Terakhir kali Dea merasakan ketakutan seperti ini adalah ketika dia berumur sepuluh tahun. Lift yang membawanya beserta bapak dan ibunya ke lantai tiga sebuah pusat perbelanjaan, tiba-tiba kehilangan daya tarik dan macet di tengah jalan. Suatu kejadian yang tak akan pernah ia lupakan seumur hidup, tentang bagaimana sensasi terkurung di ruangan sempit selama lebih dari dua jam. Gelap, pengap dan merasa terancam. Bahkan untuk bernafaspun, rasanya Dea kesulitan.
Dan kini, trauma 12 tahun lalu itu mendatanginya lagi. Kali ini, bukan di lift atau ruangan sempit lainnya. Tapi di atas motor Gilang yang melaju kencang di atas jalan tanah berbatu yang membelah hutan jati. Hutan jati, yang di kemudian hari mereka berdua kenal memiliki nama hutan Randuwangi.
Sensasinya sama. Dea merasa terkurung di tempat ini. Pohon-pohon jati yang meranggas ini seperti memiliki sepasang mata yang menatap tajam kepada dia dan Gilang. Seakan mengawasi keberadaan dua anak muda asing yang datang kesini tanpa permisi. Pun, dengan cara Gilang mengemudikan sepeda motornya seperti orang gila. Tak peduli bagaimana parahnya jalan yang kini mereka lewati, Gilang seperti hanya tahu cara menarik gas dan motor yang terus melompat-lompat tidak stabil. Semakin membuat Dea merasa tidak nyaman.
Tapi lidahnya sudah terlampau kelu untuk memaki dan tangannya benar-benar seperti enggan digerakkan untuk memukul kepala Gilang. Rasa cekam sudah terlanjur menguasai dirinya. Membuatnya kehilangan segala daya. Bahkan dia tak mampu berbuat apa-apa ketika dia sadar bahwa Gilang sudah berbohong soal jarak dua kilometer yang ia katakan kemarin malam. Dea merasa ini bahkan sudah lebih dari tiga kilometer dan belum terlihat tanda-tanda deretan pohon jati ini akan berakhir. Bahkan gerbang dusun Srigati yang diceritakan oleh Gilang tadi, belum juga terlihat oleh pandangan mata.
"Gil..." Hanya itu yang keluar dari mulut Dea. Itupun dengan gemetar dan lebih seperti bisikan. Tenggelam dalam deru motor Gilang yang makin ugal-ugalan.
Tapi diluar dugaan Dea, ternyata Gilang mendengar panggilan itu. "Sabar, to! Dikit lagi...ini kita udah bener kok jalannya!"
Tidak! Dea berteriak dalam hati. Ini tidak benar! Bahkan semakin jauh mereka masuk ke dalam hutan, Dea semakin yakin bahwa apa yang sedang mereka lakukan ini adalah sesuatu yang salah. Apalagi sejak masuk tadi, tak sekalipun mereka berpapasan atau berbarengan dengan motor lain. Tak satupun, walau hanya sekadar orang mencari rumput.
Tetiba, Dea merasa rindu akan suasana markas KKN mereka di Jatiasih. Saat ini dia merasa tersesat, ketakutan, dan takut tak bisa lagi kembali. Tubuhnya lemas, dan makin lemas. Nyaris saja dia kehilangan kesadaran sepenuhnya, andai Gilang tak memanggil namanya...
"De, Dea! Itu dusunnya...kita udah sampai!"
Motor perlahan-lahan berhenti. Dengan sisa tenaganya yang nyaris dihabisi oleh rasa takut dan trauma, Dea mendongakkan kepala dan memandang ke depan. Sebuah gapura besar dengan bentuk khas Jawa menjadi pembatas antara hutan jati dengan kebun jagung -yang pastinya- adalah milik warga. Di kejauhan, tampak panorama deretan rumah-rumah dan asap mengepul di jauh sana.
Di sini benar-benar masih ada sebuah dusun?? Dea bahkan tak percaya pada apa yang kini terhampar di depan matanya.
"Kita sudah sampai Srigati, De!"
Adil sadar dia tak bisa pergi ke Srigati seorang diri. Dia perlu untuk melihat keadaan di sana, setidaknya untuk kunjungan pertama. Penolakan yang diberikan Eko membuatnya terus berpikir; apa yang salah dengan desa itu, sampai seseorang yang ia kenal punya jiwa sosial dan simpati tinggi seperti Eko memutuskan untuk tidak mau ikut campur dan mengabaikan kenyataan bahwa di sana ada seseorang -perempuan- yang butuh bantuan?
Kalau aku nekat pergi kesana sendirian dan ternyata desa itu adalah kampung begal, sama saja aku bunuh diri! Pikir Adil.
Dia bisa saja menjadi seperti Eko. Memilih abai dan tidak peduli. Toh, proyek kegiatannya bulan ini saja sudah begitu padat. Tapi entah mengapa, telepon dari Dea kemarin membuatnya sampai tak bisa tidur.
Bagaimana seorang perempuan yang membutuhkan bantuan atas penyakit jiwanya, malah dipasung kedua kakinya di kandang kambing? Manusia-manusia macam apa yang tega melakukan dan membiarkan sesuatu yang bagi Adil tidak beradab itu terjadi? Pertanyaan-pertanyaan itu seakan menjelma menjadi hantu yang menggentayanginya semalam suntuk.
Adil harus kesana, untuk kemanusiaan. Dia sudah memutuskan. Tapi dia juga tak mau gegabah. Adil harus mencari satu teman dari sini, orang yang multifungsi; tak cuma bisa menjadi teman, tapi juga kemampuan dan pengetahuan yang berguna di sana nanti.
Dan alasan itulah yang lalu membawanya ke sini, pagi ini. Di lobi gedung fakultas Psikologi sebuah kampus ternama di kota ini. Hanya dengan ditemani ponsel digenggaman dan tas pinggang warna coklat andalannya, Adil menunggu di ruang tunggu. Sesekali dia melongokkan kepala ke arah pintu masuk. Kakinya terus bergerak-gerak, menandakan perasaan tak sabar dan resah yang campur aduk menjadi satu.
Lima belas menit berlalu, suara tapak sepatu di lantai keramik terdengar menggema di seluruh ruangan lobi. Adil bangkit dari duduknya, dan melihat apakah itu orang yang sejak tadi ia nantikan kedatangannya.
"Mel?" Seru Adil dengan rasa bahagia yang membuncah begitu saja. Si pemilik nama, seorang wanita muda berumur 27 tahun dengan rambut hitam lurus berponi lempar, langsung menghentikan langkah. Sepasang mata indah yang terbingkai lensa minus satu itu langsung melemparkan tatapan menyelidik ke arah Adil.
"Adil..."
Merasa disambut dengan baik, Adil langsung mengambil inisiatif untuk mendekat. Tapi sepertinya, ia terlalu cepat menyimpulkan. Gadis Ibukota yang dulu pernah sangat dekat dengannya itu malah mengambil satu langkah mundur.
"Ngapain lo ke sini?"
"Eh, anu..." Adil jelas salah tingkah. "Semalem aku wis nyoba BBM dan telepon kamu. Tapi enggak ada jawaban. Kamu masih jadi asisten Dosen di sini?"
Melia melipat kedua tangannya di dada sambil menyeringai. "Emang sengaja enggak gue bales. Dan gue lagi males banget nih buat basa-basi."
Adil kemudian merenungi kembali pilihannya semalam; apakah meminta bantuan kepada mantan pacar (yang putusnya pun tidak dengan cara baik-baik) adalah pilihan bijak? Tapi, tak ada nama lain di pikirannya kecuali Melia. Sekeras apapun dia mencari, hanya nama -dan wajah- itu yang ada di kepalanya. Entah karena Adil tahu bahwa Melia memiliki kapasitas, perhatian dan empati yang sama tingginya dalam masalah kejiwaan...
...atau sebenarnya, ini hanya memang sebatas perkara rindu yang belum selesai.
Tapi apapun itu, Adil tahu kalau Melia saat ini adalah seorang asisten dosen psikologi di kampus ini. Dia butuh Melia untuk dibawanya ke Srigati.
"Terserah kalau lo ngelamun dan berdiri di sini sampai nanti malem, tapi maaf...gue ada kelas dan gue sedang buru-buru. Permisi!"
Brengsek! Bahkan aroma parfum yang merasuk ke hidung Adil ketika tubuh Melia berlalu melewatinya masih sama seperti dua bulan yang lalu. Aroma parfum penuh nostalgia yang sekaligus menyeretnya kembali ke kenyataan. Buru-buru dia memutar badan dan setengah berteriak, mencoba menghentikan Melia yang sosoknya nyaris hilang dari pandangan.
"Kosek, to! (Bentar, dong!) Ada kasus pemasungan, korbannya perempuan!!" Berhasil. Langkah Melia terhenti seketika.
"Aku butuh bantuanmu Mel..."
Kalau aku nekat pergi kesana sendirian dan ternyata desa itu adalah kampung begal, sama saja aku bunuh diri! Pikir Adil.
Dia bisa saja menjadi seperti Eko. Memilih abai dan tidak peduli. Toh, proyek kegiatannya bulan ini saja sudah begitu padat. Tapi entah mengapa, telepon dari Dea kemarin membuatnya sampai tak bisa tidur.
Bagaimana seorang perempuan yang membutuhkan bantuan atas penyakit jiwanya, malah dipasung kedua kakinya di kandang kambing? Manusia-manusia macam apa yang tega melakukan dan membiarkan sesuatu yang bagi Adil tidak beradab itu terjadi? Pertanyaan-pertanyaan itu seakan menjelma menjadi hantu yang menggentayanginya semalam suntuk.
Adil harus kesana, untuk kemanusiaan. Dia sudah memutuskan. Tapi dia juga tak mau gegabah. Adil harus mencari satu teman dari sini, orang yang multifungsi; tak cuma bisa menjadi teman, tapi juga kemampuan dan pengetahuan yang berguna di sana nanti.
Dan alasan itulah yang lalu membawanya ke sini, pagi ini. Di lobi gedung fakultas Psikologi sebuah kampus ternama di kota ini. Hanya dengan ditemani ponsel digenggaman dan tas pinggang warna coklat andalannya, Adil menunggu di ruang tunggu. Sesekali dia melongokkan kepala ke arah pintu masuk. Kakinya terus bergerak-gerak, menandakan perasaan tak sabar dan resah yang campur aduk menjadi satu.
Lima belas menit berlalu, suara tapak sepatu di lantai keramik terdengar menggema di seluruh ruangan lobi. Adil bangkit dari duduknya, dan melihat apakah itu orang yang sejak tadi ia nantikan kedatangannya.
"Mel?" Seru Adil dengan rasa bahagia yang membuncah begitu saja. Si pemilik nama, seorang wanita muda berumur 27 tahun dengan rambut hitam lurus berponi lempar, langsung menghentikan langkah. Sepasang mata indah yang terbingkai lensa minus satu itu langsung melemparkan tatapan menyelidik ke arah Adil.
"Adil..."
Merasa disambut dengan baik, Adil langsung mengambil inisiatif untuk mendekat. Tapi sepertinya, ia terlalu cepat menyimpulkan. Gadis Ibukota yang dulu pernah sangat dekat dengannya itu malah mengambil satu langkah mundur.
"Ngapain lo ke sini?"
"Eh, anu..." Adil jelas salah tingkah. "Semalem aku wis nyoba BBM dan telepon kamu. Tapi enggak ada jawaban. Kamu masih jadi asisten Dosen di sini?"
Melia melipat kedua tangannya di dada sambil menyeringai. "Emang sengaja enggak gue bales. Dan gue lagi males banget nih buat basa-basi."
Adil kemudian merenungi kembali pilihannya semalam; apakah meminta bantuan kepada mantan pacar (yang putusnya pun tidak dengan cara baik-baik) adalah pilihan bijak? Tapi, tak ada nama lain di pikirannya kecuali Melia. Sekeras apapun dia mencari, hanya nama -dan wajah- itu yang ada di kepalanya. Entah karena Adil tahu bahwa Melia memiliki kapasitas, perhatian dan empati yang sama tingginya dalam masalah kejiwaan...
...atau sebenarnya, ini hanya memang sebatas perkara rindu yang belum selesai.
Tapi apapun itu, Adil tahu kalau Melia saat ini adalah seorang asisten dosen psikologi di kampus ini. Dia butuh Melia untuk dibawanya ke Srigati.
"Terserah kalau lo ngelamun dan berdiri di sini sampai nanti malem, tapi maaf...gue ada kelas dan gue sedang buru-buru. Permisi!"
Brengsek! Bahkan aroma parfum yang merasuk ke hidung Adil ketika tubuh Melia berlalu melewatinya masih sama seperti dua bulan yang lalu. Aroma parfum penuh nostalgia yang sekaligus menyeretnya kembali ke kenyataan. Buru-buru dia memutar badan dan setengah berteriak, mencoba menghentikan Melia yang sosoknya nyaris hilang dari pandangan.
"Kosek, to! (Bentar, dong!) Ada kasus pemasungan, korbannya perempuan!!" Berhasil. Langkah Melia terhenti seketika.
"Aku butuh bantuanmu Mel..."