Langsung ke konten utama

TULAH - BAGIAN 4

Bagian keempat dari trit ini cukup menguras pikiran. Bahkan mungkin adalah tulisan paling beresiko yang akan kita tulis. Sempat beberapa kali kami berdua berdiskusi dan berdebat, apakah perlu bagian ini kita tuliskan, mengingat kita akan mendeskripsikan bentuk dan karakteristik desa terkait yang menjadi inti dari cerita TULAH.


Pada akhirnya, kami berdua sepakat tetap menulis Bagian ini dengan tetap menyamarkan nama lokasi, tapi kemiripan antara deskripsi di cerita dengan aslinya mencapai 70%.Kami mohon kebijaksanaan agan-agan semuanya, jika nanti ada yang merasa familiar dengan desa yang dimaksud mohon kebijaksanaannya untuk tetap menjaga rahasia demi kenyamanan bersama dan kelangsungan trit ini.


"Dari alun-alun Kabupaten, nanti Mas Adil ambil jalur ke Selatan. Luruuuus aja terus sekitar 10 Km. Sampai ketemu perempatan Semani, nanti Mas Adil belok ke kiri, lurus sampai ketemu gapura desa Jatiasih. Kita ketemu di depan gapura, aja Mas. Nuwun."

Berbekal pesan BBM sesingkat dan sepadat itu dari Dea, Adil berangkat dari kota tempat tinggalnya. Nekat memaksa motor 4-tak yang entah kapan terakhir diganti oli itu menebas jarak 68 kilometer. Lebih nekatnya lagi, dia membawa seorang perempuan yang sejak tadi tak bicara sepatah katapun kecuali...

"Jangan besar kepala, lo! Gue ikut cuma buat lihat kondisi korban."

Tegas Melia dengan ketus, ketika tadi Adil menjemputnya di depan rumah kost mantan pacarnya itu.

Dan yang selanjutnya terjadi adalah sebuah perjalanan panjang penuh kebisuan menuju jauh ke selatan. Si penumpang tak jua bicara, Adilpun jadi segan untuk membuka satu bahan obrolan. Mau menyuruh Melia pegangan karena jalan yang dilewati bergelombang, takut kurang ajar. Mau menawari makan siang, takut dianggap melakukan manuver pendekatan. Semuanya jadi serba salah.

Jadi daripada dia kena semprot lagi, Adil lebih pilih menikmati pemandangan di sepanjang jalan sambil sesekali membiarkan pikirannya melayang. Menebak-nebak, masalah apa lagi yang akan dihadapinya nanti. Seorang perempuan yang diduga memiliki gangguan jiwa, dipasung di sebuah kandang kambing.

Kenapa?

Apakah keluarganya tak punya cukup biaya? Ataukan perangkat desanya kurang tanggap untuk segera menghubungi pihak-pihak terkait yang setidaknya bisa membawa si perempuan ke tempat dengan penanganan yang lebih layak?

Tapi bukan itu! Bukan itu yang paling mengganggu Adil. Penolakan dari Eko-lah yang masih menjadi tanda tanya. Adil sangat mengenal Eko. Anak itu adalah sosok yang selalu berada di garda paling depan di organisasi, setiap kali mendengar ada yang membutuhkan bantuan. 10 tahun saling kenal, saling bahu membahu dalam kegiatan kemanusiaan, dan baru sekali ini Eko memberinya penolakan.

Bukan karena kasusnya, bukan pula karena kesibukannya...

...tapi karena dia mendengar nama desanya.

Srigati.

Ada apa dengan desa itu?

"Belok kiri, Heyyy!!"

Teriakan Melia yang dibarengi dengan pukulan keras di punggungnya, membuat Adil kembali ke kesadaran dan kini motor yang dikemudikannya telah berada tepat di depan sebuah perempatan dengan sebuah papan penunjuk arah yang berdiri di sisi kiri.

JATIASIH 8 KM LAGI.

Dengan segera, Adil langsung membelokkan arah sepeda motornya ke kiri tanpa memedulikan Melia di belakang yang terus-terusan menggumam dengan sebal.

Jika berdasar pada BBM Dea, maka Adil tinggal mengikuti jalan ini saja sampai ketemu dengan gapura Desa Jatiasih. Tapi, semakin jauh mereka meninggalkan perempatan Semani, rumah pemukiman warga tampak semakin jarang pula. Walaupun jalanan masih cukup ramai oleh lalu lalang, tapi Adil tidak dapat memungkiri kalau ada sesuatu yang menganggu perasaannya. Ada banyak hal yang berputar-putar di kepala, dan satu-satunya cara agar semua itu hilang adalah segera sampai ke Jatiasih dan bertemu dengan teman adiknya yang bernama Dea itu.

Mungkin separuh perjalanan sudah mereka lalui, pemukiman warga semakin jarang terlihat. Begitupun jalanan yang awalnya diaspal halus, kini mulai bergelombang dan banyak lubang di sana-sini.

"Dil..." Melia berbisik. "Perasaan gue kok ga enak, ya?"

Harusnya Adil bahagia, karena di sepanjang perjalanan dari kota S***** sampai sekarang, baru sekali ini Melia berbicara dengan nada yang tidak ketus. Tapi tidak, Adil malah dibuat makin dibuat cemas karenanya.

"Apaan sih, Mel?" Hanya itu yang bisa Adil katakan untuk berusaha menenangkan mantan kekasihnya itu. Tanpa mengakui bahwa perasaan dan firasat tidak enak itu juga Adil rasakan, bahkan sudah sejak sebelum mereka berdua berangkat hari ini.

Dari kejauhan, gerbang desa yang mungkin menjadi titik pertemuan itu mulai terlihat. Dan semakin dekat, Adil makin yakin bahwa mereka berdua telah sampai di tujuan.

"SELAMAT DATANG DI DESA JATIASIH"

Tulisan itu terukir melengkung di atas gapura, dan tepat di bawahnya berdiri dua orang anak muda seumuran adiknya Adil yang dari gestur mereka, tampak sama cemasnya. Tangan keduanya dimasukkan ke dalam saku almamater dan ketika motor Adil mendekat, mereka segera berlari menghampiri mereka.

Tapi belum juga mesin motor dimatikan, Melia lebih dulu melompat turun dan menghampiri gadis muda itu. Seakan dia sedang berlomba agar tidak didahului oleh Adil.

"Dea? Saya Melia, temennya Adil. Jadi, dimana gadis yang dipasung itu? Bisa kita kesana sekarang?"

Dea hanya diam. Pria yang sejak tadi diam di belakang, kemudian maju ke depan. Bicara dengan nada yang cukup jelas kepada Melia dan Adil.

"Saya Gilang, mbak! Ketua tim KKN. Yang jelas, kita ndak bisa kesana sekarang! Kita harus cari jalan memutar lewat hutan buat bisa masuk ke dusun itu..."

"Maksudnya?" Adil turun dari motor dan mendekat ke arah mereka bertiga.

"Maksudnya..." Giliran Dea yang menjawab. "Kita harus masuk ke Srigati dengan sembunyi-sembunyi!"

"Tapi sebaiknya, mas Adil dan mbak Melia dengar dulu cerita kami. Ada banyak yang harus mas Adil dan mbak Melia ketahui. Tentang Srigati dan tentang kesalahan yang kami berdua lakukan!"

Dusun ini terkurung hutan jati yang teramat luas. Begitu terpencil, terkucil dan terisolasi. Entah, Dea tidak tahu, apakah Srigati benar-benar terisolasi, atau sebenarnya...

...dusun inilah yang mengisolasi diri dari dunia luar.

Bahkan ketika motor Gilang berhenti tepat di depan gerbang masuknya, Dea seakan tak percaya kalau masih ada pemukiman penduduk di tengah hutan Jati. Apalagi dengan jalan sempit berbatu seperti itu sebagai satu-satunya jalan akses untuk keluar-masuk, Dea tak bisa membayangkan bagaimana kala hujan turun. Bagaimana warganya beraktifitas atau setidak-tidaknya menjalankan roda perekonomian mereka.

Tarikan gas Gilang sedikit mengendor ketika motor mereka masuk melewati gerbang desa yang tampak begitu lapuk dan seakan sama sekali tak terawat. Cat warna merahnya sudah mengelupas di sana-sini, dan bahkan bentuknya tak lagi tegap berdiri. Sudah tampak sedikit miring dan bahkan sepertinya, hanya butuh sedikit hembusan angin untuk membuatnya roboh.

"Iki dewe arep nyandi, Gil?" (Ini kita mau kemana, Gil?)

Dea mulai cemas. Ketakutannya pada deretan pohon jati yang ranggas tadi memang sudah berlalu, namun kini digantikan dengan perasaan yang lain. Rasa terancam. Entah mengapa, Srigati seakan membuatnya merasa terancam. Membuat hatinya terus berdegup kencang.

"Kowe meneng wae. Mengko, yen ora ditakoni ora usah ngomong opo-opo!" (Kamu diam saja. Nanti, kalau tidak ditanyai enggak usah ngomong apa-apa!)

Motor terus melaju. Gerbang desa makin jauh tertinggal di belakang. Dea mencoba mengalihkan rasa cemasnya, dengan memasang mata dan memperhatikan pemandangan di sekitarnya. Dan ini yang dia ingat;

Tepat setelah masuk melewati gerbang desa, jalanan tanah langsung berganti dengan jalan yang diplester dengan semen. Hamparan kebun jagung terhampar di kanan kiri, tapi tak kelihatan satupun warga yang nampak berkebun atau mengurus kebun jagung mereka. Benar-benar sunyi, hening dan hanya deru suara motor Gilang yang terdengar.

Sekitar 200 meter di depan, rumah pertama mulai terlihat yang kemudian disusul dengan deretan rumah-rumah lainnya. Sebagian besar dari deretan itu dipisahkan oleh sebidang tanah yang sebagian ditanami pohon pisang dan sebagian lain dibangun kandang-kandang hewan dari gedheg atau anyaman bambu.

Dan tepat saat itulah, Dea dibuat terperangah. Dusun ini, yang awalnya dia anggap terpencil dan terkurung hutan, ternyata memiliki deretan rumah-rumah yang bahkan lebih bagus dan lebih layak daripada di Jatiasih yang relatif lebih dekat dengan jalan besar. Nyaris semua rumah sudah ditembok, bahkan beberapa memiliki halaman depan yang cukup untuk memarkir dua buah mobil sekaligus.

Hanya saja...

...setiap Dea menganggukkan kepala kepada setiap warga yang didapatinya sedang duduk di teras rumah mereka atau yang sedang berjalan, bukan sambutan ramah yang ia dapat. Melainkan pandangan tajam menyelidik. Seakan kedatangan mereka berdua tak diinginkan di tempat ini.

Dea mencoba tak peduli. Dia memutuskan berhenti bersikap ramah dan mengalihkan pandangannya lurus ke depan. Dimana di depan sana, ada sebuah perempatan. Gilang, yang masih belum diketahui mau kemana, bersiap berbelok ke arah kiri. Mata Dea nyalang. Benae-benar dipandanginya perempatan itu.

Jika lurus, deretan rumah warga masih mereka temui dan entah berujung dimana. Sedangkan jika berbelok ke kanan, jalanan semen langsung berganti dengan jalan tanah, dan masuk kembali ke arah hutan Jati. Dan tepat di batas antara jalan semen dan jalan tanah itu, Dea mendapati sebuah bangunan yang tak lagi utuh. Sepertinya bekas terbakar -- atau dibakar.

Motor mereka kini sepenuhnya berbelok ke kiri, tapi pandangan Dea masih tertahan di batas antara pemukiman dan hutan Jati yang sedemikian lebatnya. Perhatiannya tersedot sepenuhnya di satu titik; dimana bekas bangunan itu berdiri.

Bahkan ketika Dea berhenti menoleh ke belakang, perasaan yang aneh itu terus mengganggu perasaannya. Desa ini sepertinya tidak beres, batinnya sendiri.

Kini, Gilang benar-benar menghentikan laju motornya. Tepat di depan sebuah rumah joglo yang sepertinya merupakan rumah paling besar di seluruh Srigati. Dea hanya melongo ketika Gilang mematikan mesin dan menoleh kepadanya.

"Ayo turun! Kita sudah sampai di rumah Kepala dusun..."

Sedang tepat di depan pintu rumah itu, seorang pria paruh baya dengan peci hitam di kepala dan kemeja putih membalut tubuhnya, berdiri dengan kedua tangan terlipat di punggung. Dia menganggukkan kepala sambil mengulaskan senyum ramah di balik kumisnya yang tebal.

Seakan, orang itu sudah menunggu kedatangan mereka berdua.

Postingan populer dari blog ini

Misteri Suara Tanpa Wujud

Malam itu pekat tak berbintang, hujan sejak sore sudah mulai sedikit reda, menyisakan gerimis halus ... membawa kesejukan. Namun, membuat sekujur tubuh merinding juga. Bagaimana tidak, aku hanya sendirian di rumah kala itu. Ayah dan ibu sedang ke luar kota menjenguk kakak yang habis lahiran. Kebetulan aku tak ikut, karena sering mabuk darat juga karena perjalanan ke rumah saudariku itu terbilang cukup memakan waktu lama. Bisa pegal pinggangku kelamaan duduk dalam mobil. Malam itu, lepas makan semangkuk indomie kaldu dicampur cabe lima biji plus perasan jeruk nipis sebelah, cukup membuat badan sedikit hangat. Makanan penggugah selera itu selalu menjadi makanan pengusir dingin kala malam tiba dengan segudang hawa dingin yang mencekam. Musim hujan selalu membawa berkah bagi Mpok Iin, penjual indomie langgananku di sudut jalan depan. Stok jualannya selalu laris olehku, pecinta mie kaldu. Setelah habis melahap semangkuk makanan andalan, segera bergegas ke ruang belakang rumah. Dapur maksudn...

Privacy Policy

  Narastudio built the app as a Free app. This SERVICE is provided by Narastudio at no cost and is intended for use as is. This page is used to inform visitors regarding our policies with the collection, use, and disclosure of Personal Information if anyone decided to use our Service. If you choose to use our Service, then you agree to the collection and use of information in relation to this policy. The Personal Information that we collect is used for providing and improving the Service. We will not use or share your information with anyone except as described in this Privacy Policy. Information Collection and Use For a better experience, while using our Service, I may require you to provide us with certain personally identifiable information. The information that I request will be retained on your device and is not collected by me in any way. The app does use third party services that may collect information used to identify you. Link to privacy policy of third party service prov...

Lexi Terkencing-kencing

Beberapa hari setelah mendengar melisa yang sudah tiada, kami pun mencoba mengikhlaskan dan cuman mengingat melisa sebagai bagian kenangan yang indah waktu sekolah. Tampaknya bekas trauma dan sedih tentang melisa ini membuat kami benar2 enggan buat membahas dan mengingat2 kejadian maupun kenangan bersama melisa. Bahkan beberapa cew famous yg pernah membully si melisa merasa bersalah dan menemui ane buat menyampaikan permohonan maaf ke melisa (dipikirnya ane dukun apa bisa ngirim salam ke arwah). Ane bahkan sempet candain mereka uda ane sampaikan nanti melisa langsung datang sendiri ngobrol langsung dengan mereka, yang diikuti rasa horor dan kepanikan dari wajah2 cew famous ini wakakakakka. "eh besok sabtu, kita bikin tenda sendiri aja", ajak lexi "emang lu ada tenda?", tanya ane "ada keknya, tapi lupa aku taruh dimana nanti aku cek dlu", jelas lexi. "gua ada, tenang aja nj*ng, tapi tenda ku ne gede banget", ujar mister "ah bagus kalau gede, ...

Teman Kelas Ane Meninggal Misterius (PART 4)

 Teman Kelas Ane Meninggal Misterius (PART 4) Sekitar jam 8an malam ane akhrinya sampai di rumah. Emak ane ternyata lagi nonton tivi barenga adik2 ane. Sembari melepas baju di dalam kamar ane, telpon rumah pun berdering. Kebetulan karena memang di renovasi rumah ane, dari ruang tamu jadi kamar ane, ne telpon diinapkan di kamar ane. Mungkin disengaja apa kagak, tapi memang ne telpon rata2 berbunyi nyariin ane. Setelah berganti pakaian seragam rumah ane, celana pendek dan singletan, ane pun mengangkat ne telpon. Ternyata si melissa yang nelpon. Dia menanyakan dari tadi sore nelpon ane masih belum balik darimana. Ane pun menjelaskan habis ngajak shopping si billy yang pengen berubah dari bujang band malaysia jadi bujang band punk rock skaters. Kami pun terbahak-bahak dan ane menceritakan ekspresi si Billy yg menghabiskan 2 juta rupiah cuman untuk 3 kaos, 1 celana panjang dan 1 celana pendek wakakkakaka. Padahal dia niatan juga mau beli tas dan sepatu buat ke sekolah seperti si lexi da...

Me #2 -DOPPELGANGER-

 Waktu saya masih sekolah sd dan toko bapak masih rame" nya, saya lebih sering belajar sendiri karena orang tua saya sibuk sama pembeli. Malam itu seperti biasa saya lagi ngerjain pr dari sekolah sendirian. Di toko ini ada rak untuk barang yang di taruh di tengah sekaligus jadi pembatas buat sedikit ruangan di belakang yang biasa dipake buat shalat sekaligus tempat tidur orang tuaku. Nah saya belajar di situ sambil menghadap lorong yang ada di belakang rumah. Ngerjain pr sambil tengkurap karena ga pake meja, cuma beralas bantal biar dada ga sakit. Lagi fokus" nya saya ngerjain pr (nunduk) sekilas saya lihat di depan saya bapak lewat di lorong dari arah warung nasi ke kamar saya di timur (posisi toko ada di tengah) pakai gamis putih yang biasa bapak pake kalo pergi shalat jum'at. Saya noleh sebentar "oh mungkin bapak mau shalat di sebelah" pikir saya. Gak lama sekitar 5 menit saya lihat lagi bayangan mama di lorong pergi ke kamar timur pake baju tidur warna ungu,...

Pengalaman Bertemu Hantu/Jin (Chapter Jogjakarta)

Selamat datang di Jogja, Kami (makhluk ghoib) bukan hanya gossip Sahabat-sahabat ane yg pernah ane sebutin di chapter Palembang, semua berdiskusi mengenai pilihan universitas sebagai pijakan lanjutan pendidikan yg lebih tinggi. rata-rata sahabat ane memilih melanjutkan ke Universitas yg ada di Sumsel pula. Sedang ane, sepakat dengan si babay untuk melanjutkan ke Jogjakarta di Universitas yg terkenal dengan jaket warna tanahnya itu. Untuk memuluskan persiapan kami supaya dapat lulus, si babay menyarankan untuk ambil lembaga kursus intensif untuk persiapan SPMB. Neu**n yg berada di nyutran menjadi pilihan kami berdua dan setelah melaporkan biaya ke emak ane. Alhamdulilah emak ane setuju dan ane pun terdaftar di kursus ini. Rupa2nya emak si babay daftarin dia bukan di kursus sini, malah di pesaingnya. ini pegimane cerite, yg nyaranin malah ke tempat laen wakakkakakkaa. dengan penuh rasa tidak enak dan kekecewaan dengan emaknya, si babay berulang kali meminta maaf ane gansis.  Ya sudah...

PEMBERANGKATAN TERAKHIR

“Aku yakin betul naik kereta malam itu, tapi orang-orang melihat aku jalan kaki di atas rel.” KERETA MALAM -PEMBERANGKATAN TERAKHIR- A THREAD Kisah ini terjadi pada 2006 silam, kala itu santer rumor beredar mengenai 'pemberangkatan terakhir ialah kereta gaib'. Sila tinggalkan jejak, RT, like atau tandai dulu judul utas di atas agar thread tidak hilang atau ketinggalan update. Maleman kita mulai.  Ini sepenggal kisah yang sampai sekarang membuatku parno naik kereta di jam malam. Peristiwa itu amat melekat diingatan bagaimana aku menempuh perjalanan tanpa sadar JKT-YK dalam waktu hampir 5 hari tapi rasanya waktu berhenti di satu malam pertama--  --Aku yakin betul kalau aku menaiki kereta malam itu, tapi orang-orang melihat aku berjalan kaki sepanjang rel yang entah muncul dari mana.  Senin malam, 2006. Aku hendak pulang ke Yogya karena mendapat kabar bapakku sakit. Kala itu aku masih kuliah di salah satu Universitas Negeri di pinggiran Ibu Kota.  Karena dapat kabar men...

”Aku bertarung melawan setan yang tertanam dalam susuk sendiri.”

 “Aku seorang penembang panggung dan aku memakai susuk. Keputusan mencabut susuk kukira hal yang mudah. Tapi sekarang, aku bertarung melawan setan yang tertanam dalam susuk sendiri.” Tengah malam, di satu rumah berbilik kayu, seorang wanita bernama Taya tersentak dari tidur lalu mengerang kesakitan. Urat-urat di wajahnya membiru menonjol keluar menegang. Napasnya tercekat, membuat suaranya berhenti di tenggorokan—  “Kak!! Kakak kenapa?!” Sani, adik Taya satu-satunya panik ketika mendapati kakaknya meringis kesakitan. Ada yang tak biasa dari wajah Taya—di sekujur pipi, dagu dan kening menonjol garis-garis keras serupa jarum-jarum halus.  Sani menyadari sesuatu, buru-buru dia membekap mulut sang kakak agar tak bersuara. “Ssssssttttt” isyarat Sani pelan sambil menangis tanpa suara  Taya mengatur napas, kedua tangannya menggenggam erat sprei dan matanya mendelik ke atas menahan sakit. “KRENGG!!” Suara lonceng terdengar mendekat.  “KREENGG!!” “KREEENGGG!” Lonceng ter...