“SINDEN BUKANLAH PELACUR YANG BISA KALIAN ‘PAKAI’ SEENAKNYA!”, ucap Rinjani sebelum pingsan di samping jasad si dalang yang kepalanya sudah melintir dengan tusuk konde yang menancap di telinga.
Di pedalaman Trenggalek, ada sebuah urban legend tentang sosok arwah sinden yg gemar mendatangi dan merasuki sinden-sinden cantik dgn suara yg indah.
Namun, dalam satu pagelaran, akan ada korban yg hilang.
Mengapa?
Sila tandai, Like atau tinggalkan jejak, nnti malam kita mulai
Cerita tentang sinden ini bukanlah rahasia umum lagi, terutama di dunia kesenian tradisional
tanah Jawa, yaitu pewayangan. Sinden merupakan kunci utama untuk menampilkan eloknya
iringan lagu dengan nyanyian yang terdengar menyayat meski merdu.
Namun di balik elok dan wibawa wanita yang menjadi sinden, nyatanya profesi sinden sering
dikaitkan dengan “wanita penghibur”. Ya, tak jarang pria-pria berkantong tebal “menawar”
mereka dari balik panggung ketika pagelaran usai.
Bukannya melindungi, sosok dalang – yang biasanya menjadi pemimpin dalam sebuah
pagelaran – seringkali malah “menawarkan” sinden-sinden asuhannya ke pihak lain. Selain
adanya intimidasi dari si dalang,
persaingan untuk menjadi sinden utama juga menjadi
alasan sinden baru untuk ‘struggling’ dan menuruti kemauan si dalang.
Bisa dikatakan profesi sinden ini sangat rawan dan minim perlindungan. Dan karena alasan
ini pula, kisah nyata “Sinden Gaib” akhirnya tercipta – hingga kini menjadi legenda.
Dikisahkan, pada sebuah desa di pedalaman Trenggalek, ada mitos tentang adanya sosok
sinden gaib yang sering merasuki sinden-sinden yang ada di sana.
Mitos ini mulai merebak pada era pertengahan tahun 1968--
Kala itu, seorang dalang
ditemukan tewas dengan tusuk konde yang tertusuk di telinganya, hingga menembus
pangkal otak. Posisi kepalanya melintir ke belakang.
Ketika ditemukan oleh warga, seorang sinden muda – sebut saja Rinjani (nama samaran) – sedang duduk bersimpuh di samping jasad si dalang. Diketahui juga, dalang itu belum lama merekrut Rinjani untuk menjadi salah satu sinden dalam pagelaran wayangnya.
“Sinden iku udu upruk kang iso dinggo sak senengmu (Sinden itu bukanlah pelacur yang
bisa kalian ‘pakai’ seenaknya),” ucap Rinjani lirih, sambil tersenyum sebelum ia pingsan.
Saat Rinjani sadar, ia menangis. Ia mengatakan kalau sebelumnya dalang itu berusaha untuk memperk*sanya.
Namun setelahnya, ia lupa apa yang sudah terjadi.
Para warga sejatinya sulit mempercayai tragedi itu, sebab sang dalang punya reputasi sebagai sosok yang sangat berwibawa di desa itu.
Untunglah sinden-sinden lain mulai
berani buka suara, sehingga terkuak, bahwa dalang tersebut memang cabul.
Sejak saat itu, kematian-kematian yang berhubungan dengan sinden semakin marak terjadi.
Suatu malam, kembali diadakan sebuah pagelaran tari “privat”. Hadirlah para sinden muda
dan penari bertubuh molek.
Hadir pula para petinggi daerah hingga cukong-cukong berkantong tebal. Ketika sinden mulai bernyanyi dan para penari mulai menunjukan lekuk tubuh mereka, orang-orang kalangan rakyat mulai menyawer mereka.
Di sisi lain, para petinggi sedang asyik melihat-lihat. Memilah-milih “hidangan spesial” mana yang nanti akan mereka “bungkus”.
Lekuk tubuh penari yang anggun dan suara sinden yang merdu, menjadi buruan utama bagi mereka.
Acara kesenian yang seharusnya dihelat untuk melestarikan budaya tradisional, saat itu malah digunakan sebagai ajang 'perzinaan'.
Di pertengahan acara, semua sinden kompak menyanyikan salah satu lagu tembang terkenal di Trenggalek.
Namun tiba-tiba, salah seorang sinden menyanyikan lagu berbeda.
Sinden ini sempat diingatkan oleh sesama sinden lain, namun ia tidak menggubris. Volume suaranya justru semakin meninggi.
Sinden-sinden lainnya akhirnya berhenti bernyanyi, ketika menyadari ada sesuatu yang janggal. Sesaat kemudian, seluruh pemusik pengiring juga ikut terdiam.
Seorang sinden satu ini, terus melantunkan tembang Jawa, dengan corak khas ‘Banyuwangian’.
Semua orang di sana terpaku ke arah sang sinden. Beberapa sinden lain berusaha menyadarkannya. Namun, sang sinden hanya tersenyum. Ia terus bernyanyi.
Tak lama, satu per satu penabuh gamelan berteriak histeris. Di luar dugaan, mereka semua kesurupan.
“SARINTEN!” – nama ini diteriakkan oleh jajaran sinden di sana, menunjuk ke arah seorang sinden yang sedari tadi bernyanyi dengan mistis. Sosok Sarinten – arwah sinden gaib legendaris –
Ternyata malam itu hadir di sana, merasuki seorang sinden. Hadirnya Sarinten pun menutup pagelaran tari malam itu dengan kacau. Semua orang panik, karena mitos di pedalaman Trenggalek ini ternyata menjadi kenyataan.
Bukan lagi rahasia, jika pagelaran tari dan nyanyian tradisional di Jawa (dan Indonesia) kerap dikaitkan dengan mistis. Maka tidak heran, jika acara seperti ini perlu dihadiri seorang “pawang”, yang bertugas sebagai divisi keamanan “dari ancaman gaib/supranatural”.
Di malam itu, sang pawang masuk ke tengah kegaduhan dan histeria, untuk memeriksa keadaan. Arwah Sarinten masih merasuki sang sinden.
Sambil melantunkan lagu yang membuat semua orang merinding, pandangan mata sinden ini langsung tertuju ke arah si pawang – arwah ini seakan paham, bahwa ada aliran energi khusus di diri si pawang.
Si pawang, setelah ditatap tajam oleh Sarinten, paham betul bahwa ia harus membungkukkan diri, memberi salam hormat di hadapan arwah legendaris dari pedalaman Trenggalek satu ini.
“Kulo aturaken pangapunten kaliyan panjenengan Nyai, menawi kulo wonten lepatipun” (Saya meminta maaf kepada Nyai, kalau saya ada kesalahan),” ucap si pawang.
“Kon kabeh wis ngelanggar aturane kabudayan, kon kabeh uteke reget, gur mikir wong wedok kuwi barang kang iso dituku (Kalian semua sudah melanggar kebudayaan, otak kalian semua kotor, hanya menganggap wanita itu adalah barang yang bisa dibeli),” ucap sinden itu.
Si pawang segera mundur selangkah, menyadari ada aura kemarahan dari arwah yang bukan sosok sembarangan ini. Si pawang segera menyuruh anak buahnya untuk menyiapkan berbagai macam sesaji – atau istilahnya “uba rampe” – sebagai upaya mengatasi kejadian ini.
Uba rampe pun mulai memberi dampak. Beberapa penari dan penabuh gamelan yang dari tadi kesurupan, kini sudah bisa disembuhkan. Tinggal si sinden yang masih terduduk simpuh. Ia masih tersenyum dengan anggun.
Si pawang pun akhirnya memulai semacam ritual untuk mengeluarkan Sarinten dari tubuh sinden tersebut. Sesuai kekhawatiran si pawang sejak awal, sosok Sarinten masih terlalu kuat untuk ia keluarkan dari tubuh sang sinden.
Si pawang kembali mencoba berkomunikasi secara batin dengan arwah Sarinten.
Komunikasi batin ini cukup cepat menguak informasi baru bagi si pawang. Ia akhirnya mengetahui, jika Sarinten dulunya merupakan sinden yang sangat cantik.
Bahkan Sarinten selalu menjadi bintang utama di setiap kali dirinya pentas. Si pawang pun mengetahui, bahwa arwah Sarinten berasal dari Banyuwangi.
Sarinten mulai membeberkan kisah tragis yang mewarnai era hidupnya. Suatu masa, Sarinten dan seluruh grupnya mendapat pesanan pentas wayang di suatu daerah di pedalaman Trenggalek. Malam itu, pesta sangat meriah. Seperti biasa, ia menjadi bintang utama dalam pementasan itu.
Ketika pementasan selesai, si dalang mengajaknya untuk menemui seseorang. Ternyata orang itu adalah tengkulak kaya raya, yang jatuh cinta saat menyaksikan penampilan Sarinten. Tanpa ragu, si tengkulak menyampaikan hasrat untuk memperistri Sarinten.
Sarinten pun menolak mentah-mentah. Ia memohon untuk segera diantar pulang. Malangnya, si dalang sudah terlanjur menerima bayaran besar dari si tengkulak, untuk membiarkan Sarinten dibawa oleh si tengkulak itu.
Sadar bahwa dirinya sudah diperjualbelikan, Sarinten berusaha memberontak. Selaku wanita, usahanya kalah tenaga melawan dua pria, si dalang dan si tengkulak. Singkat kisah, si tengkulak berhasil memperk*sa Sarinten dengan berbagai perlakuan kasar.
Tak selesai sampai situ, giliran si dalang yang tak mau ketinggalan. Sarinten yang sudah semakin lemah – plus menderita luka mental dan batin – harus sudi tubuhnya digilir oleh dua pria.
Lebih parah lagi, kemalangan Sarinten itu masih berlanjut. Setelah disetubuhi secara paksa dan kasar, Sarinten disekap selama beberapa hari oleh tengkulak itu. Ia terus diperk*sa layaknya seorang budak birahi, hingga akhirnya, Sarinten hamil.
Namun, kondisi Sarinten terlalu lemah dan mengenaskan untuk berjuang mengandung anak. Berbagai penyiksaan tiada henti, akhirnya membuat janin itu gugur, bersama Sarinten yang juga harus merenggut nyawa.
Sarinten tewas di pedalaman Trenggalek, mewarisi dendam kesumat dan rasa sakit yang abadi. Inilah penyebab arwah Sarinten tak henti-hentinya bergentayangan sebagai sosok sinden perempuan yang ingin menuntut balas kepada laki-laki hidung belang –
mengutuk manusia yang menganggap wanita adalah barang yang bisa dibeli.
Arwah Sarinten pun selesai berkisah kepada si pawang. Lalu, dimulailah ritual pelepasan untuk membebaskan tubuh sang sinden muda dari teror sang “sinden gaib”. .
Di luar dugaan, kondisi malah semakin mengerikan.
Arwah Sarinten malah tertawa dan menyeringai lebar, di hadapan si pawang yang masih sibuk ritual
“Kon kiro kon sopo iso ngusir aku? (Kau kira kau itu siapa bisa mengusirku?),” teriak sinden itu. “Monggo, Nyi. Kulo aturaken kondur marang panggonan ipin Nyai (Mari, Nyi. Saya antarkan pulang ke rumah Nyai),” jawab si dukun.
“Aku bakal jogo arek wedok iki, aku seneng lan ora bakal nyenengke kon lanang lanang-bangsat sak senenge dewe! (Aku akan menjaga anak gadis ini, aku menyukainya dan tidak akan membiarkan pria-pria bangsat bertindak sesuka mereka!),” Sarinten kini terlihat lebih marah.
Pemandangan mengejutkan terjadi, saat sinden tersebut tiba-tiba berdiri tegak tanpa bantuan tangannya – padahal jarik yang ia pakai cukup ketat (sangat menyulitkan bagi manusia normal untuk langsung berdiri tegak dari posisi duduk simpuh).
Si pawang masih terus menundukkan wajahnya di hadapan sang sinden. Semakin ia mengetahui siapa Sarinten, semakin ia merasa takut dan harus tunduk hormat kepada sosok “sinden gaib” ini –
FYI, banyak dugaan bahwa antara si pawang ini dan Sarinten masih ada jalinan silsilah keluarga.
Dari balik panggung pagelaran, beberapa warga memberanikan diri mengintip.
Meski bulu kuduk mereka tak henti berdiri, mereka menyempatkan sejenak untuk melawan rasa takut yang luar biasa. Mereka sangat ingin melihat secara langsung sosok urban legend yang sering disebut-sebut sebagai “SARINTEN” itu.
Sinden berisi Nyi Sarinten itu lalu berjalan menuruni panggung, dan mendekati “uba rampe” yang tadi sudah si pawang siapkan. Kemudian ia memasukan tangannya kedalam wadah khusus berisi kembang tujuh rupa. Ia meraup beberapa bunga kantil, dan langsung memakannya.
Dengan aneh, tiba-tiba ada angin berhembus kencang, entah dari mana. Sesaat kemudian, tubuh sang sinden langsung terkulai, ia jatuh pingsan. Si pawang pun sigap menangkap. Beberapa saat kemudian, sang sinden pun akhirnya sadar. I
ia tidak tahu apa yang terjadi. Yang ia ingat hanya momen saat ia sedang bernyanyi, lalu tiba-tiba semua menjadi gelap.
Sang pawang kemudian melakukan serangkaian ritual khusus, guna memindahkan sosok “qorin” Nyi Sarinten ini ke dalam sebuah pusaka konde tua.
Pusaka ini adalah peninggalan orang tua si pawang, yang dulunya juga merupakan seorang sinden. Cara ini pun berhasil, sosok Nyi Sarinten untuk sementara bisa “ditahan” di dalam segel berupa tusuk konde.
Si pawang ini mewanti-wanti, agar praktek “prostitusi berkedok pentas sinden” seperti itu tak boleh lagi diselenggarakan, di manapun. Ia meyakini, arwah SARINTEN pasti akan hadir di sana, bagi siapapun yang mencoba melanggar ucapan si pawang.
Si pawang menambahkan, bahwa arwah Sarinten tak akan pernah ragu untuk murka, kepada siapapun yang berani menganggap nilai sakral tradisi budaya sebagai media pemuas syahwat.
Si pawang pun sangat yakin, bahwa amarah Sarinten bisa sangat membahayakan jika merasa terusik atau tersinggung – sebab Sarinten bukan sembarang arwah “sinden gaib”.
Waktu berlalu, kisah berlanjut ke cucu si pawang, yang ternyata pada diri sang cucu mengalir deras minat dan bakat untuk menjadi seorang sinden. Sebut saja Ratih, karena ia tak mau mencantumkan nama aslinya.
Sang kakek, yakni si pawang, sudah lebih dulu mengetahui bahwa pagelaran seni di desa tersebut masih dipenuhi orang-orang bejat. Akhirnya si pawang mewariskan konde pusaka itu pada cucunya; sebagai pusaka perlindungan diri – sebelum ia meninggal beberapa waktu kemudian.
Aura “lain” selalu terpancar, setiap Ratih mengenakan konde ini. Sifat anggun dan kecantikannya terlihat berbeda di mata orang-orang “biasa”. Laku tubuh dan lantun suaranya pun seakan “dialiri sesuatu”.
Penampilan Ratih sering kali menghipnotis siapapun yang menonton. Puncak kejanggalannya, Ratih juga jadi senang memakan bunga kantil mentah-mentah. Bagi Ratih, bunga itu rasanya manis.
Pesona Ratih sebagai sinden yang punya “aura mistis” membuatnya mudah dikenali dari setiap pentas. Jiwanya yang sering “berganti” dengan sosok Nyi Sarinten, seringkali membuat orang takut, meski banyak juga yang takjub.
Ratih dan Sarinten, disinyalir sudah “hidup bersama” selama bertahun-tahun.
Hingga suatu ketika, hadirlah seseorang yg (lagi-lagi) melihat Ratih sebagai wanita yg bisa “dibeli”. Si tengkulak ini bernegosiasi dengan sang dalang yg menaungi Ratih, untuk mendapatkan “jasa” Ratih.
Si dalang sebenarnya takut untuk “menjual” Ratih. Si dalang ini tahu siapa kakek Ratih – beliau sangat terkenal di antara para dalang, dan dianggap sebagai pawang yang sangat sakti dan handal.
Apa daya, karena himpitan ekonomi yang mengenaskan, gelontoran uang dari si tengkulak tak bisa ditolak sang dalang.
Bertemulah Ratih dengan si orang kaya itu. Dalihnya, ia akan menjadi manajer Ratih. Ia akan mengurus karir Ratih, hingga melebarkan sayap ke kota untuk menjadi terkenal. Namun entah kenapa, Ratih seperti memiliki firasat buruk terhadap orang ini.
Karena Ratih pun memendam impian ingin bisa terkenal di kota besar, Ratih pun akhirnya memberanikan diri untuk ikut dengan si orang kaya. Menjelang berangkat, Ratih sudah mengenakan full make-up dan busana sinden.
Si orang kaya ini bilang, bahwa Ratih akan langsung mengikuti audisi sesampainya di sana. Tapi secara diam-diam, ada obat bius yang sudah si orang kaya larutkan pada minuman Ratih.
Saat Ratih meminum air itu, seketika Ratih tertidur pulas. Si pria kaya pun semakin bergairah dalam melancarkan niat busuknya. Ia pun benar-benar memastikan kalau Ratih sudah terlelap karena efek bius. Setelah itu, barulah ia mengangkat tubuh Ratih untuk dibawa ke tempat tidur.
Sesampainya di kamar, wajah culasnya ia dekatkan ke wajah Ratih. Betapa kagetnya dia, saat tiba-tiba mata Ratih terbuka. Kedua matanya melotot dan terlihat sangat marah. Hanya dengan ayunan satu tangan, Ratih bisa melempar tubuh pria itu hingga membentur dinding.
Dengan getaran mistisnya, Ratih berjalan, mendekatinya yang sudah tak berdaya. Ratih mencabut kondenya, dan mulai menusuk-nusukkan sisi runcingnya ke leher pria itu secara terus-menerus. Si orang kaya berteriak penuh kesakitan.
Namun teriakannya segera memudar, tertikam tusuk konde yang mengoyak-ngoyak pita suaranya dari luar. Darah bercucuran, hingga leher si tengkulak nyaris putus.
Karena sempat ada suara teriakan, maka tak lama dari kejadian tersebut jasad si pria bisa langsung ditemukan – dalam kondisi mengerikan.
Anehnya, Ratih tak ditemukan ada di sana, padahal semua pintu dalam kondisi terkunci dari dalam (sebelum didobrak dari luar), dan semua jendela di sore itu terkunci rapat.
Peristiwa ini langsung menjadi salah satu kasus kematian paling mengerikan dan misterius yang pernah terjadi di pedalaman Trenggalek. Kabar ini sampai ke telinga si dalang, yang sontak membuatnya benar-benar panik dan ketakutan.
Si dalang yang tadinya tidak percaya bahwa tusuk konde milik Ratih punya isian yang sangat kuat, kini membuatnya percaya.
Beberapa sumber mengisahkan, bahwa saat itu Ratih tiba-tiba tersadarkan diri di suatu hutan pinggir sungai.
Ratih ditemukan warga desa dalam keadaan lemas, linglung, dan rambut terurai. Kabar tersebut bilang, bahwa Ratih sendiri tidak yakin, sudah berapa lama ia tak sadarkan diri selama terdampar di sana. Ratih juga bercerita, bahwa tusuk kondenya sudah hilang entah ke mana.
Singkat kisah, si dalang mendatangi sungai tersebut, untuk mencari tusuk konde milik Ratih yang hilang di sana.
Hingga kini, ada dugaan tusuk konde pusaka ini sudah melebur dengan tanah, batu, dan air di lingkungan sungai –
karena kejadiannya sudah puluhan tahun silam. Sumber lain juga yang berpendapat, bahwa tusuk konde itu masih ada, dan kini disimpan oleh kalangan khusus.
Ada juga sumber yang bilang, bahwa tusuk konde itu sudah lenyap secara fisik dan menjadi benda gaib, menemani Sarinten sang “sinden gaib” – untuk hadir suatu saat dan memilih siapa keturunan sinden berikutnya.