Langsung ke konten utama

TULAH - BAGIAN 9

Matahari perlahan terbit di kaki langit timur Jatiasih. Sinarnya jatuh ke setiap sudut, menyelinap di antara pohon-pohon yang menjulang, menghantarkan kehangatan yang merasuk hingga ke sanubari yang paling dalam.


Di jalanan desa, tampak beberapa warga mulai berlalu lalang. Bersiap menjalankan aktifitas seperti biasa. Beberapa ibu-ibu paruh baya berjalan saling beriringan sambil menggendong tenggok bambu di punggung masing-masing, sepertinya mereka akan mengumpulkan rumput di kebun atau hutan untuk santapan sapi atau kambing. Langkahnya serempak menyusuri rumput berembun, sambil saling khusyuk berbincang satu sama lain.

Awalnya tak jelas apa yang menjadi bahan obrolan mereka. Namun dari mimik wajah yang terlihat, sepertinya para ibu itu tampak sedikit cemas atau ketakutan. Nada bicaranya nyaris berbisik, sesekali menggelengkan kepala dan mendecakkan lidah seakan tak percaya. Tapi semakin jarak mereka dekat, tak ayal semakin jelas pula suara mereka. Semakin terang pula apa yang sedang sembunyi-sembunyi dibicarakan.

"Jare bojoku, mau bengi enek bocah KKN sing kesurupan!"
(Kata suamiku, semalem ada anak KKN yang kesurupan!)

"Tenante lho, Yu? Soko ngendi bojomu krungu?"
(Beneran lho, Mbak? Dari mana suamimu denger?)

"Iyo, Yu Sarni ki! Ojo-ojo bojomu mung goroh..."
(Iya, Mbak Sarni ini! Jangan-jangan suamimu cuma ngibul...)

"Lho, mau bengi pora podho krungu suoro bengok-bengok soko omahe Yusup to? Sak bubare ditinggal merantau kan omah kui kosong, terus menyang Pak Polo dinggo tinggal bocah-bocah KKN kui!"
(Lho, semalem apa kalian enggak denger suara teriak-teriak dari rumahnya Yusup? Setelah ditinggal merantau rumah itu kan kosong, terus sama Pak Kepala Desa dipakai buat tinggal anak-anak KKN itu!)

"Aku yo krungu, Yu! Mau bengi sekitar jam sewelas..."
(Aku denger, Mbak! Tadi malem sekitar jam sebelas...)

"Lho to! Bojoku ora goroh, enak wae! Mau bengi Pak Kusno moro menyang ngomah, pas banget bar suoro mbengok kui. Priyayine nggoleki bojoku, njaluk tulung kon ngancani merikso menyang omahe Yusup..."
(Tuh, kan! Suamiku enggak ngibul, enak aja! Semalem Pak Kusno datang ke rumah, pas banget setelah suara teriak itu. Orangnya nyari suamiku, minta tolong buat nemenin periksa ke rumahnya Yusup...)

"Trus, trus piye Yu?!"
(Trus, trus gimana Mbak?!)

"Bojoku mulih jam siji bengi, tekan ngomah njaluk ngombe. Sak kendhi entek diombe dewe. Raine pucet, tak takoni mung meneng wae. Tak pekso, yen ora gelem cerito ora bakal tak jatah nganti seminggu. Yo wis, sidane wonge bloko. Enek cah KKN siji, wedok sing jenenge Sarah opo sopo ngono...kesurupan! Terus to, cah-cah KKN kui nyobo ngapusi Pak Kusno. Jare kenek penyakit opo ngono aku ra ngerti jenenge. Rumangsane awakedewe ki wong ndeso trus iso diapusi opo piye?"
(Suamiku pulang jam satu malam, sampai rumah minta minum. Satu botol habis diminum sendiri. Mukanya pucat, aku tanya dia diam saja. Terus aku ancam, kalau gak mau cerita enggak aku kasih jatah satu minggu. Yaudah, akhirnya dia jujur. Ada anak KKN satu, perempuan yang namanya Sarah atau siapa gitu...kesurupan! Terus kan, anak-anak KKN itu coba bohongin Pak Kusno. Katanya kena penyakit apa gitu aku enggak tahu namanya. Mereka kira kita ini orang kampung terus bisa dibohongin gitu?)

"Tenane, Yu?!"
(Beneran, Mbak?!)

"Lho, takono bojoku dewe yen ora ngandel!! Eh, tapi ojo ding. Mau bengi wis wanti-wanti, pokokke penging cerito menyang sopo-sopo..."
(Lho, tanya suamiku sendiri kalau enggak percaya!! Eh tapi jangan sih. Tadi malem sudah diperingatkan, pokoknya aku enggak boleh cerita ke siapa-siapa...)

"Lho?! Lha iki kok sampeyan malah cerito nyang awakedewe, Yu?!"
(Lho?! Ini kok kamu malah cerita ke kita-kita, Mbak?!)

"Hehehehe, keceplosan..."

Mereka semua duduk melingkar di ruang tengah, kecuali Poppy dan Dea yang sedang menjaga Sarah di dalam kamar.

Gilang yang terus menundukkan kepala seperti seorang terdakwa; Rafael yang tatapan intimidatifnya masih saja terarah kepada Gilang; Iwan dan Simon yang masih berusaha mencerna rentetan peristiwa semalam yang mereka rasa terlalu cepat dan membingungkan; serta Adil dan Melia yang duduk agak mundur ke tepian tikar, seakan sadar bahwa keberadaan mereka masih belum bisa diterima sepenuhnya oleh anak-anak ini.

Sarah pingsan di kebun pisang, Gilang dan Dea datang membawa sepasang orang asing, kemudian Sarah tiba-tiba menjerit sekerasnya dan -entah bagaimana- kakinya melayang beberapa senti dari atas ranjang, terus berteriak dan memaki dalam suara yang mereka semua tahu...bukan suara Sarah yang mereka kenal.

Tapi semalam, masalah tak selesai sampai di situ; Pak Kusno dan empat warga lainnya tiba-tiba datang menyambangi markas mereka, berkata bahwa terdengar suara teriakan yang diyakini berasal dari rumah ini. Untung kepala desa itu bisa ditenangkan, dikelabuhi bahwa Sarah punya phobia terhadap kecoa dan itulah yang membuatnya berteriak seperti kesetanan kemudian pingsan.

Pak Kusno kemudian masuk, menengok Sarah yang masih tak sadarkan diri di dalam kamar, kemudian menganggukkan kepala kepada empat warga lainnya. Memberi kode bahwa semuanya baik-baik saja.

"Oalah, penyakit orang kota itu aneh-aneh saja. Pokoknya adik-adik jaga diri baik-baik. Saya pamit dulu, nggih?" Pesannya singkat sebelum berlalu meninggalkan rumah markas KKN.

Setelah itu, inilah yang terjadi. Mereka duduk di ruang tengah. Sama-sama diam, sama-sama pusing, sama-sama tak bisa tidur. Terlalu banyak pertanyaan yang berputar di kepala, tapi di sisi lain takut salah jika mencoba bertanya.

Namun dalam kebekuan itu...

...ada beberapa yang mulai memikirkan agenda pribadi mereka masing-masing.

Melia membenci kenyataan bahwa hanya dengan bertatapan mata dengan Adil saja, dia sudah paham apa yang ingin cowok keras kepala ini maksudkan. Mungkin benar kata orang, memutus ikatan perasaan tak semudah memutus sebuah sebuah status hubungan.

Melia sempat berpikir untuk move on setelah dia putus dari Adil tiga bulan lalu. Tapi bagaimana bisa, jika dirinya saja masih sangat hafal gestur tubuh dan arti tatapan mata pria ini seperti sekarang??

Fokus, Mel. Kita jauh-jauh datang kesini karena kita punya tujuan. Kurang lebih itulah yang coba Adil ucapkan padanya. Tujuan. Ya, tujuan! Dia rela naik motor sejauh ini, dibonceng oleh Adil dan terjebak dalam situasi canggung selama berjam-jam, karena dia punya satu misi yang harus dilakukan.

Otak Melia kemudian mulai bekerja. Informasi tentang perempuan yang dipasung itu sudah cukup mereka dapatkan dari cerita Gilang kemarin sore. Lokasinyapun sudah cukup jelas dan detail. Hanya saja masalahnya sekarang adalah situasi di sekitaran kandang kambing, tempat dimana Gilang dan Dea melihat perempuan itu dipasung.

Mengingat keributan yang ditimbulkan dua anak itu kemarin, pasti kandang kambing itu kini dijaga ketat oleh warga Srigati. Mereka jelas tak mau kecolongan lagi untuk kedua kalinya. Melia sangat yakin akan hal itu, seyakin ia mempercayai bahwa kejadian ajaib dan di luar nalar yang menimpa Sarah semalam ada hubungannya dengan apa yang telah dilakukan Gilang dan Dea.

Lalu, bagaimana caranya datang kesana dan mengevakuasi si perempuan malang itu tanpa menimbulkan keributan lain? Dan kenapa juga, seakan warga di sana begitu menjaga perempuan itu dengan sangat ketat dan begitu tak terima jika ada orang lain yang tahu tentang keberadaan perempuan itu?

Tapi belum juga Melia mendapatkan jawaban, tangannya lebih dulu ditarik oleh Adil dengan tiba-tiba. Dia dibawa mantan pacarnya itu keluar hingga ke halaman depan.

"Mel, kita jangan buang-buang waktu..." Bisik Adil sambil melirik ke arah rumah. Khawatir kalau ada yang mencoba menguping.

"Heh, lo kira gue juga mau lama-lama di sini?! Tapi pikir deh, gimana caranya kita kesana tanpa ketahuan?! Evakuasi tuh enggak sebentar Dil, dan gue yakin setelah peristiwa kemarin tempat itu pasti dijaga sama warga sana. Bahkan mungkin lebih dari dua orang!"

Melia berharap Adil akan tutup mulut dan ikut bingung setelah mendengarkan paparannya. Tapi sebaliknya, dia malah menyunggingkan senyum dan mendekatkan bibirnya ke telinga Melia.

"Aku ada ide! dengerin..."

Gilang hanya sekilas melirik, ketika Mas Adil menarik tangan Mbak Melia keluar rumah. Dia tak mau berlama-lama mengangkat kepalanya yang sedari tadi menunduk, takut kalau dia harus berpapasan pandang dengan Rafael yang sepertinya tinggal menunggu kesempatan untuk memaki atau bahkan memberinya satu bogem mentah.

Jadi untuk menghindari hal itu, Gilang memandang tikar tempatnya duduk. Kembali menenggelamkan diri dalam pikirannya sendiri.

Gila, ini gila!Hanya itu yang ada di kepala Gilang. Tak dia sangka bahwa akibatnya akan jadi sejauh ini! Andai dia tahu orang-orang Srigati bakal main ilmu hitam seperti ini, tentu Gilang tidak akan berkeras untuk masuk ke sana. Malam ini Sarah yang dikirimi pesan untuk disampaikan kepadanya dan Dea, lalu besok apalagi? Lalu besok siapa lagi? Rafael, Simon, Iwan, Dea, Poppy atau malah dirinya sendiri??

Sudah cukup! Di detik ini juga, Gilang memutuskan untuk berhenti bertindak lebih jauh. Dia tak mau lagi menuruti obsesinya akan Srigati dan rahasia-rahasia yang tersimpan di tempat terlaknat itu.

Kini yang harus dipikirkan adalah bagaimana caranya menghindari masalah yang lebih besar. Dan Gilang tak menemukan pilihan lain kecuali segera pergi dari tempat ini. Semuanya sudah menjadi kacau, bahkan terlampau kacau untuk bisa diperbaiki. Dan yang jauh lebih penting dari itu semua adalah sebuah kesadaran bahwa bisa saja nyawanya terancam jika dia tak segera mengambil langkah seribu. Gilang tak mau kena tulah dan mati di tempat terpencil ini.

Rencana kemudian tersusun dengan teramat cepat di kepala.

Dia tak perlu membawa semua barangnya. Itu terlalu mencurigakan. Cukup satu tas kecil, dan tentu saja jurnal tentang Srigati yang ia simpan di dalam kamar. Gilang bisa beralasan untuk mencari sinyal ke Semani. Dari kecamatan itu, ada bus kecil yang akan membawanya ke terminal kota. Dan di sana dia bisa langsung pulang ke rumah. Setelah itu, Gilang berencana untuk memesan tiket pesawat. Pergi menyusul ibunya ke Bali untuk beberapa saat.

Ya! Hanya itu rencana terbaik yang dia punya! Toh, sepengetahuannya, santet atau teluh tak akan bisa menyeberang lautan. Dia akan aman di sana, nyawanya akan terselamatkan.

Harapan itu kemudian muncul dan mulai terkembang di hati Gilang. Dia benarkan kacamata dan bangkit dari duduknya. Melangkah tenang menuju kamar, sambil berharap tak ada satupun dari kawan-kawannya yang mencurigai.

Tapi pada kenyatannya, ada hal lain yang membuat rencana Gilang berantakan. Karena sesampainya di dalam kamar, ia menemukan tasnya sudah terbuka lebar. Hatinya tiba-tiba berdegup kencang sekali. Segera ia raih tas itu dan mencari sesuatu di dalamnya.

JURNAL ITU...JURNAL TENTANG SRIGATI ITU...TAK ADA DI TEMPATNYA!!

"Aku wegah mulih, Pop. Aku rapopo kok! Tenan..." (Aku enggak mau pulang, Pop. Aku enggak apa-apa kok! Beneran...)

Dea ingin membantah ucapan lemah Sarah barusan. Tapi dia memilih diam. Selain karena bukan dia yang diajak bicara, Dea sadar bahwa dua cewek ini sama sekali tak menyukainya.

Bahkan sejak awal dia diperkenalkan oleh Gilang sebagai penggenap kelompok KKN, Sarah dan Poppy sudah menunjukkan sikap yang tak bersahabat. Mereka bicara seperlunya, menyapa seperlunya dan bahkan rasanya mereka tak pernah membicarakan hal lain kepada Dea kecuali tentang perkara proker KKN. Tak jarang pula, Dea merasa Poppy dan Sarah sengaja memamerkan keakraban tanpa berniat mengajaknya untuk turut berbagi canda dan cerita.

Kamu adalah rekan KKN kami, tapi bukan sahabat kami. Kamu adalah orang asing, yang setelah KKN ini selesai, kami tak punya lagi kewajiban untuk menyapa atau berbicara denganmu.

Kurang lebih seperti itulah yang Dea tangkap dari sikap keduanya.

Tiga hari pertama, semuanya terasa berat bagi Dea. Dia merasa dikucilkan, dirundung dan diasingkan. Maka dari itu, dia jadi lebih dekat dengan Gilang karena hanya pria itulah yang dia kenal dengan baik. Bahkan walaupun Gilang berubah menjadi begitu menyebalkan dan sekarang menjerumuskannya dalam masalah besar, Dea tak pernah bisa benar-benar lepas darinya.

Tapi kini, dia sudah tak peduli lagi dengan Poppy dan Sarah. Dia tak peduli lagi dengan Gilang. Bahkan, dia tak peduli lagi dengan kelompok KKN ini. Toh sejak peristiwa semalam, program KKN mereka tidak akan pernah selesai. Dea sadar Kelompok ini akan karam. Dua bulan masa pengabdian tak akan bisa mereka selesaikan.

Karena walaupun Sarah menolak, dia akan tetap pulang hari ini juga. Dia hanya tidak tahu, bahwa semuanya sudah sepakat untuk mengabari keluarganya. Selepas Subuh tadi, Simon diberi mandat untuk pergi ke Kecamatan Semani (tempat terdekat untuk mendapatkan sinyal telepon) dan menghubungi ayah Sarah yang langsung berinisiatif untuk membawa anaknya pulang.

Kelompok ini sudah jelas akan selesai. Beritanya akan segera menyebar. Cepat atau lambat, Kampus akan mendengar peristiwa ini dan mereka semua akan ditarik dari Jatiasih. Tapi Dea tak mau pulang dengan tangan hampa. Dia tak mau pergi dari tempat ini tanpa menemukan jawaban atas semua pertanyaannya. Dan langkah pertama dari sebuah rencana besar miliknya sudah berhasil dijalankan...

Dea melirik ke arah ranjang yang ditiduri Sarah. Di bawah kasur itu, dia sembunyikan jurnal milik Gilang yang sempat ia curi dari dalam tas si brengsek itu. Dia memanfaatkan situasi ketika semalam semua orang fokus untuk menenangkan dan meyakinkan Pak Kusno, bahwa semuanya baik-baik saja.

Dea menyelinap masuk ke kamar para cowok, dan membongkar tas milik Gilang. Di dalam tas itu bertumpuk beberapa buku dan kertas, tapi tak sulit bagi Dea untuk mendapatkan apa yang dia cari. Sebuah dokumen lawas yang kertasnya mulai menguning, tak terlalu tebal mungkin hanya sebelas halaman, tapi di sampul depan jelas tertulis:

ANALISIS LAHAN PERTANIAN DI DUSUN SRIGATI: ANTARA ANOMALI TANAH DAN KEPERCAYAAN MASYARAKAT LOKAL
DITULIS OLEH WAHYU DEWANGGARA
1986

Kusno tidak bisa dibodohi.

Di detik dia menengok kondisi Sarah di dalam kamar, dia langsung tahu bahwa anak-anak KKN ini sudah berbuat sesuatu yang melanggar batas. Bahkan ketika salah seorang dari mereka yang bernama Rafael itu bilang bahwa Sarah memiliki phobia terhadap kecoa, Kusno hanya tersenyum dan mengiyakan, kemudian pergi dari rumah itu.

Kusno memilih berpura-pura bodoh seperti yang dikira anak-anak kota itu tentang orang desa pada umumnya. Tapi yang tak pernah diceritakan Kusno kepada mereka adalah, dia seorang diploma. Dia paham apa itu phobia, dan dia paham bahwa Sarah tidak mungkin menjerit-jerit kemudian pingsan seperti itu karena melihat kecoa melintas di kakinya.

"Bocah kui kesurupan. Sesuk awan aku ameh sowan menyang daleme Kyai Masrun. Tapi tak peseni kowe kabeh, ojo cerito marang sopo-sopo disik. Termasuk bojo karo anakmu. Paham?" (Anak itu kesurupan. Besok siang aku mau datang ke rumahnya Kyai Masrun. Tapi aku pesan ke kalian semua, jangan cerita ke siapa-siapa dulu. Termasuk istri dan anakmu. Paham?)

Pesan tegas Kusno kepada empat orang warga yang dia ajak menemaninya ke markas anak-anak KKN itu semalam. Keempatnya mengangguk patuh, kemudian pulang ke rumah masing-masing.

Tapi Kusno sendiri tak bisa memejamkan mata sampai pagi tiba. Dalam hatinya, dia berharap apa yang telah dilakukan oleh anak-anak itu tidak sefatal yang ia duga. Ia tak sabar menunggu siang hari tiba, dan selepas adzan Dhuhur berkumandang, segera ia keluarkan motornya dan berlalu menuju rumah Kyai Masrun. Tak ia pedulikan ocehan sang istri yang sedari pagi terus mendesaknya untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi kepada anak-anak KKN itu.

Kyai Masrun sendiri bukanlah orang Jatiasih. Pemuka agama sepuh yang sudah dianggap Kusno sebagai guru spiritualnya itu tinggal di desa lain yang jaraknya sekitar lima kilometer.

"Kulo mboten pengin damel warga kulo resah, Kyai. Mulane niku kulo sowan mriki dewean mawon." (Saya tidak ingin membuat warga saya resah, Kyai. Makanya saya datang kesini sendirian.)

Kusno langsung membuka pembicaraan dengan nada resah yang tak bisa ia tutupi, sesampainya ia di kediaman Kyai Masrun. Tapi Sang Kyai yang terkenal dengan ilmu makrifatnya itu hanya tersenyum lembut. Seakan beliau sudah tahu apa masalah yang dibawa Kusno bahkan sebelum ia menceritakannya.

"Awakmu ora usah khawatir, Kus. Insyaallah kowe lan kabeh wargamu bakal aman dalam lindungan Gusti Allah, selama kowe isih menegakkan Sholat dan memakmurkan Masjid." (Dirimu tidak usah khawatir, Kus. Insyaallah kamu dan semua wargamu bakal aman dalam lindungan Allah, selama kamu masih menegakkan Sholat dan memakmurkan Masjid.)

Tapi jawaban itu belum memuaskan Kusno.

"Ngapunten Pak Kyai. Masalah nopo ingkang didamel kalih anak-anak KKN meniko?" (Tapi maaf Pak Kyai. Masalah apa yang dibuat oleh anak-anak KKN itu?)

Senyum di bibir Kyai Masrun hilang seketika. Matanya berubah tajam, memandang ke arah luar.

"Kate mbiyen kowe wis tak omongi. Adoh-adoh soko Gondo karo pengikute. Wong-wong Srigati kae wis keblinger. Enek bocah siji soko anak-anak KKN kui sing gawe masalah ning kandang setan. Dewe'e ngelanggar bates." (Sejak dulu kam sudah saya pesan. Jauh-jauh dari Gondo dan pengikutnya. Orang-orang Srigati itu sudah keblinger. Ada satu anak dari kelompok KKN itu yang buat masalah di kandang setan. Dirinya melanggar batas.)

Selesai sudah! Kemungkinan terburuk yang tak pernah Kusno harapkan ternyata benar-benar terjadi. Selama ini dia selalu menjaga jarak dengan semua hal yang berhubungan dengan Srigati. Tapi sekarang, anak-anak muda dari kota yang dia harapkan bisa ikut membangun desanya yang tercinta, malah menjadi pelanggar batas yang selama ini dia rawat dengan sekuat tenaga.

Kusno kecewa. Dia sangat kecewa.

"Awakmu ora usah melu-melu, Kus. Tapi yen kowe enek niat bantu mereka, carane mung siji. Usir mereka soko Jatiasih." (Dirimu tidak usah ikut-ikut, Kus. Tapi kalau kamu ada niat membantu mereka, caranya cuma satu; usir mereka dari Jatiasih.)

Postingan populer dari blog ini

Misteri Suara Tanpa Wujud

Malam itu pekat tak berbintang, hujan sejak sore sudah mulai sedikit reda, menyisakan gerimis halus ... membawa kesejukan. Namun, membuat sekujur tubuh merinding juga. Bagaimana tidak, aku hanya sendirian di rumah kala itu. Ayah dan ibu sedang ke luar kota menjenguk kakak yang habis lahiran. Kebetulan aku tak ikut, karena sering mabuk darat juga karena perjalanan ke rumah saudariku itu terbilang cukup memakan waktu lama. Bisa pegal pinggangku kelamaan duduk dalam mobil. Malam itu, lepas makan semangkuk indomie kaldu dicampur cabe lima biji plus perasan jeruk nipis sebelah, cukup membuat badan sedikit hangat. Makanan penggugah selera itu selalu menjadi makanan pengusir dingin kala malam tiba dengan segudang hawa dingin yang mencekam. Musim hujan selalu membawa berkah bagi Mpok Iin, penjual indomie langgananku di sudut jalan depan. Stok jualannya selalu laris olehku, pecinta mie kaldu. Setelah habis melahap semangkuk makanan andalan, segera bergegas ke ruang belakang rumah. Dapur maksudn...

Privacy Policy

  Narastudio built the app as a Free app. This SERVICE is provided by Narastudio at no cost and is intended for use as is. This page is used to inform visitors regarding our policies with the collection, use, and disclosure of Personal Information if anyone decided to use our Service. If you choose to use our Service, then you agree to the collection and use of information in relation to this policy. The Personal Information that we collect is used for providing and improving the Service. We will not use or share your information with anyone except as described in this Privacy Policy. Information Collection and Use For a better experience, while using our Service, I may require you to provide us with certain personally identifiable information. The information that I request will be retained on your device and is not collected by me in any way. The app does use third party services that may collect information used to identify you. Link to privacy policy of third party service prov...

Lexi Terkencing-kencing

Beberapa hari setelah mendengar melisa yang sudah tiada, kami pun mencoba mengikhlaskan dan cuman mengingat melisa sebagai bagian kenangan yang indah waktu sekolah. Tampaknya bekas trauma dan sedih tentang melisa ini membuat kami benar2 enggan buat membahas dan mengingat2 kejadian maupun kenangan bersama melisa. Bahkan beberapa cew famous yg pernah membully si melisa merasa bersalah dan menemui ane buat menyampaikan permohonan maaf ke melisa (dipikirnya ane dukun apa bisa ngirim salam ke arwah). Ane bahkan sempet candain mereka uda ane sampaikan nanti melisa langsung datang sendiri ngobrol langsung dengan mereka, yang diikuti rasa horor dan kepanikan dari wajah2 cew famous ini wakakakakka. "eh besok sabtu, kita bikin tenda sendiri aja", ajak lexi "emang lu ada tenda?", tanya ane "ada keknya, tapi lupa aku taruh dimana nanti aku cek dlu", jelas lexi. "gua ada, tenang aja nj*ng, tapi tenda ku ne gede banget", ujar mister "ah bagus kalau gede, ...

Teman Kelas Ane Meninggal Misterius (PART 4)

 Teman Kelas Ane Meninggal Misterius (PART 4) Sekitar jam 8an malam ane akhrinya sampai di rumah. Emak ane ternyata lagi nonton tivi barenga adik2 ane. Sembari melepas baju di dalam kamar ane, telpon rumah pun berdering. Kebetulan karena memang di renovasi rumah ane, dari ruang tamu jadi kamar ane, ne telpon diinapkan di kamar ane. Mungkin disengaja apa kagak, tapi memang ne telpon rata2 berbunyi nyariin ane. Setelah berganti pakaian seragam rumah ane, celana pendek dan singletan, ane pun mengangkat ne telpon. Ternyata si melissa yang nelpon. Dia menanyakan dari tadi sore nelpon ane masih belum balik darimana. Ane pun menjelaskan habis ngajak shopping si billy yang pengen berubah dari bujang band malaysia jadi bujang band punk rock skaters. Kami pun terbahak-bahak dan ane menceritakan ekspresi si Billy yg menghabiskan 2 juta rupiah cuman untuk 3 kaos, 1 celana panjang dan 1 celana pendek wakakkakaka. Padahal dia niatan juga mau beli tas dan sepatu buat ke sekolah seperti si lexi da...

Me #2 -DOPPELGANGER-

 Waktu saya masih sekolah sd dan toko bapak masih rame" nya, saya lebih sering belajar sendiri karena orang tua saya sibuk sama pembeli. Malam itu seperti biasa saya lagi ngerjain pr dari sekolah sendirian. Di toko ini ada rak untuk barang yang di taruh di tengah sekaligus jadi pembatas buat sedikit ruangan di belakang yang biasa dipake buat shalat sekaligus tempat tidur orang tuaku. Nah saya belajar di situ sambil menghadap lorong yang ada di belakang rumah. Ngerjain pr sambil tengkurap karena ga pake meja, cuma beralas bantal biar dada ga sakit. Lagi fokus" nya saya ngerjain pr (nunduk) sekilas saya lihat di depan saya bapak lewat di lorong dari arah warung nasi ke kamar saya di timur (posisi toko ada di tengah) pakai gamis putih yang biasa bapak pake kalo pergi shalat jum'at. Saya noleh sebentar "oh mungkin bapak mau shalat di sebelah" pikir saya. Gak lama sekitar 5 menit saya lihat lagi bayangan mama di lorong pergi ke kamar timur pake baju tidur warna ungu,...

Pengalaman Bertemu Hantu/Jin (Chapter Jogjakarta)

Selamat datang di Jogja, Kami (makhluk ghoib) bukan hanya gossip Sahabat-sahabat ane yg pernah ane sebutin di chapter Palembang, semua berdiskusi mengenai pilihan universitas sebagai pijakan lanjutan pendidikan yg lebih tinggi. rata-rata sahabat ane memilih melanjutkan ke Universitas yg ada di Sumsel pula. Sedang ane, sepakat dengan si babay untuk melanjutkan ke Jogjakarta di Universitas yg terkenal dengan jaket warna tanahnya itu. Untuk memuluskan persiapan kami supaya dapat lulus, si babay menyarankan untuk ambil lembaga kursus intensif untuk persiapan SPMB. Neu**n yg berada di nyutran menjadi pilihan kami berdua dan setelah melaporkan biaya ke emak ane. Alhamdulilah emak ane setuju dan ane pun terdaftar di kursus ini. Rupa2nya emak si babay daftarin dia bukan di kursus sini, malah di pesaingnya. ini pegimane cerite, yg nyaranin malah ke tempat laen wakakkakakkaa. dengan penuh rasa tidak enak dan kekecewaan dengan emaknya, si babay berulang kali meminta maaf ane gansis.  Ya sudah...

PEMBERANGKATAN TERAKHIR

“Aku yakin betul naik kereta malam itu, tapi orang-orang melihat aku jalan kaki di atas rel.” KERETA MALAM -PEMBERANGKATAN TERAKHIR- A THREAD Kisah ini terjadi pada 2006 silam, kala itu santer rumor beredar mengenai 'pemberangkatan terakhir ialah kereta gaib'. Sila tinggalkan jejak, RT, like atau tandai dulu judul utas di atas agar thread tidak hilang atau ketinggalan update. Maleman kita mulai.  Ini sepenggal kisah yang sampai sekarang membuatku parno naik kereta di jam malam. Peristiwa itu amat melekat diingatan bagaimana aku menempuh perjalanan tanpa sadar JKT-YK dalam waktu hampir 5 hari tapi rasanya waktu berhenti di satu malam pertama--  --Aku yakin betul kalau aku menaiki kereta malam itu, tapi orang-orang melihat aku berjalan kaki sepanjang rel yang entah muncul dari mana.  Senin malam, 2006. Aku hendak pulang ke Yogya karena mendapat kabar bapakku sakit. Kala itu aku masih kuliah di salah satu Universitas Negeri di pinggiran Ibu Kota.  Karena dapat kabar men...

”Aku bertarung melawan setan yang tertanam dalam susuk sendiri.”

 “Aku seorang penembang panggung dan aku memakai susuk. Keputusan mencabut susuk kukira hal yang mudah. Tapi sekarang, aku bertarung melawan setan yang tertanam dalam susuk sendiri.” Tengah malam, di satu rumah berbilik kayu, seorang wanita bernama Taya tersentak dari tidur lalu mengerang kesakitan. Urat-urat di wajahnya membiru menonjol keluar menegang. Napasnya tercekat, membuat suaranya berhenti di tenggorokan—  “Kak!! Kakak kenapa?!” Sani, adik Taya satu-satunya panik ketika mendapati kakaknya meringis kesakitan. Ada yang tak biasa dari wajah Taya—di sekujur pipi, dagu dan kening menonjol garis-garis keras serupa jarum-jarum halus.  Sani menyadari sesuatu, buru-buru dia membekap mulut sang kakak agar tak bersuara. “Ssssssttttt” isyarat Sani pelan sambil menangis tanpa suara  Taya mengatur napas, kedua tangannya menggenggam erat sprei dan matanya mendelik ke atas menahan sakit. “KRENGG!!” Suara lonceng terdengar mendekat.  “KREENGG!!” “KREEENGGG!” Lonceng ter...