Langsung ke konten utama

TULAH - BAGIAN 3

 Terakhir kali Dea merasakan ketakutan seperti ini adalah ketika dia berumur sepuluh tahun. Lift yang membawanya beserta bapak dan ibunya ke lantai tiga sebuah pusat perbelanjaan, tiba-tiba kehilangan daya tarik dan macet di tengah jalan. Suatu kejadian yang tak akan pernah ia lupakan seumur hidup, tentang bagaimana sensasi terkurung di ruangan sempit selama lebih dari dua jam. Gelap, pengap dan merasa terancam. Bahkan untuk bernafaspun, rasanya Dea kesulitan.


Dan kini, trauma 12 tahun lalu itu mendatanginya lagi. Kali ini, bukan di lift atau ruangan sempit lainnya. Tapi di atas motor Gilang yang melaju kencang di atas jalan tanah berbatu yang membelah hutan jati. Hutan jati, yang di kemudian hari mereka berdua kenal memiliki nama hutan Randuwangi.

Sensasinya sama. Dea merasa terkurung di tempat ini. Pohon-pohon jati yang meranggas ini seperti memiliki sepasang mata yang menatap tajam kepada dia dan Gilang. Seakan mengawasi keberadaan dua anak muda asing yang datang kesini tanpa permisi. Pun, dengan cara Gilang mengemudikan sepeda motornya seperti orang gila. Tak peduli bagaimana parahnya jalan yang kini mereka lewati, Gilang seperti hanya tahu cara menarik gas dan motor yang terus melompat-lompat tidak stabil. Semakin membuat Dea merasa tidak nyaman.

Tapi lidahnya sudah terlampau kelu untuk memaki dan tangannya benar-benar seperti enggan digerakkan untuk memukul kepala Gilang. Rasa cekam sudah terlanjur menguasai dirinya. Membuatnya kehilangan segala daya. Bahkan dia tak mampu berbuat apa-apa ketika dia sadar bahwa Gilang sudah berbohong soal jarak dua kilometer yang ia katakan kemarin malam. Dea merasa ini bahkan sudah lebih dari tiga kilometer dan belum terlihat tanda-tanda deretan pohon jati ini akan berakhir. Bahkan gerbang dusun Srigati yang diceritakan oleh Gilang tadi, belum juga terlihat oleh pandangan mata.

"Gil..." Hanya itu yang keluar dari mulut Dea. Itupun dengan gemetar dan lebih seperti bisikan. Tenggelam dalam deru motor Gilang yang makin ugal-ugalan.

Tapi diluar dugaan Dea, ternyata Gilang mendengar panggilan itu. "Sabar, to! Dikit lagi...ini kita udah bener kok jalannya!"

Tidak! Dea berteriak dalam hati. Ini tidak benar! Bahkan semakin jauh mereka masuk ke dalam hutan, Dea semakin yakin bahwa apa yang sedang mereka lakukan ini adalah sesuatu yang salah. Apalagi sejak masuk tadi, tak sekalipun mereka berpapasan atau berbarengan dengan motor lain. Tak satupun, walau hanya sekadar orang mencari rumput.

Tetiba, Dea merasa rindu akan suasana markas KKN mereka di Jatiasih. Saat ini dia merasa tersesat, ketakutan, dan takut tak bisa lagi kembali. Tubuhnya lemas, dan makin lemas. Nyaris saja dia kehilangan kesadaran sepenuhnya, andai Gilang tak memanggil namanya...

"De, Dea! Itu dusunnya...kita udah sampai!"

Motor perlahan-lahan berhenti. Dengan sisa tenaganya yang nyaris dihabisi oleh rasa takut dan trauma, Dea mendongakkan kepala dan memandang ke depan. Sebuah gapura besar dengan bentuk khas Jawa menjadi pembatas antara hutan jati dengan kebun jagung -yang pastinya- adalah milik warga. Di kejauhan, tampak panorama deretan rumah-rumah dan asap mengepul di jauh sana.

Di sini benar-benar masih ada sebuah dusun?? Dea bahkan tak percaya pada apa yang kini terhampar di depan matanya.

"Kita sudah sampai Srigati, De!"

Adil sadar dia tak bisa pergi ke Srigati seorang diri. Dia perlu untuk melihat keadaan di sana, setidaknya untuk kunjungan pertama. Penolakan yang diberikan Eko membuatnya terus berpikir; apa yang salah dengan desa itu, sampai seseorang yang ia kenal punya jiwa sosial dan simpati tinggi seperti Eko memutuskan untuk tidak mau ikut campur dan mengabaikan kenyataan bahwa di sana ada seseorang -perempuan- yang butuh bantuan?

Kalau aku nekat pergi kesana sendirian dan ternyata desa itu adalah kampung begal, sama saja aku bunuh diri! Pikir Adil.

Dia bisa saja menjadi seperti Eko. Memilih abai dan tidak peduli. Toh, proyek kegiatannya bulan ini saja sudah begitu padat. Tapi entah mengapa, telepon dari Dea kemarin membuatnya sampai tak bisa tidur.

Bagaimana seorang perempuan yang membutuhkan bantuan atas penyakit jiwanya, malah dipasung kedua kakinya di kandang kambing? Manusia-manusia macam apa yang tega melakukan dan membiarkan sesuatu yang bagi Adil tidak beradab itu terjadi? Pertanyaan-pertanyaan itu seakan menjelma menjadi hantu yang menggentayanginya semalam suntuk.

Adil harus kesana, untuk kemanusiaan. Dia sudah memutuskan. Tapi dia juga tak mau gegabah. Adil harus mencari satu teman dari sini, orang yang multifungsi; tak cuma bisa menjadi teman, tapi juga kemampuan dan pengetahuan yang berguna di sana nanti.

Dan alasan itulah yang lalu membawanya ke sini, pagi ini. Di lobi gedung fakultas Psikologi sebuah kampus ternama di kota ini. Hanya dengan ditemani ponsel digenggaman dan tas pinggang warna coklat andalannya, Adil menunggu di ruang tunggu. Sesekali dia melongokkan kepala ke arah pintu masuk. Kakinya terus bergerak-gerak, menandakan perasaan tak sabar dan resah yang campur aduk menjadi satu.

Lima belas menit berlalu, suara tapak sepatu di lantai keramik terdengar menggema di seluruh ruangan lobi. Adil bangkit dari duduknya, dan melihat apakah itu orang yang sejak tadi ia nantikan kedatangannya.

"Mel?" Seru Adil dengan rasa bahagia yang membuncah begitu saja. Si pemilik nama, seorang wanita muda berumur 27 tahun dengan rambut hitam lurus berponi lempar, langsung menghentikan langkah. Sepasang mata indah yang terbingkai lensa minus satu itu langsung melemparkan tatapan menyelidik ke arah Adil.

"Adil..."

Merasa disambut dengan baik, Adil langsung mengambil inisiatif untuk mendekat. Tapi sepertinya, ia terlalu cepat menyimpulkan. Gadis Ibukota yang dulu pernah sangat dekat dengannya itu malah mengambil satu langkah mundur.

"Ngapain lo ke sini?"

"Eh, anu..." Adil jelas salah tingkah. "Semalem aku wis nyoba BBM dan telepon kamu. Tapi enggak ada jawaban. Kamu masih jadi asisten Dosen di sini?"

Melia melipat kedua tangannya di dada sambil menyeringai. "Emang sengaja enggak gue bales. Dan gue lagi males banget nih buat basa-basi."

Adil kemudian merenungi kembali pilihannya semalam; apakah meminta bantuan kepada mantan pacar (yang putusnya pun tidak dengan cara baik-baik) adalah pilihan bijak? Tapi, tak ada nama lain di pikirannya kecuali Melia. Sekeras apapun dia mencari, hanya nama -dan wajah- itu yang ada di kepalanya. Entah karena Adil tahu bahwa Melia memiliki kapasitas, perhatian dan empati yang sama tingginya dalam masalah kejiwaan...

...atau sebenarnya, ini hanya memang sebatas perkara rindu yang belum selesai.

Tapi apapun itu, Adil tahu kalau Melia saat ini adalah seorang asisten dosen psikologi di kampus ini. Dia butuh Melia untuk dibawanya ke Srigati.

"Terserah kalau lo ngelamun dan berdiri di sini sampai nanti malem, tapi maaf...gue ada kelas dan gue sedang buru-buru. Permisi!"

Brengsek! Bahkan aroma parfum yang merasuk ke hidung Adil ketika tubuh Melia berlalu melewatinya masih sama seperti dua bulan yang lalu. Aroma parfum penuh nostalgia yang sekaligus menyeretnya kembali ke kenyataan. Buru-buru dia memutar badan dan setengah berteriak, mencoba menghentikan Melia yang sosoknya nyaris hilang dari pandangan.

"Kosek, to! (Bentar, dong!) Ada kasus pemasungan, korbannya perempuan!!" Berhasil. Langkah Melia terhenti seketika.

"Aku butuh bantuanmu Mel..."

Postingan populer dari blog ini

Misteri Suara Tanpa Wujud

Malam itu pekat tak berbintang, hujan sejak sore sudah mulai sedikit reda, menyisakan gerimis halus ... membawa kesejukan. Namun, membuat sekujur tubuh merinding juga. Bagaimana tidak, aku hanya sendirian di rumah kala itu. Ayah dan ibu sedang ke luar kota menjenguk kakak yang habis lahiran. Kebetulan aku tak ikut, karena sering mabuk darat juga karena perjalanan ke rumah saudariku itu terbilang cukup memakan waktu lama. Bisa pegal pinggangku kelamaan duduk dalam mobil. Malam itu, lepas makan semangkuk indomie kaldu dicampur cabe lima biji plus perasan jeruk nipis sebelah, cukup membuat badan sedikit hangat. Makanan penggugah selera itu selalu menjadi makanan pengusir dingin kala malam tiba dengan segudang hawa dingin yang mencekam. Musim hujan selalu membawa berkah bagi Mpok Iin, penjual indomie langgananku di sudut jalan depan. Stok jualannya selalu laris olehku, pecinta mie kaldu. Setelah habis melahap semangkuk makanan andalan, segera bergegas ke ruang belakang rumah. Dapur maksudn...

Lexi Terkencing-kencing

Beberapa hari setelah mendengar melisa yang sudah tiada, kami pun mencoba mengikhlaskan dan cuman mengingat melisa sebagai bagian kenangan yang indah waktu sekolah. Tampaknya bekas trauma dan sedih tentang melisa ini membuat kami benar2 enggan buat membahas dan mengingat2 kejadian maupun kenangan bersama melisa. Bahkan beberapa cew famous yg pernah membully si melisa merasa bersalah dan menemui ane buat menyampaikan permohonan maaf ke melisa (dipikirnya ane dukun apa bisa ngirim salam ke arwah). Ane bahkan sempet candain mereka uda ane sampaikan nanti melisa langsung datang sendiri ngobrol langsung dengan mereka, yang diikuti rasa horor dan kepanikan dari wajah2 cew famous ini wakakakakka. "eh besok sabtu, kita bikin tenda sendiri aja", ajak lexi "emang lu ada tenda?", tanya ane "ada keknya, tapi lupa aku taruh dimana nanti aku cek dlu", jelas lexi. "gua ada, tenang aja nj*ng, tapi tenda ku ne gede banget", ujar mister "ah bagus kalau gede, ...

Teror-teror di Apartemen Berhantu Surabaya

  Ini adalah ceritaku semasa kuliah di Malang sekitar taun 2012-2013. Jadi waktu itu aku udah nyelesain semua matkul wajib dan sudah selesai magang di taun 2011. Skripsi? Nanti dulu, nunggu temen2 yg masih ngulang matkul. Menjunjung tinggi solidaritas angkatan coy!  Karena merasa punya banyak waktu luang, aku manfaatin nyari aktivitas luar kampus. Seperti ikut komunitas fotografi, android malang, dan beberapa komunitas sosial lain. Pada saat itu, akupun menerima job graphic design dan fotografi sebagai freelance. Nih foto PCku dulu. Singkat cerita, ada senior kampusku yang kebetulan kakak kelasku di SMA juga, namanya Niko. Mas Niko sama kaya aku, dia nyambi kerja sampingan selama ngerjain skripsi. Di kampusku, sangatlah wajar kalo angkatan2 tua tuh lama lulusnya karena asik nyari duit.  Mas Niko ini dulunya kerja di EO yang ngurusin event2 produsen hape, laptop dan properti. Sampe akhirnya dia jadi sales properti di Surabaya. Beberapa kali dia minta bantuanku untuk bikin ...

”Aku bertarung melawan setan yang tertanam dalam susuk sendiri.”

 “Aku seorang penembang panggung dan aku memakai susuk. Keputusan mencabut susuk kukira hal yang mudah. Tapi sekarang, aku bertarung melawan setan yang tertanam dalam susuk sendiri.” Tengah malam, di satu rumah berbilik kayu, seorang wanita bernama Taya tersentak dari tidur lalu mengerang kesakitan. Urat-urat di wajahnya membiru menonjol keluar menegang. Napasnya tercekat, membuat suaranya berhenti di tenggorokan—  “Kak!! Kakak kenapa?!” Sani, adik Taya satu-satunya panik ketika mendapati kakaknya meringis kesakitan. Ada yang tak biasa dari wajah Taya—di sekujur pipi, dagu dan kening menonjol garis-garis keras serupa jarum-jarum halus.  Sani menyadari sesuatu, buru-buru dia membekap mulut sang kakak agar tak bersuara. “Ssssssttttt” isyarat Sani pelan sambil menangis tanpa suara  Taya mengatur napas, kedua tangannya menggenggam erat sprei dan matanya mendelik ke atas menahan sakit. “KRENGG!!” Suara lonceng terdengar mendekat.  “KREENGG!!” “KREEENGGG!” Lonceng ter...

Me #2 -DOPPELGANGER-

 Waktu saya masih sekolah sd dan toko bapak masih rame" nya, saya lebih sering belajar sendiri karena orang tua saya sibuk sama pembeli. Malam itu seperti biasa saya lagi ngerjain pr dari sekolah sendirian. Di toko ini ada rak untuk barang yang di taruh di tengah sekaligus jadi pembatas buat sedikit ruangan di belakang yang biasa dipake buat shalat sekaligus tempat tidur orang tuaku. Nah saya belajar di situ sambil menghadap lorong yang ada di belakang rumah. Ngerjain pr sambil tengkurap karena ga pake meja, cuma beralas bantal biar dada ga sakit. Lagi fokus" nya saya ngerjain pr (nunduk) sekilas saya lihat di depan saya bapak lewat di lorong dari arah warung nasi ke kamar saya di timur (posisi toko ada di tengah) pakai gamis putih yang biasa bapak pake kalo pergi shalat jum'at. Saya noleh sebentar "oh mungkin bapak mau shalat di sebelah" pikir saya. Gak lama sekitar 5 menit saya lihat lagi bayangan mama di lorong pergi ke kamar timur pake baju tidur warna ungu,...

“Aku tidak membunuh Bayiku, tapi kuberikan pada Jin untuk dijadikan ‘anak setan’. Timbal baliknya, aku mendapat harta tak terduga”

  Satu sepeda motor bebek ditumpangi beban penuh melintas menembus jalanan gelap berkabut di bawah kaki gunung. Tampak pasangan muda yang tengah hamil tersebut menuju ke satu rumah berhalaman luas yang Sebagian besar materialnya terbuat dari kayu.  “Permisi Mbah” Salam Rudi Mereka masuk ke dalam rumah yang ruangannya sudah mengepul asap dupa. Sesaji uba rampe tersusun rapih di atas altar bersama lilin-lilin. “Usia kehamilannya tepat 7 bulan, Mbah. Kami sudah siap.” Ujar Rudi.  Mbah yang dimaksud ialah seorang nenek tuna netra berambut putih yang mengenakan kain jarik. Meski Buta, Si Mbah seolah mampu melihat apa yang ada di sekitarnya, baik yang kasat mau pun ‘tak kasat mata’.  “Mbah hanya membantu, kamu sendiri yang harus melakukan.” Jelas Si Mbah menunjuk Yuli, perempuan hamil besar yang duduk tepat di hadapannya. Tanpa berlama-lama, Si Mbah bangkit berdiri, Yuli diminta mengikutinya menuju ruang dibalik tirai kain.  Rudi diminta menunggu di ruang tengah . Di ...

SIDE STORY (Perdukunan)

 Di Jakarta Bapak membuka usaha kelontong yang berjalan dengan lancar. Mama pun berinisiatif membuka warung nasi sebagai usahanya. Bukan karena merasa penghasilan usaha bapak kurang, tapi karena mama tidak mau sepenuhnya bergantung pada suami. Mama memang terkenal pandai memasak, alhasil warung nasinya pun selalu ramai. Mama memulai usaha warung nasinya saat aku kelas 4 sd dan adik laki-laki ku berumur 3 tahun bernama Hasan. Sering kali guru-guru memintaku untuk membelikan makan siang di warung nasi mama. Aku memang termasuk murid yang dikenal semua guru karen tergolong murid yang pintar. Apalagi wali kelasku saat kelas 4 sd namanya bu Mumu. Beliau selalu bersikap lebih sayang padaku. Kadang sampai teman-temanku merasa beliau pilih kasih karena bagi murid-murid lain bu Mumu terkenal galak dan ditakuti. Selain guru-guru lain, bu Mumu yang paling sering menyuruhku melakukan tugas di luar pelajaran. Seperti membelikan makanan, alat-alat tulis, membantunya mengoreksi ulangan atau mengg...