Langsung ke konten utama

TULAH - BAGIAN 8

Kegelapan genap runtuh di Srigati. Malam merangkak perlahan, diiringi suara lolongan anjing yang menggema memenuhi udara. Hawa dinginnya menggerus nyali, kesunyiannya menegakkan bulu roma.


Lalu, di antara rapatnya pepohonan jati yang berdiri tegak bak raksasa malam, seberkas sinar redup memancar menjadi satu-satunya pelita di tengah kegelapan yang maha. Sinar yang berasal dari lima batang obor yang diletakkan berjejer di depan sebuah rumah kayu berbentuk limasan. Pintu tengahnya terbuka lebar, menandakan bahwa ada kehidupan di dalam sana.

Sarmin duduk bersila di ruang tengah, tepat di belakang punggung Pak Gunardi. Sedang di hadapan mereka, berjarak sekitar empat langkah kaki, seorang kakek tua dengan surjan dan blangkon ikat kesayangannya tampak juga ikut bersila. Menghadap beberapa sesajen berbungkus daun pisang yang diletakkan di atas tampah bambu. Dia adalah Mbah Gondo, dan rumah limasan yang letaknya di tengah huta jati ini adalah tempat tinggalnya.

"Awakmu wedi, le?" (Dirimu takut, nak?)

Suara kakek itu terdengar berat, tebal dan bergetar. Tapi setiap kata yang meluncur dari mulutnya seakan tak ubahnya mantra yang memiliki daya magis. Membuat siapapun yang mendengarnya kehilangan nyali. Tak terkecuali Sarmin, yang butuh beberapa detik untuk menjawab pertanyaan itu.

"Mboten, Mbah."

Mbah Gondo tersenyum kecil. Sepertinya dia tahu Sarmin berbohong. Dia berbohong bahwa dia tidak takut. Bahkan sekarang, dia menyesal kenapa harus namanya yang ditunjuk oleh Pak Gunardi untuk ikut menemani masuk ke dalam hutan menuju tempat ini.

Ini semua gara-gara kejadian tadi siang, ketika dia sengaja sowan seorang diri ke rumah Pak Gunardi. Semenjak peristiwa tiga hari kemarin, Sarmin sudah membulatkan tekad untuk mencari siapapun yang menguntit di balik kebun jagung itu. Dia akan mencarinya sampai ketemu dan membawanya ke hadapan Pak Gunardi sendiri untuk diberi hukuman.

Sarmin berharap dengan begitu, Pak Gunardi akan memandangnya sebagai seorang pemuda Srigati yang sedikit lebih berguna daripada sekadar tukang antar kesana kemari. Sarmin tahu dia bisa berbuat lebih. Dia bisa menyelidiki dan menyeret si tukang intip itu seorang diri.

Tapi yang mengejutkan, kepala dusun itu malah memberikan larangan tegas.

"Ora usah repot-repot, Sar. Opo maneh yen kudu pethakilan menyang Jatiasih. Aku wis ngerti sopo bocahe, Simbah sing ngandani. Mending, saiki kowe mulih. Mengko bengi bali mrene meneh. Melu aku menyang griyane Simbah. Yo, cah bagus?" (Tidak usah repot-repot, Sar. Apalagi kalau harus pergi ke Jatiasih. Aku sudah tahu siapa pelakunya, Simbah yang memberitahu. Mending sekarang kamu pulang, nanti malam balik sini lagi. Ikut aku ke rumahnya Simbah.)

Sarmin terhenyak dari duduknya. Dia tidak siap dengan tawaran itu. Pun, dari pengalamannya yang sudah-sudah, tawaran dari Pak Gunardi bukanlah sesuatu yang bisa ditolak. Memang benar sebelumnya dia sering mendapat perintah untuk menjemput Mbah Gondo, tapi itu hanya sebatas dia menunggu di pinggir jalan tanah setapak yang membelah kedalaman hutan. Terkadang Mbah Gondo sudah menunggu di sana, terkadang Sarmin menghabiskan sebatang rokok sambil duduk di atas jok motornya sebelum sang kakek tua itu tampak berjalan terbungkuk dengan tongkat kayu menuju ke arahnya.

Dia belum pernah sekalipun menginjakkan kaki menyusuri jalan setapak itu. Dan Sarmin juga tidak ingin. Menunggu dan melihat Mbah Gondo muncul dari lebatnya hutan saja kadang ia merinding, apalagi harus ke rumahnya malam-malam.

Tapi kamu ikut tahu kejadian di kandang kambing tiga hari lalu. Ucapan Pak Gunardi berikutnya itu membuat semuanya jelas. Sarmin, mau tak mau, berani tak berani, harus ikut karena dia sudah dianggap terlibat dalam urusan itu.

Dan di sinilah ia berada malam ini. Duduk bersila sambil memegangi senternya dengan tangan gemetaran. Dia memilih menundukkan pandangan, hanya supaya dia tak harus beradu mata dengan Mbah Gondo lagi.

"Gun, dawuhku wingi wis mbok lakoni?" (Gun, perintahku kemarin sudah kamu jalankan?)

Pertanyaan berikutnya meluncur, tapi untungnya tidak ditujukan kepada Sarmin.

"Sampun Mbah! Kenthus, Mardi kaliyan Geyong sampun kulo perintahi jogo kandang." (Sudah, Mbah! Kenthus, Mardi dan Geyong sudah saya suruh menjaga kandang.)

"Saiki, wenehno pesenanku..." (Sekarang, berikan pesananku...)

Kali ini, Sarmin tak bisa menahan diri untuk tidak melihat apa yang sedang terjadi, ketika telinganya mendengar sebuah suara yang tidak asing di telinga.

Meoooong. Entah darimana datangnya, tapi kini seekor kucing kecil berwarna hitam tampak melingkar manis di dalam genggaman tangan Pak Gunardi. Sarmin menelan ludah. Bagaimana dia bisa tidak tahu kalau Pak Gunardi membawa seekor kucing padahal sejak dari dusun sampai masuk hutan, Sarmin selalu berada di sampingnya??

Pak Gunardi kemudian menyerahkan kucing hitam itu ke arah Mbah Gondo, yang dengan segera menerimanya dengan satu tangan saja. Mata Sarmin kemudian menoleh ke arah tangan yang satunya. Dan di sanalah dia melihat, sebatang pisau runcing tergenggap erat seakan siap untuk diayunkan.

"Bengi iki aku bakal nyeyuwun menyang Gusti Agung Sri Bendugeni, kanggo ngirim pesen menyang bocah-bocah laknat kae. Gun, bakaren menyane!" (Malam ini, aku akan memohon kepada Gusti Agung Sri Bendugeni, untuk mengirim pesan kepada anak-anak laknat itu. Gun, bakar kemenyannya!)

Pak Gunardi maju. Dia turuti perintah Mbah Gondo dan dalam sekejap, bau kemenyan memenuhi ruangan. Nyaris bersamaan, Mbah Gondo mengangkat tinggi-tinggi kucing hitam yang mulai memberontak itu sedangkan tangan satunya mendekatkan ujung pisau tepat ke arah perut sang kucing.

Sarmin sudah tidak sanggup, dia berusaha bangkit tapi tangan Pak Gunardi buru-buru mencekalnya. "Jangan lari! Jangan sekarang! Simbah sedang mengirimkan pesan ke anak-anak kota itu!"

Malam kian mencekam. Pisau diayunkan dengan sangat cepat. Membelah perut kucing hitam menjadi dua bagian. Darah membanjiri sesajen di atas tampah bambu. Si kucing berteriak sekali, sebelum akhirnya meregang nyawa untuk selamanya.

Kemudian, pisau diletakkan. Jari-jari Mbah Gondo masuk, menarik keluar semua isi perut si kucing. Usus, hati, jantung. Semuanya terberai keluar, sebelum Mbah Gondo melakukan sesuatu yang tak akan pernah Sarmin lupakan seumur hidupnya. Dia memasukkan isi perut si kucing yang masih kemerahan itu ke dalam mulutnya.

NIYAT INGSUN AMATEK AJIKU AJI BENDUGENI. GELAP SONGO GELAP SEWU RUH LAN JASADKU. DEMIT ALAS DEMIT GUNUNG ONO NING MBURIKU. BENDARAKU SANG GUSTI AGUNG SRI RATU BENDUGENI. INGSUN NYUWUN...

Ada dua alasan kenapa Rafael mengurungkan niat untuk melayangkan bogem mentah ke wajah culun Gilang, ketika ia melihat ketua kelompok KKN-nya itu melangkah masuk ke dalam rumah tanpa terlihat merasa bersalah sama sekali;

Pertama, lengannya terlanjur ditahan oleh Iwan. Dan yang kedua adalah, dua orang asing yang sebelumnya tak pernah ia kenal tampak datang bersama Gilang dan Dea. Keduanya lelaki dan perempuan, kelihatan beberapa tahun lebih dewasa daripada mereka. Yang perempuan, berambut panjang dikuncir kuda dan berkacamata, tampak panik dan berkali-kali menengok ke arah dalam rumah. Sedang yang lelaki, rambutnya ikal panjang dan mukanya tampak lusuh, memandangi Rafael dan Iwan serta Simon yang berdiri tepat di belakangnya secara bergantian.

"Bro, ngopo jam semene kok isih ning njobo?" (Bro, kenapa jam segini kok masih di luar?)

Pertanyaan Gilang barusan kembali menyulut emosi Rafael. Si brengsek ini bertanya dengan begitu entengnya, tanpa tahu kekacauan apa yang barusan terjadi di rumah ini.

Sarah ditemukan pingsan di kebun pisang belakang, dekat dengan kamar mandi. Awalnya, tak ada satupun dari mereka yang menyadari bahwa cewek itu sudah hilang dari ruang tengah. Tempat terakhir mereka melihat Sarah sibuk berkutat dengan laporan perkembangan proker KKN mereka.

Rafael sibuk mengobrol kesana kemari dengan Iwan dan Simon di teras depan, sampai akhirnya suara Poppy yang berisik memanggil Sarah, menarik perhatian mereka. Awalnya Rafael tidak terlalu peduli. Toh, memang begitu tabiat Poppy dan Sarah setiap harinya. Berisik minta ampun. Tapi ketika Poppy memanggil nama Sarah sampai empat kali dan tak ada jawaban sama sekali, ia mulai merasa ada yang tidak beres.

Benar saja. Sarah tidak ditemukan dimanapun. Tidak di kamar ataupun di dapur.

"Mosok bocahe ning kamar mandi mburi omah dewean? Cah jirih koyo ngono?" (Masa anaknya ke kamar mandi belakang rumah sendirian? Anak penakut kayak gitu?)

Celetuk Poppy, ketika mereka menyadari bahwa satu-satunya tempat yang belum mereka periksa adalah kamar mandi yang letaknya di tengah kebun pisang. Tapi kenyataannya, tinggal tempat itulah kemungkinan terakhir Sarah berada. Mereka berempat lalu berjalan bersama-sama menerobos kegelapan, sambil berharap cemas bahwa keajaiban memang terjadi; Sarah tiba-tiba jadi seorang pemberani dan dia memang pergi ke kamar mandi sendirian.

Harapan itu, walaupun tipis kemungkinan, tapi sangat berarti. Karena kalau Sarah juga tidak ada di sana, masalahnya akan menjadi lebih besar. Mereka tidak tahu lagi harus mencari kemana.

Lalu, senter yang dipegang erat oleh Rafael menyorot sesosok tubuh perempuan yang tergeletak di tanah dan tampaknya ia tak sadarkan diri.

"Saraaah!!" Poppy yang berteriak lebih dulu, yang langsung ditarik mundur oleh Simon. Ini sudah larut malam dan tentunya tidak ada yang ingin menarik perhatian warga Jatiasih dengan sebuah kasus yang mereka pikir masih bisa ditangani sendiri.

Rafael mengambil inisiatif untuk maju. Membalik tubuh mungil Sarah dan menepuk pipinya tiga kali. Tapi tak ada respon.

"Iwan, Simon! Iki Sarah pingsan. Ayo digotong mlebu bareng-bareng. Tapi ojo do rame, ndak malah ngundang wong kampung mrene!" (Ini Sarah pingsan. Ayo digotong masuk bareng-bareng. Tapi enggak usah berisik, ntar malah ngundang orang kampung kesini semua)

Tak sulit membawa tubuh Sarah yang kerempeng itu dan menidurkannya di dalam kamar. Tapi yang jadi masalah adalah, bagaimana bisa dia pingsan di tempat itu? Pergi kesana sendirian di jam semalam ini saja sudah tak masuk akal...

Apalagi Simon sempat berbisik padanya, sesaat setelah mereka memastikan Sarah dijaga oleh Poppy di dalam kamar dan mereka beranjak keluar menuju ruang tengah.

"Kowe mau mambu koyo ambu wedhus ora El, pas ngangkat Sarah soko mburi omah?" (Kamu tadi nyium kayak bau kambing gak El, pas ngangkat Sarah dari belakang rumah?)

Rafael tidak memberi jawaban, walaupun sebenarnya dia juga mencium bau yang sama. Bau kambing yang cukup menusuk hidung. Bukan! Bukan dari badan Sarah. Tapi seakan bau kambing itu bercampur di udara. Tapi entah darimana datangnya, karena sepengetahuannya tidak ada kandang kambing di sekitar rumah markas kelompok KKN mereka.

Lalu tak lama setelah itu, Gilang datang bersama Dea dan dua orang asing yang kehadirannya justru membuat keadaan makin tidak nyaman. Rasanya seperti Rafael ingin meluapkan segala amarahnya kepada Gilang tapi terhalang oleh keberadaan mereka berdua.

"Dek, semuanya baik-baik aja kan?"

Rafael nyaris terlonjak kaget ketika dia baru menyadari bahwa si perempuan asing itu kini sudah berdiri tepat di depannya. Bicara dengan logat Jakarta yang kental, membuatnya kian merasa tidak nyaman. Dia mundur beberapa langkah, tapi tetap berada di posisi menahan mereka agar tidak masuk ke dalam.

Kamu siapa?

Pertanyaan itu sudah sampai kerongkongan, namun urung terucap ketika sebuah teriakan terdengar dari dalam rumah. Teriakan histeris yang penuh ketakutan. Semua yang ada di situ langsung memandang ke arah dalam, dimana di sana Poppy tampak tersungkur di ruang tengah dan pandangannya terus mengarah ke dalam kamar.

Rafael ingat, perempuan Jakarta itulah yang pertama kali berlari masuk disusul oleh yang lain. Rafael ada di posisi paling belakang, menyusul dan berniat ikut masuk ke dalam kamar. Tapi langkahnya terhenti tepat di depan pintu. Apa yang dilihatnya di dalam sana, seketika membuat kedua lututnya lemas tak berdaya.

Dia tak pernah merasa seketakutan ini. Seumur hidupnya, dia tak pernah seketakutan ini.

Di dalam kamar, Sarah berdiri. Kedua kakinya melayang beberapa senti dari ranjang.Melawan gravitasi! Kedua jari telunjuknya menunjuk tajam ke dua orang di antara mereka, dengan sebuah senyum lebar yang begitu menakutkan. Lalu bau kambing itu...bau kambing yang tadi sempat Rafael cium di kebun pisang, kembali hadir menusuk dinding-dinding hidungnya. Bahkan kali ini baunya lebih kuat! Sangat menyengat!

Dengan nafas tersengal karena rasa takut, Rafael mencoba mengikuti kemana arah kedua telunjuk Sarah itu tertuju.

Dea dan Gilang! Sarah menunjuk tepat ke arah dada Dea dan Gilang.

"Cah bagus karo cah ayu wis mulih, to? HAHAHAHAHA!!" (Anak ganteng dan anak cantik sudah pulang, ya? HAHAHAHAHA!!)

Itu bukan suara Sarah! Bahkan Rafael merasa itu bukan suara dari dunia ini! Itu seperti suara dari neraka!!

"OJO PISAN-PISAN MANEH WANI GOLEK PERKORO KARO AKU, BOCAH ASU!!!" (Jangan sekali-kali lagi berani cari perkara denganku, anak anjing!!!)

Sebuah teriakan panjang, lalu Sarah terhempas dengan kencang ke atas ranjang. Diam, sunyi...kemudian dia nampak menangis. Lirih, menyayat hati...

"Tulung, cah...Tulungono aku..." (Tolong, tolong aku...)

Postingan populer dari blog ini

Misteri Suara Tanpa Wujud

Malam itu pekat tak berbintang, hujan sejak sore sudah mulai sedikit reda, menyisakan gerimis halus ... membawa kesejukan. Namun, membuat sekujur tubuh merinding juga. Bagaimana tidak, aku hanya sendirian di rumah kala itu. Ayah dan ibu sedang ke luar kota menjenguk kakak yang habis lahiran. Kebetulan aku tak ikut, karena sering mabuk darat juga karena perjalanan ke rumah saudariku itu terbilang cukup memakan waktu lama. Bisa pegal pinggangku kelamaan duduk dalam mobil. Malam itu, lepas makan semangkuk indomie kaldu dicampur cabe lima biji plus perasan jeruk nipis sebelah, cukup membuat badan sedikit hangat. Makanan penggugah selera itu selalu menjadi makanan pengusir dingin kala malam tiba dengan segudang hawa dingin yang mencekam. Musim hujan selalu membawa berkah bagi Mpok Iin, penjual indomie langgananku di sudut jalan depan. Stok jualannya selalu laris olehku, pecinta mie kaldu. Setelah habis melahap semangkuk makanan andalan, segera bergegas ke ruang belakang rumah. Dapur maksudn...

Privacy Policy

  Narastudio built the app as a Free app. This SERVICE is provided by Narastudio at no cost and is intended for use as is. This page is used to inform visitors regarding our policies with the collection, use, and disclosure of Personal Information if anyone decided to use our Service. If you choose to use our Service, then you agree to the collection and use of information in relation to this policy. The Personal Information that we collect is used for providing and improving the Service. We will not use or share your information with anyone except as described in this Privacy Policy. Information Collection and Use For a better experience, while using our Service, I may require you to provide us with certain personally identifiable information. The information that I request will be retained on your device and is not collected by me in any way. The app does use third party services that may collect information used to identify you. Link to privacy policy of third party service prov...

Lexi Terkencing-kencing

Beberapa hari setelah mendengar melisa yang sudah tiada, kami pun mencoba mengikhlaskan dan cuman mengingat melisa sebagai bagian kenangan yang indah waktu sekolah. Tampaknya bekas trauma dan sedih tentang melisa ini membuat kami benar2 enggan buat membahas dan mengingat2 kejadian maupun kenangan bersama melisa. Bahkan beberapa cew famous yg pernah membully si melisa merasa bersalah dan menemui ane buat menyampaikan permohonan maaf ke melisa (dipikirnya ane dukun apa bisa ngirim salam ke arwah). Ane bahkan sempet candain mereka uda ane sampaikan nanti melisa langsung datang sendiri ngobrol langsung dengan mereka, yang diikuti rasa horor dan kepanikan dari wajah2 cew famous ini wakakakakka. "eh besok sabtu, kita bikin tenda sendiri aja", ajak lexi "emang lu ada tenda?", tanya ane "ada keknya, tapi lupa aku taruh dimana nanti aku cek dlu", jelas lexi. "gua ada, tenang aja nj*ng, tapi tenda ku ne gede banget", ujar mister "ah bagus kalau gede, ...

Teman Kelas Ane Meninggal Misterius (PART 4)

 Teman Kelas Ane Meninggal Misterius (PART 4) Sekitar jam 8an malam ane akhrinya sampai di rumah. Emak ane ternyata lagi nonton tivi barenga adik2 ane. Sembari melepas baju di dalam kamar ane, telpon rumah pun berdering. Kebetulan karena memang di renovasi rumah ane, dari ruang tamu jadi kamar ane, ne telpon diinapkan di kamar ane. Mungkin disengaja apa kagak, tapi memang ne telpon rata2 berbunyi nyariin ane. Setelah berganti pakaian seragam rumah ane, celana pendek dan singletan, ane pun mengangkat ne telpon. Ternyata si melissa yang nelpon. Dia menanyakan dari tadi sore nelpon ane masih belum balik darimana. Ane pun menjelaskan habis ngajak shopping si billy yang pengen berubah dari bujang band malaysia jadi bujang band punk rock skaters. Kami pun terbahak-bahak dan ane menceritakan ekspresi si Billy yg menghabiskan 2 juta rupiah cuman untuk 3 kaos, 1 celana panjang dan 1 celana pendek wakakkakaka. Padahal dia niatan juga mau beli tas dan sepatu buat ke sekolah seperti si lexi da...

Me #2 -DOPPELGANGER-

 Waktu saya masih sekolah sd dan toko bapak masih rame" nya, saya lebih sering belajar sendiri karena orang tua saya sibuk sama pembeli. Malam itu seperti biasa saya lagi ngerjain pr dari sekolah sendirian. Di toko ini ada rak untuk barang yang di taruh di tengah sekaligus jadi pembatas buat sedikit ruangan di belakang yang biasa dipake buat shalat sekaligus tempat tidur orang tuaku. Nah saya belajar di situ sambil menghadap lorong yang ada di belakang rumah. Ngerjain pr sambil tengkurap karena ga pake meja, cuma beralas bantal biar dada ga sakit. Lagi fokus" nya saya ngerjain pr (nunduk) sekilas saya lihat di depan saya bapak lewat di lorong dari arah warung nasi ke kamar saya di timur (posisi toko ada di tengah) pakai gamis putih yang biasa bapak pake kalo pergi shalat jum'at. Saya noleh sebentar "oh mungkin bapak mau shalat di sebelah" pikir saya. Gak lama sekitar 5 menit saya lihat lagi bayangan mama di lorong pergi ke kamar timur pake baju tidur warna ungu,...

Pengalaman Bertemu Hantu/Jin (Chapter Jogjakarta)

Selamat datang di Jogja, Kami (makhluk ghoib) bukan hanya gossip Sahabat-sahabat ane yg pernah ane sebutin di chapter Palembang, semua berdiskusi mengenai pilihan universitas sebagai pijakan lanjutan pendidikan yg lebih tinggi. rata-rata sahabat ane memilih melanjutkan ke Universitas yg ada di Sumsel pula. Sedang ane, sepakat dengan si babay untuk melanjutkan ke Jogjakarta di Universitas yg terkenal dengan jaket warna tanahnya itu. Untuk memuluskan persiapan kami supaya dapat lulus, si babay menyarankan untuk ambil lembaga kursus intensif untuk persiapan SPMB. Neu**n yg berada di nyutran menjadi pilihan kami berdua dan setelah melaporkan biaya ke emak ane. Alhamdulilah emak ane setuju dan ane pun terdaftar di kursus ini. Rupa2nya emak si babay daftarin dia bukan di kursus sini, malah di pesaingnya. ini pegimane cerite, yg nyaranin malah ke tempat laen wakakkakakkaa. dengan penuh rasa tidak enak dan kekecewaan dengan emaknya, si babay berulang kali meminta maaf ane gansis.  Ya sudah...

PEMBERANGKATAN TERAKHIR

“Aku yakin betul naik kereta malam itu, tapi orang-orang melihat aku jalan kaki di atas rel.” KERETA MALAM -PEMBERANGKATAN TERAKHIR- A THREAD Kisah ini terjadi pada 2006 silam, kala itu santer rumor beredar mengenai 'pemberangkatan terakhir ialah kereta gaib'. Sila tinggalkan jejak, RT, like atau tandai dulu judul utas di atas agar thread tidak hilang atau ketinggalan update. Maleman kita mulai.  Ini sepenggal kisah yang sampai sekarang membuatku parno naik kereta di jam malam. Peristiwa itu amat melekat diingatan bagaimana aku menempuh perjalanan tanpa sadar JKT-YK dalam waktu hampir 5 hari tapi rasanya waktu berhenti di satu malam pertama--  --Aku yakin betul kalau aku menaiki kereta malam itu, tapi orang-orang melihat aku berjalan kaki sepanjang rel yang entah muncul dari mana.  Senin malam, 2006. Aku hendak pulang ke Yogya karena mendapat kabar bapakku sakit. Kala itu aku masih kuliah di salah satu Universitas Negeri di pinggiran Ibu Kota.  Karena dapat kabar men...

”Aku bertarung melawan setan yang tertanam dalam susuk sendiri.”

 “Aku seorang penembang panggung dan aku memakai susuk. Keputusan mencabut susuk kukira hal yang mudah. Tapi sekarang, aku bertarung melawan setan yang tertanam dalam susuk sendiri.” Tengah malam, di satu rumah berbilik kayu, seorang wanita bernama Taya tersentak dari tidur lalu mengerang kesakitan. Urat-urat di wajahnya membiru menonjol keluar menegang. Napasnya tercekat, membuat suaranya berhenti di tenggorokan—  “Kak!! Kakak kenapa?!” Sani, adik Taya satu-satunya panik ketika mendapati kakaknya meringis kesakitan. Ada yang tak biasa dari wajah Taya—di sekujur pipi, dagu dan kening menonjol garis-garis keras serupa jarum-jarum halus.  Sani menyadari sesuatu, buru-buru dia membekap mulut sang kakak agar tak bersuara. “Ssssssttttt” isyarat Sani pelan sambil menangis tanpa suara  Taya mengatur napas, kedua tangannya menggenggam erat sprei dan matanya mendelik ke atas menahan sakit. “KRENGG!!” Suara lonceng terdengar mendekat.  “KREENGG!!” “KREEENGGG!” Lonceng ter...