pekerjaan yang harusnya dikerjakan oleh dia yang bergelar Sang Ketua Kelompok Kuliah Kerja Nyata.

Tapi dimana si pemilik gelar sekarang? Sedang sibuk dengan hal lain atau malah berada di suatu tempat? Melakukan hal yang iya-iyasama mahasiswi asing bernama Dea itu? Sarah menghela nafas berat. Yang dia tahu, di antara mereka bertujuh cuma dirinya yang bisa diandalkan untuk memback-up semua kebutuhan kelompok.

Gilang dan Dea tidak jelas dimana rimbanya.

Tiga cowok di depan itu; Rafael, Iwan dan Simon, tidak terlalu pintar dan lebih banyak bicara.

Oh ya, masih ada satu lagi!

Namanya Poppy...

Sarah menoleh ke belakang, dimana tepat di sana ada sebuah pintu kayu dari sebuah kamar yang biasa dipakai tidur anak-anak perempuan. Di sanalah Poppy berada. Si tukang mengeluh itu sudah tidur pulas sejak selepas adzan Isya tadi.

Sudahlah, memang harus aku sendiri yang menyelesaikan ini semua. Sarah membatin sambil bangkit dari duduknya. Berniat buang air kecil dulu sebelum lanjut menulis. Dan di saat itulah, dia baru sadar bahwa ini sudah nyaris jam sepuluh malam dan apa yang disebut dengan kamar kecil di desa ini adalah bangunan dua kali dua meter yang dikelilingi tembok bambu dan letaknya terpisah dari rumah utama. Tepat berada di antara rimbunnya kebun pisang halaman belakang.

Sambil tetap terpaku di tempatnya berdiri, Sarah membuat perhitungan. Dari ruang tengah ini, dia harus melewati dapur yang pintu keluarnya ada di pojokan. Dari pintu keluar itu, Sarah harus melangkah melewati kebun pisang yang gelap dan rapat sebelum sampai ke tempat tujuan.

"Haduh..." Sarah menepuk jidatnya sendiri. "Mau kencing wae susahnya setengah mati!"

Dia memang handal dan cekatan dalam menyelesaikan nyaris semua masalah; kecuali masalah tentang betapa ciut nyalinya sendiri. Jangankan dengan setan, berhadapan dengan suara yang agak keras saja Sarah menyerah. Pernah sekali, dia dibentak oleh dosennya. Kedua lutut Sarah langsung lemas dan dia merasa bahwa lebih baik dia pingsan saat itu juga.

Pacarnya pernah bilang kalau semua itu berasal dari sifatnya yang overthinking. Imajinasinya terlalu besar, sampai-sampai dia membayangkan sesuatu yang sebenarnya belum tentu ada atau terjadi. Semua itu kemudian membuatnya menjadi pengecut yang terkadang kehilangan keberanian bahkan sebelum mencobanya terlebih dulu.

Persis seperti sekarang. Sarah berdiri terdiam sambil memandangi jalan menuju dapur yang hanya berjarak lima langkah. Bahkan dapur itu juga tidak terlalu gelap. Sinar dari lampu sentir sudah cukup untuk menerangi langkahnya agar tidak tersandung sesuatu.

Tapi bagaimana kalau yang tersandung kakinya itu adalah...kepala orang??

Bagaimana kalau dipojokan dapur ada putih-putih berdiri dan menunggu kedatangannya?? Belum lagi di kebun pisang belakang rumah. Di sana lebih parah, Sarah tak akan tahu ada apa di balik rindang dan rapatnya pohon-pohon itu. Apalagi dia pernah mendengar sebuah mitos bahwa pohon pisang adalah tempat bercokolnya sesuatu yang dia kenal bernama...

...POCONG.

"Arep nguyuh to, Sar?" (Mau kencing ya, Sar?)

Suara itu membuat Sarah nyaris terjengkal jatuh karena kaget, andai lengannya tidak ditarik oleh si pemilik suara. Sarah langsung menoleh, dan tanpa dia sadari mulutnya mengumpat.

"Asu! Ngopo sih kowe, Pop?!" (4njing! Ngapain sih kamu, Pop?!)

Poppy, si pemilik suara hanya tertawa geli melihat tingkah Sarah yang kelihatan sekali seperti orang ketakutan.

"Lha kowe domblong koyo wong kesambet ngono kok! Kudune aku sing wedi malahan. Wis yuk, barengan wae. Aku yo rodo wedi neg ameh nguyuh dewean!" (Kamu sih bengong kayak orang kesambet! Harsunya tuh aku yang takut sama kamu. Yaudah yuk, barengan aja. Aku juga agak takut kalau mau ke belakang sendirian!)

Sarah menyambutnya dengan suka cita. Di hatinya, setidaknya malam ini Poppy sedikit lebih berguna daripada Gilang, Dea atau tiga orang cowok di depan sana yang sampai sekarang masih saja mengobrol kesana kemari itu.

"Yuk!"

Mereka berdua kemudian melangkah bersama sambil mengobrol kesana kemari, setidaknya untuk mengalihkan perhatian agar Sarah tidak tertarik untuk menoleh ke sudut-sudut yang tidak perlu untuk ditoleh.

"Cah-cah kae mau durung podo turu, to? Bahas opo sih?" (Anak-anak tadi belum tidur, ya? Bahas apaan sih?)

Poppy sepertinya juga mendengar obrolan itu. Tapi memang kalau dari dalam kamar, suara yang ada di teras depan tidak terlalu jelas terdengar.

"Bahas Gilang sama Dea yang ilang-ilangan itu lho, Pop..."

Poppy tertawa kecil. "Emang wong loro kae kurang ajar kok..." (Emang anak dua itu kurang ajar kok...)

"Ya emang kurang ajar, liat tuh aku harus lembur ngerjain kerjaannya si Gilang!"

Mereka berdua sukses keluar dari dapur tanpa kendala sama sekali. Dan kini Sarah bersiap menghadapi rintangan kedua; kebun jagung yang gelap dan rimbun. Segera ia raih senter di kantong celana dan mengarahkan cahayanya ke depan sana.

"Ayo gandengan aja, Sar. Peteng banget iki..." (Ayo gandengan aja Sar. Gelap banget ini...)

Poppy mendekatkan tubuhnya dan mereka benar-benar bergandengan. Mirip seperti dua orang yang menghindari hujan di bawah satu buah payung kecil. Langkah-langkah panjang cepat diambil, sambil berusaha menitik fokuskan pandangan ke depan dan menghindari untuk menoleh ke kanan kiri.

Sebentar lagi Sarah dan Poppy akan sampai ke tujuan. Sinar cahaya senter itu menabrak dinding bambu kamar kecil yang letaknya ada di tengah-tengah kebun pisang.

"Tapi kowe ngerti ora Sar, Gilang karo Dea kui ora mung kurang ajar mergo sering ninggal kowe..." (Tapi kamu tahu enggak Sar, Gilang sama Dea itu kurang ajarnya enggak cuma karena sering meninggalkan kamu...)

Ucapan Poppy barusan, membuat langkah Sarah terhenti tiba-tiba. Poppy? Apa dia tahu sesuatu?

"Maksudmu apa, Pop?"

Bersamaan, dari arah dalam rumah terdengar jelas suara seseorang memanggil nama Sarah. Suara itu bahkan jelas terdengar di tengah sunyinya Desa Jatiasih di malam hari seperti ini.

"Saaaar!! Kamu dimana? temenin kencing yuk!!"

Sarah menoleh ke arah sana. Dia jelas mengenal siapa yang sedang mencari-carinya itu. Itu suara Poppy...dari dalam rumah.

Sarah masih berusaha mencerna apa yang sebenarnya sedang terjadi, tapi entah kenapa tangan kanannya yang memegang senter refleks mengarah ke Poppy yang satunya. Poppy yang tadi tiba-tiba saja ada di belakangnya. Poppy yang tadi mengajaknya untuk ke belakang bersama-sama. Poppy yang tadi mengobrol dengannya di sepanjang jalan menuju kebun pisang ini.

Poppy yang ini, berdiri tepat satu jengkal di depan dadanya.

TAPI DIA BUKAN LAGI POPPY! POPPY TIDAK TERSENYUM SELEBAR INI, HINGGA KEDUA UJUNG BIBIRNYA NYARIS MENYENTUH TELINGA! MATA POPPY JUGA TIDAK SEPENUHNYA PUTIH! BAU BADAN POPPY YANG INI SEPERTI BAU KOTORAN KAMBING YANG BEGITU MENYENGAT INDERA PENCIUMANNYA!!

DIA, YANG BERADA SATU JENGKAL DI DEPAN DADA SARAH INI BUKAN POPPY YANG IA KENAL!!

"Sarah ning ndi sih, cah?" (Sarah dimana sih, bro?)

Suara Poppy kembali terdengar dari dalam sana. Tapi Sarah tak bisa berteriak minta tolong. Dia tidak bisa berlari. Lututnya lemas. Tubuhnya bergetar hebat sekali. Tapi, yang paling menjengkelkan, dia juga tak bisa pingsan. Dia terjebak. Dia terpaku di atas tanah tempatnya berdiri. Bahkan ketika makhluk ini mendekat dan berbisik lirih di telinganya, Sarah tak mampu berbuat apapun.

"Omongo kancamu loro kae, ojo wani-wani maneh ngidak lemah keratonku!!" (Bilang ke kedua temanmu itu, jangan berani-berani lagi menginjak tanah kerajaanku!!)

Lalu semuanya berubah menjadi gelap...

Postingan populer dari blog ini

Misteri Suara Tanpa Wujud

Malam itu pekat tak berbintang, hujan sejak sore sudah mulai sedikit reda, menyisakan gerimis halus ... membawa kesejukan. Namun, membuat sekujur tubuh merinding juga. Bagaimana tidak, aku hanya sendirian di rumah kala itu. Ayah dan ibu sedang ke luar kota menjenguk kakak yang habis lahiran. Kebetulan aku tak ikut, karena sering mabuk darat juga karena perjalanan ke rumah saudariku itu terbilang cukup memakan waktu lama. Bisa pegal pinggangku kelamaan duduk dalam mobil. Malam itu, lepas makan semangkuk indomie kaldu dicampur cabe lima biji plus perasan jeruk nipis sebelah, cukup membuat badan sedikit hangat. Makanan penggugah selera itu selalu menjadi makanan pengusir dingin kala malam tiba dengan segudang hawa dingin yang mencekam. Musim hujan selalu membawa berkah bagi Mpok Iin, penjual indomie langgananku di sudut jalan depan. Stok jualannya selalu laris olehku, pecinta mie kaldu. Setelah habis melahap semangkuk makanan andalan, segera bergegas ke ruang belakang rumah. Dapur maksudn...

Privacy Policy

  Narastudio built the app as a Free app. This SERVICE is provided by Narastudio at no cost and is intended for use as is. This page is used to inform visitors regarding our policies with the collection, use, and disclosure of Personal Information if anyone decided to use our Service. If you choose to use our Service, then you agree to the collection and use of information in relation to this policy. The Personal Information that we collect is used for providing and improving the Service. We will not use or share your information with anyone except as described in this Privacy Policy. Information Collection and Use For a better experience, while using our Service, I may require you to provide us with certain personally identifiable information. The information that I request will be retained on your device and is not collected by me in any way. The app does use third party services that may collect information used to identify you. Link to privacy policy of third party service prov...

Lexi Terkencing-kencing

Beberapa hari setelah mendengar melisa yang sudah tiada, kami pun mencoba mengikhlaskan dan cuman mengingat melisa sebagai bagian kenangan yang indah waktu sekolah. Tampaknya bekas trauma dan sedih tentang melisa ini membuat kami benar2 enggan buat membahas dan mengingat2 kejadian maupun kenangan bersama melisa. Bahkan beberapa cew famous yg pernah membully si melisa merasa bersalah dan menemui ane buat menyampaikan permohonan maaf ke melisa (dipikirnya ane dukun apa bisa ngirim salam ke arwah). Ane bahkan sempet candain mereka uda ane sampaikan nanti melisa langsung datang sendiri ngobrol langsung dengan mereka, yang diikuti rasa horor dan kepanikan dari wajah2 cew famous ini wakakakakka. "eh besok sabtu, kita bikin tenda sendiri aja", ajak lexi "emang lu ada tenda?", tanya ane "ada keknya, tapi lupa aku taruh dimana nanti aku cek dlu", jelas lexi. "gua ada, tenang aja nj*ng, tapi tenda ku ne gede banget", ujar mister "ah bagus kalau gede, ...

Teman Kelas Ane Meninggal Misterius (PART 4)

 Teman Kelas Ane Meninggal Misterius (PART 4) Sekitar jam 8an malam ane akhrinya sampai di rumah. Emak ane ternyata lagi nonton tivi barenga adik2 ane. Sembari melepas baju di dalam kamar ane, telpon rumah pun berdering. Kebetulan karena memang di renovasi rumah ane, dari ruang tamu jadi kamar ane, ne telpon diinapkan di kamar ane. Mungkin disengaja apa kagak, tapi memang ne telpon rata2 berbunyi nyariin ane. Setelah berganti pakaian seragam rumah ane, celana pendek dan singletan, ane pun mengangkat ne telpon. Ternyata si melissa yang nelpon. Dia menanyakan dari tadi sore nelpon ane masih belum balik darimana. Ane pun menjelaskan habis ngajak shopping si billy yang pengen berubah dari bujang band malaysia jadi bujang band punk rock skaters. Kami pun terbahak-bahak dan ane menceritakan ekspresi si Billy yg menghabiskan 2 juta rupiah cuman untuk 3 kaos, 1 celana panjang dan 1 celana pendek wakakkakaka. Padahal dia niatan juga mau beli tas dan sepatu buat ke sekolah seperti si lexi da...

Me #2 -DOPPELGANGER-

 Waktu saya masih sekolah sd dan toko bapak masih rame" nya, saya lebih sering belajar sendiri karena orang tua saya sibuk sama pembeli. Malam itu seperti biasa saya lagi ngerjain pr dari sekolah sendirian. Di toko ini ada rak untuk barang yang di taruh di tengah sekaligus jadi pembatas buat sedikit ruangan di belakang yang biasa dipake buat shalat sekaligus tempat tidur orang tuaku. Nah saya belajar di situ sambil menghadap lorong yang ada di belakang rumah. Ngerjain pr sambil tengkurap karena ga pake meja, cuma beralas bantal biar dada ga sakit. Lagi fokus" nya saya ngerjain pr (nunduk) sekilas saya lihat di depan saya bapak lewat di lorong dari arah warung nasi ke kamar saya di timur (posisi toko ada di tengah) pakai gamis putih yang biasa bapak pake kalo pergi shalat jum'at. Saya noleh sebentar "oh mungkin bapak mau shalat di sebelah" pikir saya. Gak lama sekitar 5 menit saya lihat lagi bayangan mama di lorong pergi ke kamar timur pake baju tidur warna ungu,...

Pengalaman Bertemu Hantu/Jin (Chapter Jogjakarta)

Selamat datang di Jogja, Kami (makhluk ghoib) bukan hanya gossip Sahabat-sahabat ane yg pernah ane sebutin di chapter Palembang, semua berdiskusi mengenai pilihan universitas sebagai pijakan lanjutan pendidikan yg lebih tinggi. rata-rata sahabat ane memilih melanjutkan ke Universitas yg ada di Sumsel pula. Sedang ane, sepakat dengan si babay untuk melanjutkan ke Jogjakarta di Universitas yg terkenal dengan jaket warna tanahnya itu. Untuk memuluskan persiapan kami supaya dapat lulus, si babay menyarankan untuk ambil lembaga kursus intensif untuk persiapan SPMB. Neu**n yg berada di nyutran menjadi pilihan kami berdua dan setelah melaporkan biaya ke emak ane. Alhamdulilah emak ane setuju dan ane pun terdaftar di kursus ini. Rupa2nya emak si babay daftarin dia bukan di kursus sini, malah di pesaingnya. ini pegimane cerite, yg nyaranin malah ke tempat laen wakakkakakkaa. dengan penuh rasa tidak enak dan kekecewaan dengan emaknya, si babay berulang kali meminta maaf ane gansis.  Ya sudah...

PEMBERANGKATAN TERAKHIR

“Aku yakin betul naik kereta malam itu, tapi orang-orang melihat aku jalan kaki di atas rel.” KERETA MALAM -PEMBERANGKATAN TERAKHIR- A THREAD Kisah ini terjadi pada 2006 silam, kala itu santer rumor beredar mengenai 'pemberangkatan terakhir ialah kereta gaib'. Sila tinggalkan jejak, RT, like atau tandai dulu judul utas di atas agar thread tidak hilang atau ketinggalan update. Maleman kita mulai.  Ini sepenggal kisah yang sampai sekarang membuatku parno naik kereta di jam malam. Peristiwa itu amat melekat diingatan bagaimana aku menempuh perjalanan tanpa sadar JKT-YK dalam waktu hampir 5 hari tapi rasanya waktu berhenti di satu malam pertama--  --Aku yakin betul kalau aku menaiki kereta malam itu, tapi orang-orang melihat aku berjalan kaki sepanjang rel yang entah muncul dari mana.  Senin malam, 2006. Aku hendak pulang ke Yogya karena mendapat kabar bapakku sakit. Kala itu aku masih kuliah di salah satu Universitas Negeri di pinggiran Ibu Kota.  Karena dapat kabar men...

”Aku bertarung melawan setan yang tertanam dalam susuk sendiri.”

 “Aku seorang penembang panggung dan aku memakai susuk. Keputusan mencabut susuk kukira hal yang mudah. Tapi sekarang, aku bertarung melawan setan yang tertanam dalam susuk sendiri.” Tengah malam, di satu rumah berbilik kayu, seorang wanita bernama Taya tersentak dari tidur lalu mengerang kesakitan. Urat-urat di wajahnya membiru menonjol keluar menegang. Napasnya tercekat, membuat suaranya berhenti di tenggorokan—  “Kak!! Kakak kenapa?!” Sani, adik Taya satu-satunya panik ketika mendapati kakaknya meringis kesakitan. Ada yang tak biasa dari wajah Taya—di sekujur pipi, dagu dan kening menonjol garis-garis keras serupa jarum-jarum halus.  Sani menyadari sesuatu, buru-buru dia membekap mulut sang kakak agar tak bersuara. “Ssssssttttt” isyarat Sani pelan sambil menangis tanpa suara  Taya mengatur napas, kedua tangannya menggenggam erat sprei dan matanya mendelik ke atas menahan sakit. “KRENGG!!” Suara lonceng terdengar mendekat.  “KREENGG!!” “KREEENGGG!” Lonceng ter...